Dalam Balutan Gaun Hitam
Sosok ramping terbalut gaun sederhana berwarna hitam berjalan dengan aura yang sedih. Ia terlihat anggun, namun sendu. Black tube dress lebar itu semakin memperkokoh bahwa benar, ia sedang dirundung duka. Perempuan muda itu menyanggul rambutnya dengan sederhana, mempertontonkan tengkuk yang ditumbuhi oleh rambut-rambut tipis, membuatnya tampak halus.
Ia berdiri di sudut itu, berbincang dengan seseorang yang tampak seperti seorang sahabat lama, sahabat yang baru ia temui, sahabat dari kehidupan lampaunya yang membuat ia rindu akan sebuah kebahagiaan kala itu. Hal itu, tampak dari keintiman mereka berdua. Menghisap sebatang rokok, sambil berdiri dan bersandar pada sebuah meja berkaki kurus, perempuan itu toh tidak bisa menyembunyikan kesedihannya. Ia menengok ke arah keramaian sesaat, tangannya memegangi tengkuk, mengelusnya, lalu berpaling. Kembali berbincang mesra dengan sahabat laki-lakinya itu.
Ruangan ini dipenuhi oleh lukisan-lukisan dari seorang seniman muda, Giri Gundjakara. Sedari tadi belum tampak sosok seniman yang ternyata cukup dihormati oleh kalangan komunitas pelaku seni di Bandung. Entah bagaimana rupanya, sungguh membuat banyak orang penasaran. Ternyata, di ruangan ini tidak hanya memamerkan lukisan karyanya, tapi juga foto-foto, gambar ekspresi yang pernah ia abadikan sedari muda. Orang ini tampaknya sudah memiliki titel sosial yang teraih sejak ia duduk di bangku kuliah. Sudut lain penuh dengan foto-foto, beragam, ada karya yang dikerjakan tahun 2005, 2004, bahkan 2003. Dua belas tahun yang lalu. Foto-foto yang terjajar seolah menarasikan kehidupan sang seniman, mengomunikasikan kisah hidup yang ia jalani belasan tahun tahun terakhir hingga sekarang ia berada pada titik pengakuan sosial yang baik.
Ternyata, setelah diamati, tempat ini benar-benar sebuah lifestyle & culture spaces, dimana hampir segala berbau seni dan gaya hidup urban disajikan di area ini. Tempat ini adalah rumah yang telah diubah menjadi sebuah wadah tempat bertemunya segala bidang dalam gaya hidup. Perpustakaan, galeri lukisan dan foto, private cinema, kafe berfasilitas wi-fi connection, sampai studio untuk kursus melukis dan kursus piano juga tersedia di sini. Yang menakjubkan, tempat ini seolah hasil dari seorang Giri Gundjakara.
Hanya saja, ia tidak sendiri dalam mewujudkan tempat ini, ia berpartner dengan seseorang yang membuat tempat ini menjadi mimpi yang sempurna dalam kehidupannya. Tempat ini dipenuhi aura harapan akan kehidupan, aura cinta kasih antara dua manusia, dan karena itulah setiap orang yang berkunjung ke sini akan mengerti perasaan yang dimiliki Giri Gundjakara dengan partnernya itu, partner terkasihnya.
Karina Setyadenayu, ya, itulah nama istri seniman muda yang fenomenal di kota ini. Itulah nama perempuan yang sangat dicintai seorang Giri Gundjakara, dan balik mencintainya. Seorang perempuan yang dicintai Giri atas kehidupan yang ia miliki, mimpi yang ia angankan, segala yang ada dalam diri perempuan itu. Bagi Giri, Karina adalah temannya berjalan dalam mimpi, di saat tidak ada lainnya yang mungkin mampu, Karina hidup dalam alam mimpi yang sama dengan Giri.
Mereka mencinta, memuja, dan melakukan semuanya untuk bersama, dari bersama, dan selalu seperti itu. Terlalu banyak yang mereka jalani pada frekuensi yang sama, mereka selalu berteduh di bawah purnama yang sama. Hal ini adalah ritual yang tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun, sejak mereka masih berada di bangku kuliah dulu. Sejak mereka masih menganggap mimpi nyata ini adalah jauh jangkauannya, sejak mereka masih menganggap mimpi ini terus mimpi. Sejak mereka masih merasa dahaga akan panjang umur yang mampu mereka habiskan bersama...
“Giri sangat mengagumi Karina. Terlepas dari kecantikan dan kemolekan tubuhnya yang begitu sempurna, ia adalah perempuan yang satu dunia dengan Giri.” Demikian Iseta, sahabat kuliah Giri menceritakan sosok Karina kepada seorang perempuan berumur sekitar 30-an, yang tampaknya merasa kagum akan tempat ini.
“Bagaimana mungkin mereka memiliki kekayaan pribadi secara karya hingga berani menuangkan semuanya dalam lifestyle and culture space seperti ini?” tanya perempuan itu, Simya, namanya. Mereka berdua sedang berdiam, duduk di sofa yang empuk, berada di salah satu sudut yang membatasi ruang pameran lukisan dan ruang pameran foto. Dari tempat mereka situlah, hampir seluruh area ini tampak.
Di depan mereka, orang-orang sedang sibuk berkeliling berdiskusi untuk menginterpretasikan lukisan-lukisan realis yang terpampang. Di belakang mereka, orang-orang sedang sibuk bernostalgia melihat foto-foto karya Giri, mungkin mereka adalah sahabatnya dari masa itu. Di sudut kanan, ruangan dengan banyak sofa dan rak-rak, terlihat sosok-sosok yang menyusuri rak buku, mereka yang ingin mengetahui Giri dan Karina melalui literasi-literasi yang terpampang rapi dan siap untuk dinikmati oleh siapa saja.
Di sudut yang berbeda, orang-orang berbincang, duduk, menyalakan laptop, merokok, sambil menikmati sajian kafe bertajuk Arteri. Ya, ada tiga tempat yang belum dibuka untuk saat ini, private cinema, kursus lukis dan kursus piano.
Iseta tersenyum, meneguk sedikit soft drinknya, lalu bercerita sambil melayangkan pandangannya berkeliling. “Giri seorang laki-laki yang ambisius dan brilian. Karina adalah perempuan yang curious, cerdas, cermat, kuat. Mereka adalah sepasang insan yang sangat eksploratif. Sayangnya, dunia itu begitu kejam dengan membiarkan dua orang bermulti-talenta hidup bersama,” Iseta terkikik geli. “Mereka sering, bahkan selalu membagi apa yang menjadi mimpi mereka. Lihatlah, ini semua adalah apa yang mereka cintai.” Iseta bertatap-tatapan dengan Simya. Mereka hanya bisa berdecak kagum.
“Cheers untuk sepasang manusia unik!” ujar Simya. Iseta tertawa, “Mereka sahabat saya...” ia menyambut ajakan Simya bersulang, sambil tatapannya terpaku nanar pada sosok perempuan bergaun hitam di pojokan sana. Ia tahu, perempuan itu sedang menunggu waktunya.
Waktu menunjukkan pukul delapan lebih lima belas menit. Pembawa acara mulai unjuk kekuasaannya untuk menjadi Master of Ceremony malam itu. Seorang perempuan seumur Karina tampak menghibur penonton ditemani oleh laki-laki yang tampak berantakan, sangat slengekan namun mampu mengimbangi Nita, nama pembawa acara perempuan itu. Mereka tampaknya bukan dari lingkungan yang berbeda dari Giri dan Karina. Hal ini dapat dilihat dari kelihaian sepasang manusia “bodoh” itu menghibur dan bergurau tanpa lupa nama orang-orang yang hadir dan menyapa siapapun yang mencuri pandangan mereka di sekitar panggung utama.
Aksi mereka tidak pernah habis, dari menyapa para audiens hingga menyapa Karina yang tampak tidak begitu ingin diekspos oleh mereka. Ia hanya terkikik kecil sambil melambaikan tangannya tanda menyuruh kedua pemandu acara melanjutkan acara tanpa menghiraukan dirinya.
Akhirnya, setelah serangkaian hiburan berhasil dibawakan dengan variatif oleh duet Nita dan Ino, tibalah gilirannya. Mau tidak mau, anggap saja formalitas yang dipaksakan untuk mencipta momen intim, atau bisa jadi, sendu.
Sosok perempuan anggun naik ke atas panggung. Tidak ada lagi puntung rokok di tangannya. Sanggulnya masih terjaga rapih, sanggul sederhana yang masih membiarkan rambut-rambut halus menggelitik kulit tengkuk sang perempuan. Ia begitu cantik, menoleh sebentar ke arah hadirin, ia menyapu pandangannya tipis, namun dalam. Semua orang tersihir, mereka tidak bisa melepas pandangan dari perempuan itu. Ia begitu sendu, entah mengapa.
Black tube dress lebar itu memperkokoh aura yang ia bangun. Gelap. Sendu, misterius. Namun, ia cantik. Memesona, seperti yang setiap orang gambarkan melalui lantunan karakter yang lahir, ia patut dipuja.
Ia tersenyum sekilas, menunduk sesaat, lalu menancapkan pandangannya ke masing-masing sudut area, seolah mencari sesuatu yang berarti.
“Selamat malam, teman-teman, kerabat, para tamu dan undangan,” sambutnya halus, namun terdengar kuat, berkarakter. “Kalian semua di sini. “ lanjutnya, tersenyum kepada hadirin yang langsung bertepuk tangan.
“Saya tidak bisa berkata banyak, walaupun saya ingin berkata banyak.” Ia diam, kembali menatap hadirin dan pojok-pojok yang terhias di area itu.
“Saya merindukan kalian semua. Kalian semua adalah teman, sahabat, dan partner, juga rival bagi saya serta suami saya, Giri.” Ia terhenti.
“Lama saya menantikan ini. Sungguh lama. Ini merupakan mimpi yang sulit untuk saya raih, sulit untuk saya wujudnyatakan. Terlebih, kalian adalah saksi hidup malam ini, yang adalah teman kami berdua semasa kuliah, lepas kuliah, sepanjang hidup kami bersama...” ia terdiam.
Ruangan itu turut hening.
“Lifestyle and culture space ini pernah saya sebut dalam sebuah pesan singkat kepada Giri, tujuh tahun yang lalu. Saya menggambarkan apa yang ada di bayangan saya waktu itu, persis seperti apa yang ada di hadapan kita kini. Tidak ada yang kurang, bahkan, tidak ada yang lebih.” Perempuan ini begitu menghayati perkataannya.
Balutan gaun hitam sederhana itu tidak bisa menyembunyikan, di usianya yang hampir menginjak 30 tahun itu, perempuan ini masih sangat patut untuk dipuja. Badannya semampai, molek, dan anggun. Pembawaannya tegas dan misterius. Walaupun begitu, aura cerdas dan eksploratif serta ekspresif juga terpancar dari percakapan pertama yang akan anda alami ketika baru kenal dengannya.
Karina tersenyum. Air wajahnya entah mengapa, begitu menyayat.
“Kini, saya berhasil mewujudkan apa yang menjadi mimpi saya. Juga mimpi Giri. Bahkan lebih dari itu,” ia mengangkat tangannya seolah ingin mengekspresikan semua ruang yang ada di tempat ini ke dalam pelukannya.
“Ini semua, hasil dari keluarbiasaan seorang Giri Gundjakara, seorang seniman, seorang laki-laki. Apa yang kalian lihat dan nikmati di sini merupakan karya-karya Giri, saya, dan hobi yang kami jalani, semasa kuliah hingga kami menikah, hingga kini...” Ia terdiam lagi, sesaat.
“Laki-laki yang saya cintai, dan akan saya cintai terus. Ini adalah persembahan saya untuk dia, untuk kamu...” saat mengucap frase terakhir, ia menatap ke satu ruang hampa di atas kepala hadirin, seolah mengharapkan sesosok hadir.
“Giri Gundjakara....yang kini sedang menanti masa reinkarnasinya, dengan keyakinan bahwa misinya di dunia ini, kala kehidupannya yang lampau, yaitu kehidupannya ketika menjalin cinta dengan saya, ketika menjadi suami saya, harus selesai, enam bulan yang lalu.” Kalimat itu ia ucapkan perlahan, lambat, tanpa menitikkan airmata.
“Saya tidak akan mengejar Giri ke kehidupan penantian itu. Saya akan terus di sini, menjadikan mimpi kami semua nyata, menjadikan setiap titik akhir kalimatnya menjadi bentuk, sambil terus menjadikan setiap obsesi gadis kecil yang tidak lain adalah milik ia sejak lima belas tahun yang lalu, kini dapat dinikmati semua orang. Saya tidak akan menyusulnya untuk sekarang.” Karina tersenyum mengakhiri kata sambutannya.
Ia turun perlahan dari panggung, diserbu tepuk tangan dari ratusan audiens dan beberapa lengan mereka telah menantinya turun untuk berbagi haru dengan pelukan. Mereka yang adalah sahabat Karina serta Giri, yang tidak rela menyaksikan perempuan itu bergelut sendiri, dengan keyakinan bahwa suaminya bukanlah mati untuk selamanya. Keyakinan bahwa Giri akan dipertemukan kembali dengan Karina, pada kehidupan selanjutnya, kehidupan yang penuh dengan ambisi baru.
Perempuan itu mungkin menitikkan airmata. Balutan black tube dressnya memperjelas kekuatan yang ia miliki. Ia kembali ke sudut, hanya saja, berbeda. Ia berada pada sudut yang berbeda, berbincang dengan sahabatnya, menyapu seluruh area dengan tatapannya yang tipis. Ia tidak terlihat ringkih, atau layu. Namun, penampakannya yang begitu kuat dan tegar, justru membuat mereka, di berbagai sudut sana menangis...
Mereka menangis, ingin memeluk perempuan itu, Karina Gundjakara, yang saat ini masih belum puas memeluk area impiannya ini dengan sapuan pandangannya, dalam balutan gaun hitamnya itu.
Berdirilah ia di sana, bersandar pada dinding, bertumpu pada sebelah kakinya, menatap mereka semua, menghisap sebatang rokok, tidak berharap atau menangisi sebuah kematian yang merenggut seorang pecinta dan yang dicinta dalam hidupnya. Ia tetap berdiri....
Dan ia terus menunggu waktu mengakhiri misi kehidupannya, sambil merasakan betapa hidup menyajikan banyak misteri dan kepedihan yang memuaskan baginya. Ia melihat Giri pada hari esoknya, namun itu tidak lebih pedih ketimbang menengok setiap karya yang ada dalam ruang seni hasil ciptaan mereka berdua, penuh sejarah, tidak akan pernah terulang. Dan lebih menyakitkan lagi, makna dalam sejarah itu selalu melekat, tidak seperti peristiwa yang tak terulang, meaning is still.
Karina mengelus kulit tangannya. Galeri ini sepi, lengang, tidak seperti semalam.
Ia menghirup udara sekitar.
Ia duduk di bangku batu yang terletak di taman tengah Arteri Lifestyle & Culture Place. Ia memeluk dirinya sendiri, tertunduk tak kuat dan memekik dalam batinnya, perih. Ia terisak sesaat, lalu teringat sebuah perkataan yang pernah ia ucapkan pada seorang teman, tujuh tahun yang lalu, di satu malam yang dingin dan ramai, di kala ia berusia 21 tahun.
“Ketika aku merasakan cinta, dan ketika aku benar jatuh cinta kepada seseorang, tolong kau jadi saksiku. Maut adalah pertanda bahwa cintaku saat itu juga, adalah cinta sejati dalam hidupku.”
***
Jakarta, 27 September 2008
Comments
Post a Comment