Melodi Singkat Penutup Kisah

"Aku mencintainya," ujar perempuan itu

"Aku tahu. Lalu mengapa kau datang padaku hari ini?" tanyaku

"Aku minta ijinmu," katanya

Aku diam. Tak mengerti yang ia ucapkan. Siapa aku?

Terbaca pikiranku olehnya,

"Dia masih mencintaimu, aku tahu itu." ia lontarkan jawaban atas ujaran bisuku

Terdiam aku. Dalam pikiran dan hati ini, aku mengakui ia sepenuhnya benar. Laki-laki itu masih mencintaiku.

"Tapi kini kalian telah bersama. Mengapa masih menganggapku?" tanyaku, naif.

"Segala tutur katanya, segala karyanya, setiap hela nafasnya, mengandung kamu." katanya datar

Lama kami terdiam. Diam yang aku tak suka auranya, diam yang aku tak tahu maknai apa.

"Ijin apa yang kau pinta, tadi?" tanyaku

"Aku ingin mencintainya kini. Aku ingin ia hanya ada untukku." tuturnya.

Ia duduk di depanku, wajahnya menunjukkan gelisah. 
"Mengapa kalian tidak bersama?" tanyanya, menyerah dengan segala rasa penasaran yang daritadi mungkin menyelubungi relung hatinya.

Aku menghela nafas, mengingat sosok laki-laki itu. Mengingat segala yang telah kami lalui.

"Ia pernah mengucap ingin menikahiku suatu hari nanti. Namun, hari itu tidak pernah tiba." jawabku, kutatap bola matanya yang mengharap jawaban lebih panjang.

"Kami tidak pernah bersama secara hubungan resmi. Kami masih mencari kepastian diri masing-masing, hingga kepastian kami berdua tak pernah terwujud," lanjutku.

Ia diam. Menunduk, tak tahu harus berkata apa. 

"Sudahlah, jadilah bersamanya. Cita-cita itu pernah terucap beberapa tahun yang lalu, tidak lagi kini." ujarku.

Ia menengadah, mengikuti arah tubuhku bergerak, berdiri, berpangku tangan di atas meja cokelat tinggi.

"Bagaimana mungkin aku bisa bersamanya jika aku tak tahu pasti perasaannya padaku, meski ia kerap berkata jatuh cinta?" tanyanya mulai resah.

"Maknai saja itu. Ia jatuh cinta padamu, kini. Perasaannya padaku sudah tidak bisa dijelaskan, sudah tidak nyata, dan sudah tak berbentuk. Kamulah wajahnya kini," ujarku. Merasa ada suatu ganjalan dalam kerongkonganku. Mengharap satu kerelaan yang aku butuhkan. Bertahun-tahun telah lewat namun kerelaan itu belum mencapai wujud sempurnanya.

Ia lama terdiam. "Jadi, kalian selesai?" tanyanya.

Bingung aku menjawabnya. Apakah kami selesai? 

"Tahun memang tidak menjamin itu. Tapi hubungan kalian menjamin itu. Ia bersamamu kini, milikilah ia." ucapku.

Perempuan itu mengusap rambut cokelatnya. Ia belum lega, terpampang jelas di seluruh aura yang menyelimuti raganya. Namun, aku tak bisa berkata lebih. Aku mengerti betul rasanya yang terlihat dari segala pancaran kata dan sorot mata. Tak punya hak aku untuk menghalangi itu. 

"Kami berdua adalah kisah lama yang tak menemui kerangka nyata. Tak ada kepastian dalam itu. Tak ada gunanya kau menyerah karena sesuatu yang tak nyata, pergilah," ujarku, memberinya rasa aman untuk memiliki sosok laki-laki yang pernah berikrar akan mengajakku hidup bersama. Laki-laki yang menemui wujud ketakpastiannya akan aku, akan kami berdua.

Ia pergi. Melangkah ke luar pintu untuk menyambut kepastian yang ia harap bisa ciptakan.

Aku kembali, dan harus mengubur penantianku akan dia, akan kami.

Yang tak pernah menemukan wujud nyata selain angan, yang oleh waktu tak diberi penyelesaian.

***

Sarijadi, 5 Maret 2010

Comments

  1. knp serem cii? sediiih klo kata gw!

    ReplyDelete
  2. serem kl kejadian ky gini nimpa gw, pasti gw akan sedih sekali..

    ReplyDelete
  3. iya ci..hehehehee..sedihnya tak terutarakaannn

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tentang Sebuah Hubungan

[Ulasan Buku] Manuscript Found in Accra

Ulasan Musik: London Grammar