the wind beyond her fidgetiness: a monologue of Sekar #3
The First Sun
Siang ini udara begitu bersahabat, walaupun ramalan cuaca di bulan-bulan belakangan selalu menunjukkan cuaca yang buruk, namun tampaknya alam ingin menghibur seluruh umat manusia hanya untuk hari ini. Lihat saja, langit biru cerah dengan semburat awan yang membentuk bantalan putih bak kapas yang tampak empuk untuk ditiduri. Matahari tidak kalah riang dengan senyumannya yang telah lama tidak nampak tersungging begitu jujur di atas sana. Saat ini, lihat saja, ia memamerkan sinar-sinar keemasan yang menyilaukan mata dan menghadirkan semburat garis cahaya hingga ujung telapak kaki Sekar.
Hari ini tampak begitu selaras dengan apa yang Sekar rasakan. Entah mengapa, Sekar merasa begitu bersemangat untuk bertualang di seputar kota untuk hari ini. Sejak pagi, ia mengamati keadaan kota, ia merasakan gejolak untuk bercinta dengan hari yang cerah ini. Tidak ada awan mendung, tidak ada dedaunan coklat kusam yang berterbangan di sekitarnya, dan yang terpenting: tidak ada wajah suram saat ini. Semua orang yang Sekar temui di sepanjang jalan terlihat begitu ceria, peluh yang membasahi sekujur tubuh mereka terbayar dengan keriaan yang menyelimuti kota hingga peluh hanyalah peluh: sambutan hangat manusia akan senyuman matahari yang telah lama mereka rindukan.
Langkah kaki Sekar menyusuri jalanan panjang berbingkai pertokoan yang tampak ramai akan pengunjung. Setiap sudut berdinding kaca itu dipenuhi dengan berbagai warna. Sedikit mengejutkan di musim yang sering diwarnai suramnya aura langit dan basah akan tetesan hujan. Musim yang selalu...gelap. Sekar mengayun langkahnya pelan dan riang, mengamati setiap etalase yang memamerkan barang-barang hasil jerih payah para buruh dan kini dibalut oleh label-label merek produk yang secara mudah dibayar dengan beberapa lembar uang hingga barang itu berpindah ke tangan si pembeli. Toh, bagi Sekar, memandangi berbagai warna yang terpampang di etalase kaca itu sudah cukup menyegarkan mata dan hatinya. Ia gembira. Hari ini sungguh ramah pada seluruh manusia yang Sekar harap turut menikmati indahnya bumi siang itu.
Hingga Sekar berhenti di depan sebuah toko yang menjual lukisan-lukisan realis yang menonjolkan berbagai pose perempuan. Sebagian abstrak, sebagian lugas. Sekar mengamati satu lukisan perempuan yang berwarna merah marun dan mencoba menebak apa yang sedang perempuan itu lakukan dan pikirkan. Satu sentuhan lembut di pundak Sekar tidak mampu membuatnya terkejut hingga ia membalikkan badan dan mendapati sosok itu di depannya.
Tuan Mudaku
Sosok itu tersenyum. "Hai, Sekar..."
Sekar masih mencoba meyakinkan dirinya bahwa sosok itu benar adanya. Sungguh, ia nyata...kini, saat ini, di depanku...
"Kamu..." Sekar tersenyum riang. Ia tidak berhasil menyembunyikan ekspresinya yang senang bercampur terkejut di siang yang sungguh penuh kejutan itu.
"Ya, aku." sahut sosok itu. Ia tertawa melihat ekspresi Sekar lalu seketika langsung menunjuk lukisan yang tadi diamati oleh gadis berambut hitam itu.
"Apa itu?" tanyanya.
Sekar menoleh ke arah lukisan perempuan tadi dan mengibas tangannya perlahan.
"Ahh! Tidak, entahlah. Tadi aku hanya mengamati lukisan ini, menarik." jawab Sekar singkat.
"Apa yang kau dapatkan dari lukisan itu?" pria itu bertanya penuh minat kepada Sekar.
Sekar terhenyak. Ia merasakan wajah Tuan Mudanya begitu dekat dan nafasnya tercium dengan tajam.
"Hmmm...hanya bertanya apa yang sedang ia lakukan. Perempuan ini, tampak, entahlah, misterius." jawab Sekar, sedikit gugup. Ia tidak mengerti mengapa tiba-tiba ia merasa kelu dan sulit untuk berkata-kata.
"Kalau begitu, biarkanlah ia tetap menjadi seperti itu," ujar Tuan Muda.
Sekar menatap sosok di depannya tanpa berkata-kata. Walaupun begitu, air muka Sekar dan tatapannya cukup bertanya.
"Ya, biarkan perempuan itu tetap seperti itu. Misterius, dan menarik perhatian orang yang melewati dinding kaca ini." ujar Tuan Muda itu lalu tersenyum.
Hingga sebuah seruan harus rela mengakhiri pertemuan singkat itu. Seorang pria di seberang jalan memanggil nama sang Tuan Muda, sepertinya teman yang tadi berpisah di sudut jalan.
Tuan Muda menatap Sekar untuk beberapa saat lamanya. Ia menyinari siang Sekar begitu terang, hingga Sekar pun lupa akan pujiannya untuk Sang Mentari hari itu. Hingga Sekar pun tak mampu untuk melihat semburat cahaya Sang Mentari yang tadi telah menghampiri ujung kakinya, dan hingga Sekar pun tak mampu untuk menahan senyumannya.
Hanya sebuah kalimat perpisahan, "Sampai bertemu lagi," yang mereka berdua mampu ucapkan. Langkah kaki itu membentuk sudut 90 derajat dan punggung mereka saling mendengar derap langkah yang semakin menjauh.
Sekar tak ingin berbalik, ia lanjut melangkah pelan, sembari tersenyum dan membatin,
"Terima kasih untuk siang ini. Terima kasih untuk pertemuan ini."
Walaupun jutaan dansa dan drama melankoli bermain dalam teater pikiran Sekar, ia tahu, bahwa yang paling bijak baginya di siang ini adalah menikmati pertunjukkan itu, bersyukur akan keriangan yang telah alam ijinkan dirinya nikmati hari ini, dan menyimpan rangkaian sendi-sendi nyata Tuan Mudanya ke dalam imaji memorinya. Tanpa kanvas, tanpa cat merah marun, namun tetap dengan segala pertanyaan dan penantian yang akan membuatnya hidup. Serta menanti, datangnya siang seindah hari ini.
Walau ramai di sepanjang jalan itu, Tuan Muda tak akan mampu mendengarkan kegaduhan yang bergejolak di hati dan pikiran Sang Sekar. Ia hanya mampu merasakan aroma tubuh Sekar yang semakin menjauh, yang semakin ia jauhi,
Seperti kamu, sosok misterius yang tak akan kugenggam talinya, yang tak akan kutanya kapan akan bertemu lagi, yang tak akan kusemat untaian janji untuk memberimu harapan, dan air mata. Sepertimu, perempuan misterius dalam lukisanku. Sampai bertemu lagi,
* Because nature will never be cruel to her...and earth always gives her the highest place in the existence of being. She is the majesty of her fidelity. Then be it, the constelation pays her with the truly beauty, indeed*
Hari ini tampak begitu selaras dengan apa yang Sekar rasakan. Entah mengapa, Sekar merasa begitu bersemangat untuk bertualang di seputar kota untuk hari ini. Sejak pagi, ia mengamati keadaan kota, ia merasakan gejolak untuk bercinta dengan hari yang cerah ini. Tidak ada awan mendung, tidak ada dedaunan coklat kusam yang berterbangan di sekitarnya, dan yang terpenting: tidak ada wajah suram saat ini. Semua orang yang Sekar temui di sepanjang jalan terlihat begitu ceria, peluh yang membasahi sekujur tubuh mereka terbayar dengan keriaan yang menyelimuti kota hingga peluh hanyalah peluh: sambutan hangat manusia akan senyuman matahari yang telah lama mereka rindukan.
Langkah kaki Sekar menyusuri jalanan panjang berbingkai pertokoan yang tampak ramai akan pengunjung. Setiap sudut berdinding kaca itu dipenuhi dengan berbagai warna. Sedikit mengejutkan di musim yang sering diwarnai suramnya aura langit dan basah akan tetesan hujan. Musim yang selalu...gelap. Sekar mengayun langkahnya pelan dan riang, mengamati setiap etalase yang memamerkan barang-barang hasil jerih payah para buruh dan kini dibalut oleh label-label merek produk yang secara mudah dibayar dengan beberapa lembar uang hingga barang itu berpindah ke tangan si pembeli. Toh, bagi Sekar, memandangi berbagai warna yang terpampang di etalase kaca itu sudah cukup menyegarkan mata dan hatinya. Ia gembira. Hari ini sungguh ramah pada seluruh manusia yang Sekar harap turut menikmati indahnya bumi siang itu.
Hingga Sekar berhenti di depan sebuah toko yang menjual lukisan-lukisan realis yang menonjolkan berbagai pose perempuan. Sebagian abstrak, sebagian lugas. Sekar mengamati satu lukisan perempuan yang berwarna merah marun dan mencoba menebak apa yang sedang perempuan itu lakukan dan pikirkan. Satu sentuhan lembut di pundak Sekar tidak mampu membuatnya terkejut hingga ia membalikkan badan dan mendapati sosok itu di depannya.
Tuan Mudaku
Sosok itu tersenyum. "Hai, Sekar..."
Sekar masih mencoba meyakinkan dirinya bahwa sosok itu benar adanya. Sungguh, ia nyata...kini, saat ini, di depanku...
"Kamu..." Sekar tersenyum riang. Ia tidak berhasil menyembunyikan ekspresinya yang senang bercampur terkejut di siang yang sungguh penuh kejutan itu.
"Ya, aku." sahut sosok itu. Ia tertawa melihat ekspresi Sekar lalu seketika langsung menunjuk lukisan yang tadi diamati oleh gadis berambut hitam itu.
"Apa itu?" tanyanya.
Sekar menoleh ke arah lukisan perempuan tadi dan mengibas tangannya perlahan.
"Ahh! Tidak, entahlah. Tadi aku hanya mengamati lukisan ini, menarik." jawab Sekar singkat.
"Apa yang kau dapatkan dari lukisan itu?" pria itu bertanya penuh minat kepada Sekar.
Sekar terhenyak. Ia merasakan wajah Tuan Mudanya begitu dekat dan nafasnya tercium dengan tajam.
"Hmmm...hanya bertanya apa yang sedang ia lakukan. Perempuan ini, tampak, entahlah, misterius." jawab Sekar, sedikit gugup. Ia tidak mengerti mengapa tiba-tiba ia merasa kelu dan sulit untuk berkata-kata.
"Kalau begitu, biarkanlah ia tetap menjadi seperti itu," ujar Tuan Muda.
Sekar menatap sosok di depannya tanpa berkata-kata. Walaupun begitu, air muka Sekar dan tatapannya cukup bertanya.
"Ya, biarkan perempuan itu tetap seperti itu. Misterius, dan menarik perhatian orang yang melewati dinding kaca ini." ujar Tuan Muda itu lalu tersenyum.
Hingga sebuah seruan harus rela mengakhiri pertemuan singkat itu. Seorang pria di seberang jalan memanggil nama sang Tuan Muda, sepertinya teman yang tadi berpisah di sudut jalan.
Tuan Muda menatap Sekar untuk beberapa saat lamanya. Ia menyinari siang Sekar begitu terang, hingga Sekar pun lupa akan pujiannya untuk Sang Mentari hari itu. Hingga Sekar pun tak mampu untuk melihat semburat cahaya Sang Mentari yang tadi telah menghampiri ujung kakinya, dan hingga Sekar pun tak mampu untuk menahan senyumannya.
Hanya sebuah kalimat perpisahan, "Sampai bertemu lagi," yang mereka berdua mampu ucapkan. Langkah kaki itu membentuk sudut 90 derajat dan punggung mereka saling mendengar derap langkah yang semakin menjauh.
Sekar tak ingin berbalik, ia lanjut melangkah pelan, sembari tersenyum dan membatin,
"Terima kasih untuk siang ini. Terima kasih untuk pertemuan ini."
Walaupun jutaan dansa dan drama melankoli bermain dalam teater pikiran Sekar, ia tahu, bahwa yang paling bijak baginya di siang ini adalah menikmati pertunjukkan itu, bersyukur akan keriangan yang telah alam ijinkan dirinya nikmati hari ini, dan menyimpan rangkaian sendi-sendi nyata Tuan Mudanya ke dalam imaji memorinya. Tanpa kanvas, tanpa cat merah marun, namun tetap dengan segala pertanyaan dan penantian yang akan membuatnya hidup. Serta menanti, datangnya siang seindah hari ini.
Walau ramai di sepanjang jalan itu, Tuan Muda tak akan mampu mendengarkan kegaduhan yang bergejolak di hati dan pikiran Sang Sekar. Ia hanya mampu merasakan aroma tubuh Sekar yang semakin menjauh, yang semakin ia jauhi,
Seperti kamu, sosok misterius yang tak akan kugenggam talinya, yang tak akan kutanya kapan akan bertemu lagi, yang tak akan kusemat untaian janji untuk memberimu harapan, dan air mata. Sepertimu, perempuan misterius dalam lukisanku. Sampai bertemu lagi,
* Because nature will never be cruel to her...and earth always gives her the highest place in the existence of being. She is the majesty of her fidelity. Then be it, the constelation pays her with the truly beauty, indeed*
Bandung, 9 Februari 2009
Comments
Post a Comment