the wind beyond her fidgetiness: a monologue of Sekar #2



The Anxiety

Tidak seharusnya aku banyak bertanya. Aku terlalu cemas dan resah akan kehadiran dia, sebagaimana aku resah kala angin enggan menghampiri untuk satu hari. Dunia ini sudah semakin tidak mesra, manusia semakin tidak tenggang rasa dan tidak akan segan untuk menyikut hati nurani siapa saja yang menghalangi mereka mendapatkan kebahagiaan.
Aku termenung, tidak banyak melakukan gerak hirauan atas kerlipan sinar mentari yang tersisip di antara dedaunan pohon itu. Aku memandang sekeliling, hampa sekali. Jika saja aku diberikan ijin, aku ingin hidup di beberapa abad yang telah lewat dan berharap masih bisa menemukan harmonisasi. Harmonisasi yang adalah klimaks kedamaian kehidupan, yang tidak mungkin dapat diraih oleh dunia kini. Aku ingin menikmati setiap keindahan yang terjadi di dunia ini lalu memengaruhi siapa saja menjaga harmoni itu agar dunia tidak berubah menjadi seperti sekarang.
Aku semakin terpuruk dengan harus terus berkompromi atas perasaanku. Tidak ada teman lain untuk berkompromi kecuali hati nuraniku sendiri.
Hhhh....apa yang harus kulakukan?


Sungguh aku resah dan tak bisa kupungkiri bahwa aku merindukannya. Tuan Mudaku, sedang apa dia? Lagi-lagi ia menghantuiku pada saat yang sungguh tak mampu kutepis.
Aku diam hingga bosan akan sinar mentari. Ia pun redup, tidak lagi mengintip di balik pepohonan seberang sana, namun ia berlari untuk pulang ke pangkuan tugasnya, dimana ia harus pamer misteri tiap hari di ufuk Barat.

“Apakah kita akan bertemu kembali?”  Hanya itu lantunan suara terakhir yang aku dengar dari mulutnya. Ucapannya seolah mengandung makna tertentu, seolah ia menyimpan setumpuk bekal yang hanya bisa ia ungkapkan pada pertemuan kami berikutnya.

Aku terdiam, lesu. Terduduk diam menyelonjorkan kedua kakiku ke depan, gaunku sedikit tertiup oleh angin yang sayup-sayup menyapa. Pandanganku lurus ke horison depan sana, senja ini semakin menyalak! Merahnya ganas dan membuat alam raya tampak seperti kubah merah yang mengurung segala makhluk di dalamnya dengan kemarahan. Deburan ombak yang aku lihat dan dengar seolah takut untuk menghantam udara dengan tegas, karena senja.
Tapi bagiku, senja ini syahdu. Angin lengket hinggap di sekujur tubuhku, namun aku tak peduli. Aku hanya membayangkan seorang Tuan Mudaku berjalan dari batas horison sana, perlahan menghampiriku dengan senyum tulusnya seolah memberiku tanda untuk menyambutnya.
Ah, tentu saja aku akan memeluknya, seluas apa tanganku dapat meraih dan sekuat tenagaku menahan ia agar tetap menjadi milikku.
Bayangan itu membuatku tersenyum, bayangan lain mengenai dunia membuatku redup.
Bagaimanapun, Sekar, kau adalah satu cahaya di tengah dunia kini. Kau satu-satunya yang masih ingin berkompromi dengan logika perasaan yang tidak pernah logis. Perkataan dalam jendela hatiku dengan telak membuatku tertampar dan tertohok. Aku tahu, tidak seharusnya aku terus membayangkan Tuan Mudaku! Aku tidak boleh membuatnya nyata, walaupun hanya dalam sandiwara imaji belaka! Semua itu akan semakin aku kehendaki agar nyata dan aku hanya akan menjadi sutradara yang gagal mewujudkan segala adegan impiannya. Rancangan itu tidak perlu kutulis, aku telah menyusun naskah dengan sangat matang di otakku, hatiku, tarian perasaanku, lantunan suaraku, dan hembusan nafasku.
Tuhan, harus bagaimanakah aku kini? Aku ingin berontak! Mengapa aku tidak dapat menyambut segala impian dan harapan tulus dahaga kehidupanku kini, di saat manusia lainnya di galaksi ini telah berubah menjadi sekumpulan umat terkutuk yang tetap meraih keinginan mereka, sebusuk apapun itu caranya?!
Aku tertunduk lesu. Ingin rasanya mengisak, namun gejolak ombak pasang di tenggorokanku tidak mampu mengguyur dahaga ini agar mereka keluar, membuncah melepaskan segala penat yang aku tahan! Aku mual! Aku  muak! Aku ingin Tuan Mudaku tahu betapa aku sangat tulus mengharapkan ia untuk menjadi satu-satunya orang yang aku percaya dalam melalui kehidupan di masa ini, di hidup kala ini, di tempat ini juga!

“AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA...!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!”
Hanya itu yang kusampaikan pada laut, pada senja yang semakin ungu, pada horison yang tidak menampakkan wujud Tuan Mudaku, pada ombak yang menyalak perlahan namun penuh gemuruh rendah. Aku ingin membuang semua ini, seperti bom waktu yang pada waktunya akan membuatku meledak dan terurai berceceran mengotori pasir di pantai ini.
Perempuan ini  mencintaimu sepenuh hati, dan bersumpah akan mencintaimu dengan kesucian yang terutama. Aku tidak akan menistakan cinta ini menjadi sebuah kutukan, jikalau aku memang tidak dikehendaki untuk memilikimu, walaupun hanya satu detik cahaya kala senja memerah.
Sudah, cukup. Aku telah marah pada senja, ombak, horison, dan udara. Itu cukup.
Aku bangkit, perlahan beranjak seiring dengan butiran pasir yang berjatuhan dari gaun dan kulitku. Air mukaku telah menjadi dingin, sedingin aku akan menghadapi segala kenistaan di sekitar hidupku, namun dengan harapan yang suci. Kau, Tuan Mudaku.***


Bandung, 11 Oktober 2008

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Sebuah Hubungan

[Ulasan Buku] Manuscript Found in Accra

Ulasan Musik: London Grammar