Kala Musim Hujan Usai

Hujan masih belum berhenti juga di bulan ini. Musim masih meraba-raba waktunya yang makin tak pasti untuk berganti giliran. Ia tidak bisa mengelak dari segala kerusakan yang timbul karena pengaruhnya, walau sebenarnya manusia juga turut andil dalam kerusakan itu. Jalan yang berlubang menyebabkan sekian pengendara motor kecelakaan dan pengendara mobil miris mendengar bunyi nyaring tanda bagian mobilnya menghantam lubang  yang diselimuti genangan air hujan.

Kemacetan di jalan raya kota ini semakin memuncak kala akhir minggu. Sepertinya, tidak ada yang peduli atau protes walaupun jumlah kendaraan yang masuk ke kota melebihi jumlah jalan raya yang ada di dalamnya. Seluruh pengendara mobil dan motor egois, berlomba-lomba dan tetap mendewakan keinginannya untuk mencapai tempat tujuan. Jalan berlubang, hujan mendera, dan terpaan makian kanan-kiri tidak mengenyahkan keinginan mereka.

Kejadian ini biasa dan pasti terjadi di tiap akhir pekan, di kota ini. Sejuta warga dan turis pun menganggap hal ini biasa saja, karena memang sudah begitu hukumnya untuk berlibur di kota ini kala akhir pekan. Tidak disangka, hal seluas ini bisa menyebabkan permasalahan pribadi bagi Shanti dan kekasihnya. Siapa sangka, iklim kota yang seharusnya sejuk kala musim hujan itu justru membawa petaka bagi iklim hati keduanya?

“Apa maumu sih?!” sentak Raga sambil terus memperhatikan kondisi jalan. Ia sedang memegang kemudi dan mereka kini terjebak dalam kemacetan luar biasa, khas akhir pekan Bandung.
Shanti melakukan bahasa tubuh kesal. Ia menyentakkan kakinya ke dinding bagian dalam mobil. Mulutnya manyun, tangannya mengepal tidak jelas dan tangan kirinya menjambak-jambak rambutnya secara diam-diam. Ia jengah, ia lelah.

“Tidak ada! Sudah, biar selesai masalahnya, ini semua salah aku!” balas Shinta tidak kalah galak. Ia menyerah, mereka berdua menyerah. Masing-masing tidak bisa menyampaikan maksud di alam pikirannya, sekaligus tidak mampu mencerna maksud yang diutarakan oleh keduanya. Semua seperti jalan buntu, atau jalan bercabang yang tidak menemukan muaranya? Entahlah. Jika dihitung, sudah berapa banyak perselisihan silih berganti di minggu ini, bulan ini. Tak dapat dihitung pula mereka akan selalu kembali bersama dan menyambut pertengkaran serupa datang lagi.

Keduanya diam, dalam angkara dan murka yang membakar logika berpikir mereka. Keduanya tidak tahu harus mengeluarkan kata-kata apa dari mulut mereka, dan keduanya sama-sama tidak mampu mengalahkan ego masing-masing untuk menenangkan diri agar semua bisa dibicarakan baik-baik.

Emosi Raga meluap dalam tekanannya yang tak henti-henti ke atas klakson mobil. Ia sebenarnya tahu, tidak ada perubahan yang bisa dihasilkan dari rentetan klakson itu. Di depan mereka, mobil-mobil berhenti, sampai beberapa meter di depan. Ruas jalan raya itu memajang kendaraan-kendaraan yang diam, berisik klakson menjalin melodi yang merantai dari belakang ke depan. Semua riuh rusuh di sana membuat kepala serasa ingin pecah dan mulut ingin berteriak tanda kesal. Ditambah lagi keadaan Shinta dan Raga yang sedang tidak sehat batinnya, akibat pertengkaran itu.
Lima belas menit mereka terjebak dalam keruwetan kota dan kuasa emosi yang tidak lagi mampu menemukan keadaan logis. Lima belas menit itu diwarnai dengan bentakan masing-masing, salah menyalahkan, saling berapologi, saling adu argumen yang jauh dari masuk akal.

“Apapun yang akan aku utarakan, otak kamu sudah tidak mau menerimanya!” ujar Raga keras.
“Iya! Karena bagaimanapun masalahnya, semua harus kembali pada aku yang meminta maaf dan mengklaim itu semua sebagai salah aku, tau!” Shanti balas berteriak sambil menunjuk-nunjuk dadanya.
“Bukan itu maksud aku, sayang!” sergah Raga.
“Bahasa tubuh dan mulut kamu menunjukkan maksud itu!” potong Shanti tak mau mendengar.
“Kamu tuh selalu memotong pembicaraanku...” Raga membentak dengan lelah sambil melongok, memantau keadaan kendaraan-kendaraan di depan yang mulai bergerak merayap.
“Daripada kamu! Tiap aku ngomong diam tapi sebenarnya tidak pernah mendengar!!” lagi, Shanti menyergah dan menyerang tanpa ampun.

Raga memukul kedua kepal tangannya ke setir sambil mengeluarkan decakan kesal. Shanti tertegun sesaat, lalu kembali mengeluarkan sejuta umpatan dalam volume rendah namun intonasinya tetap tajam.

“Tidak akan pernah selesai, malah nambah masalah baru dan membesar-besarkan masalah,” gumam Shanti. Raga diam, dahinya mengerut, dadanya terlihat naik turun dan mungkin jika bisa dirasa, debar jantung Raga sungguh tidak teratur.
“Tolonglah, keadaan jalan sekarang seperti ini sudah cukup bikin emosi. Ini bukan saat yang tepat untuk membicarakan hal-hal yang perlu konsentrasi,” nada suaranya memelan beberapa menit setelah itu, Raga.

Mereka hanyut dalam diam. Dua puluh menit berselang, sampai ke tempat tujuan, kosan Shanti.
Bergegas keluar dari mobil, Shanti menatap Raga sesaat.

“Sampai nanti, kala musim hujan usai,” ujarnya dengan sorot mata sedih. Raga merengut, enggan menatap pacarnya lama. Namun, ia tak mengerti maksud Shanti.

“Mengapa? Apa lagi itu?” tanyanya sambil mengangkat kedua telapak tangan di udara, tanda tidak habis pikir.

“Kamu tadi bilang keadaan ini tidak mendukung kita berbicara dengan baik. Maka, menurutku, tunggulah musim hujan usai. Tunggulah sampai kita bisa melihat dengan mata kepala kita sendiri lubang-lubang di jalan yang tak akan lagi tertutup genangan air hingga menipu kita yang tersentak kaget oleh hantaman mobil ke lubang itu.” Shanti membuka pintu.

“Musim ini memenangkan angkara kita, dan kita kalah. Sampai jumpa di musim berikutnya,” Shanti berdiri dan keluar dari mobil Raga. Ia menyayangi Raga, namun musim tidak. Shanti mengalah kepada musim tanpa merasa kalah seperti biasanya. Ia tidak ingin lagi disalahkan oleh Raga, oleh ego Raga, oleh ego dirinya. Ia tidak ingin lagi disalahkan ketika seharusnya bukan perbincangan tentang siapa yang salahlah yang muncul.***





Sarijadi, 12 Maret 2010

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Sebuah Hubungan

[Ulasan Buku] Manuscript Found in Accra

Ulasan Musik: London Grammar