Rambutnya Bukan Lagi Mahkotaku
Aku pernah bertitah padanya agar tidak memotong rambut panjang sepunggungnya itu. Bagiku, laki-laki akan sangat terlihat keren dengan rambut gondrong, baik lurus ataupun keriting. Terutama, saat mereka menguncir kuda rambut mereka dan membuat rambut di bagian depan tertarik menguncir menyatu kuat, memertontonkan kekokohan karakter kuat mereka sebagai seorang laki-laki. Aku tidak begitu suka laki-laki yang wajahnya terlalu licin tanpa hiasan kumis atau janggut tipis, karena bagiku, kedua jenis rambut itu merupakan bingkai wajah yang akan membuat wajah laki-laki terlihat lebih garang. Ya, aku suka laki-laki garang, tidak suka dengan laki-laki terlalu rapih dan parlente, tidak suka juga dengan yang terlalu dekil karena membuatku malas mencium aroma tubuhnya (padahal bisa saja mereka wangi dan baju habis dicuci), dan terutama aku suka aksen rambut di wajah lelaki. Rambut panjang atau gondrong tentu termasuk di bagian wajah karena rambut membungkus perbentukan wajah mereka dan seperti perempuan, rambut pun mahkota bagi lelaki, bagiku.
Setiap ia mengutarakan niat untuk potong rambut, entah karena gerah atau bosan, aku akan mengerutkan alis tanda tidak setuju. Aku tidak ingin merindukan rambut gondrongnya dan harus rela menunggu berbulan-bulan untuk dapat melihat rambut panjangnya itu, tanda keseksiannya itu. Walaupun, memang rambut lelaki kelihatannya lebih cepat tumbuh ketimbang rambut perempuan, tapi tetap saja, toh aku harus menunggu. Ia, ketika aku menyuruhnya mengurungkan niat potong rambut, hanya akan tertawa sambil mengusap rambut hitam lurusnya sambil berkata, “Yah, kalau bukan karena kamu yang minta, udah abis deh!” katanya lalu mengacak-acak poniku.
**
Waktu itu, kami bertemu lagi. Rambutnya masih panjang, janggut tipisnya lebih tepat dibilang brewok dan kumis juga tidak dicukur. Bagi banyak orang, mungkin ia terlihat tidak mengurus dirinya sendiri. Tapi, aku merasa ada obat rindu ketika melihatnya begitu. Aku tersenyum, dan berbasa-basi,
“Rambut masih panjang, eh?” tanyaku.
Ia mengeluarkan senyum khasnya, senyum miris. Sambil tak lupa mengusap-usap bagian belakang kepalanya,
“Aku ingat kamu sangat menyukai ini,” katanya singkat.
“Wah, masih ingat apa yang aku sukai?” tanyaku pura-pura terkejut alias tidak tahu harus merespon apa karena aku sebenarnya salah tingkah mendengar pernyataannya.
“Siapa tahu kamu bisa jatuh hati lagi padaku dengan melihat rambut-rambut ini!” ujarnya spontan sambil terkekeh, sempat menatapku sekian saat.
Aku benar-benar salah tingkah, tak tahu harus berbicara apa. Hanya menunduk dan tersenyum getir.
Beberapa bulan setelahnya, kami bertemu lagi. Seusai kelas, aku berkumpul bersama teman-teman di kantin kampus. Aku tak menyangka ia akan berada di kampus, sebenarnya. Setahuku, ia sedang melaksanakan praktik kerja untuk mengejar kelulusan, di luar kota. Ia tersenyum simpul sambil mengangguk ke arahku,
“Hai, apa kabar?” tanyanya.
Aku melihat ia dengan seksama, “Baik! Kamu?” balasku dengan ceria, aku begitu gembira melihat dia, aku begitu gembira bertemu dengan dia tanpa aku harapkan hari itu.
“Baik, walau lelah. Aku sudah selesai praktik kerja,” ujarnya bersemangat.
“Wow, kalau begitu tinggal skripsi dong?” tanyaku senang mengetahui ia telah menyelesaikan satu tugas menjelang tugas akhir. Ia mengangguk. Tak lama, ia pamit karena harus segera bertemu rekannya di kota. Kami pun menyudahi pembicaraan.
Ia tak tahu, dari balik punggungnya yang menjauh menuju luar, aku memerhatikan rambutnya. Tak sepanjang dulu, aku rasa ia telah memotong sedikit rambutnya. Janggut dan kumisnya juga tak selebat terakhir aku bertemu dengannya. Tapi, ia masih tergolong laki-laki gondrong tanpa muka licin. Aku tersenyum tipis, mengamati ia hingga punggungnya yang menggendong ransel Eastpack cokelat benar-benar hilang dari pandanganku.
Aku mengingat perbincangan singkat kami tadi. Ah, sebentar lagi ia akan jarang kulihat di kampus. Lalu, setelah itu, ia akan benar-benar pergi dari kampus ini. Ada setitik sedih dalam dadaku, yang entah tak bisa kuhindari dan aku sesak napas sesaat, membayangkan sosoknya akan benar-benar tak mampu kuraih.
*
Lima bulan berselang, sosok kukenal mendekat. Bukan menuju arahku, tapi hendak melewati tempat aku sedang duduk. Tak yakin aku menerka, namun lima detik setelahnya, kami benar berhadapan. Ia diam, tampak canggung. Aku pun, kaget.
“Hai,” sapaku.
“Hai, kamu,” ia balik menyapa.
Terdiam kami, entah mengapa pertemuan kali ini terasa canggung dan tak mengenakkan.
“Rr...rambutmu,” ujarku perlahan, diiringi senyum terpaksa.
Ia terkekeh, serius, dan penuh makna. Ia mengangguk-angguk, sambil tetap menatapku.
“Kamu potong?” tanyaku.
Ia hanya menggidikkan bahu, tanda mengiyakan. Aku, menggidikkan bahu, sambil membuat pola O dari kedua bibirku.
Tidak ada yang membuat kami beranjak dari situ. Waktu yang canggung membuat kami akhirnya memilih duduk bersama di taman kampus. Ia sudah menyelesaikan skripsinya. Ia akan segera beranjak pergi dan meninggalkan kampus ini. Aku, tak lama lagi, akan benar tak dapat menemukan sosoknya di sini.
“Lama ya, tidak berbincang,” ujarnya. Ia masih merokok Dji Sam Soe filter yang kukenal. Ia masih memilih pemantik api berwarna merah transparan, yang selalu aku belikan dulu, tiap ia kehilangan benda sakral bagi perokok itu. Ia tak mau warna lain, dan aku sudah hapal itu. Ia masih menggunakan ransel butut yang kerap kubuang dari atas tempat tidurku karena terlihat begitu jorok untuk dihamparkan di atas seprai yang baru saja kuganti.
“Yah, terakhir kita berbincang lama, sekitar, hmmm, setahun yang lalu ya?” aku mencoba mencairkan suasana. Aku, memanggil kembali memori kami berdua, yang ternyata tidak mengantar nuansa baik, terlepas dari senyum penuh makna yang tersungging di bibir kami berdua. Aku melirik sekilas, aku masih mengenali salah satu tipe senyumnya itu. Hanya saja, tidak ada lagi kumis tipis yang biasanya membuatku geli kala ia mencium lembut bibirku.
Ah, aku hempaskan segala pikiran tentang kenanganku dengan dia. Kotak kaca yang berembun di otakku tiba-tiba mencair dan mengeluarkan segala isinya, dan tidak ada yang baik dari itu. Aku makin merindu akan masa lalu yang tak akan bisa kumainkan kembali.
“Rambutmu,” ujarku pendek. Ia tiba-tiba tertawa, “Kau masih saja memerhatikan rambut, kumis, dan janggutku?” tanyanya sambil tertawa. Ia geleng-geleng tanda heran dan aku makin salah tingkah dibuatnya. Tawa itu, tawa di sela ia sedang menyalakan rokoknya, lalu ia akan menghisap hisapan pertama, lalu ia akan menghembuskan setengah asap dari mulutnya, lalu ia akan kembali menggelengkan kepala, diam, dan kini waktunya dia lanjut bicara.
Lihat, aku masih ingat detil kecil seperti itu.
“Aku clueless,” ujarnya, tanpa menatapku.
Aku diam, tak mengerti. “Tak punya petunjuk untuk apa? Model rambut?” tanyaku asal.
Ia mengusap-usap bagian belakang kepalanya yang tak lagi tebal atau dikuncir.
“Aku tak punya petunjuk tentang kamu,” ujarnya, kali ini sambil menatapku.
Aku menelusuri tiap kata dan pandangannya. Senyum kecilku menyusut, menciut jadi katupan dua bibir yang menyimpan gejolak tak jelas dalam kerongkongan dan pelepah lidahku. Menjadi liur, liur yang membuatku jijik atas salah tingkahku ini. Liur yang langsung kutelan kembali dan rasanya menohok kerongkonganku, tajam.
“Selama ini, aku memanjangkan rambut hanya karena kamu, karena itu yang kamu suka, karena aku membuatmu senang dengan itu, karena itu kesepakatan kita atas cinta yang memungkinkan aku dan kamu memiliki seluruh bagian dari raga dan jiwaku.” Ujarnya. Berhenti sebentar, dan aku tetap terpaku.
“Rambut, kumis, janggutku, adalah milikmu kala itu. Selama aku masih merasa kau miliki, maka semuanya masih menjadi milikmu. Itulah mengapa aku urung memotongnya, aku masih menghendakimu untuk memilikiku, kala itu.” Paparnya, tampak mencoba membuat segalanya terlihat ringan, tapi aku menangkap satu rasa berat dari dirinya untuk menjadi jujur.
Angin sore pertanda hujan mulai mengusik kami. Lalu lalang mahasiswa di depan kami menjadi monumen jejak langkah yang dulu pernah kulalui dengannya. Bangku ini pertanda monumen terakhirku untuk bisa berada lima centi dari dirinya, entah apakah masih ada kemungkinan ini. Tapi, hati yang telah aku pupuskan menjadi monumen aku mematung. Mematung karena aku beku, tak kuasa, seperti biasanya, menjadi jujur untuk rasaku. Mematung karena aku akan selalu mengelak untuk mengungkap lewat ujaran, yang dari dulu tak pernah aku lakukan. Mematung karena aku selalu membiarkan segalanya teratasi dengan diam, karena bagiku kata-kata hanya menimbulkan petaka. Persis, seperti sore ini, kala kata-katanya menghujamkan petaka di pangkuan rasaku yang terpasung oleh memori.
“Kamu sudah jatuh cinta lagi, maka dari itu, maka kamu potong rambut milikku di ragamu,” aku menyimpulkan. “Karena, berarti, itu sudah bukan milikku,” ujarku pelan. Tak berani dengar pengabsahan dari bahasa tubuhnya.
“Giliranmu telah berlalu, aku tak punya petunjuk. Aku bahkan tak punya petunjuk harus sampai kapan menunggumu. Berat hatiku, tapi, aku juga berat melangkah dan itu lelah rasanya,” katanya, menunduk, menatapi kedua pergelangan tanganku yang masih menggunakan gelang pemberiannya.
Aku mengangguk, berusaha mengerti dan merasa ini adalah hal yang wajar.
Lagi-lagi, aku membiarkan semua teratasi oleh diam, mematungkan rasa menjadi tak terungkap. Ternyata sakit. Aku tak pernah sangka saat ini tiba, selama masih kulihat rambut itu menggantung berantakan di kepalanya, aku tak pernah sangka saat ini tiba. Terlebih, aku tak pernah bayangkan skema sakit yang akan aku rasakan begini jalannya.
Ia beranjak berdiri, “Tapi kamu masih sangat melekat, dan entah kapan terbang bebas. Namun, aku harus melangkah. Aku hendak menyusun kerangka pasti dengan seseorang, aku tak bisa sibuk menyusun kerangkaku sendiri, atas ketakpastianmu akan rasa padaku.” Ujarnya, mengusap poniku untuk terakhir kali. Tanpa ia tahu, usapan itu mentahbiskan tangisan tak kunjung surut pun tak kunjung berair, ke depannya.
Lagi-lagi, aku mematungkan rasa dalam diam. Tak pernah berani jujur, padahal aku tak pernah berani menghadapi sakit seperti ini.
“Kau merelakan rambutmu tidak lagi jadi milikku,” aku bergumam kecil, tak lagi menatap punggung beransel cokelat kumuhnya, tak lagi mengamati gerak tubuhnya hingga ia menghilang dari pandanganku. Tak lagi berani menikmati ayunan kepalanya, tak lagi menjadi mahkota dirinya.***
Bandung, 20/03/10
Comments
Post a Comment