the wind beyond her fidgetiness: a monologue of Sekar #1



The Identity
 
Sosok itu hanya berdiri seolah merasa yang mampu diserap asa, namun ia tidak mampu menangkapnya. Terlalu banyak kebimbangan yang menerpa seiring hembusan angin yang menjalari kulitnya. Angin berhembus menari dan menyapa layaknya penari latar yang ingin tampak akrab dengannya, perempuan itu. Lekuk tubuhnya habis dilukis angin di udara hingga gaun itu terus tersibak, membentuk dengan jelas pola yang indah, pola perempuan itu.

Sekar, itu namaku.
Perempuan, itu yang dapat kuberitahu padamu, karena rahim yang ada dalamku.
Feminim, itu identitasku. Karena itu yang orang katakan mengenai kaum kami, ah betapa identitas itu semu karena tidak dapat aku bentuk sendiri, namun mereka yang membentuknya!
Dan resah, asa yang kini kuserapi, sendiri.

Sekar terus berjalan, perlahan, kadang terhenti sesaat, menatap sebuah rasa rindu yang telah lama ia inginkan hadir kembali di pelukannya. Ia mencari-cari, menerawang ke atas sana, dimana langit begitu ramah akan matahari yang bersinar galak! Ia rindu, akan rasa aman. Bukan untuk memiliki penjaga-penjaga yang hanya melindunginya dari serangan para pecundang kelamin atau pecinta sesama vagina yang mungkin menghantuinya. Ia rindu akan rasa aman, untuk tidak membutuhkan penjaga-penjaga macam itu.

Ah, betapa galaksi ini sudah semakin membuat kami karam untuk dapat berdiri sendiri. Hembusan angin terasa tajam di kulitku, tidak lagi menyejukkan, tidak lagi merayuku mesra, tidak lagi memadamkan semburan api yang kian membuatku jengah, gerah!
Apa yang harus kulakukan?

Sekar berjalan menunduk.
Sesekali ia menengok ke segala arah untuk mengamati. Air wajahnya abstrak, terlalu banyak yang berkecamuk dan tidak dapat dibaca terpisah. They're all uniting.

Sekar, namaku.
Sekali waktu, ia dan mereka pernah bilang padaku bahwa aku ini indah. Sudah kodratku untuk tampak mekar dan berbunga di kehidupan manusia, sesuai arti nama yang telah disematkan padaku.
Namun di saat yang lain, aku merasa kosong, tidak dapat berbunga. Mereka telah dengan kejam membunuh penampakkan batin kaum kami dengan membentuk segala identitas, ya, begitulah ia disebut, identitas yang dengan mutlak membentuk kami. Lalu, kaum kami akan punah, kami akan punah.

Sekar terduduk, tertunduk. Tumpuannya pada kedua telapak kaki, ia menyatukan lipatan paha dan betisnya hingga bertemu, tangannya satu bertumpu pada tanah.
Gaunnya menyapi rumput lembut, dan helai demi helai rambutnya tertiup mengikuti arah angin yang masih ramah merayunya mesra.

Sekar, namaku.
Tolong, hanya itu yang kubutuh untuk kau tahu. Aku adalah Sekar, aku adalah apa yang kau lihat, bagaimana bentukku. Aku tidak ingin mereka membentukku untukmu. Aku ingin kau tahu diriku sepenuhnya melalui mata, hati, asa, telinga, dan semua yang bisa kau inderakan pada bentukku.
Jika aku hendak telanjang di depanmu untuk meyakinkan nol kepalsuan yang kumiliki, berdirilah di hadapanku.
Aku bukanlah citra.
Aku bukanlah identitas.
Aku hanya bentuk.
Aku hanyalah bentukan alam.
Aku hanya bentuk yang telah alam kehendaki untuk menjadi indah. ***

Bandung, 8 Oktober 2008

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Sebuah Hubungan

Ulasan Musik: London Grammar

[Ulasan Buku] Manuscript Found in Accra