Setidaknya, Kini Saya Paham
Sumber: Power of Positivity |
Sering kali manusia berpikir bahwa jawaban adalah sesuatu yang harus didapatkan sesegera mungkin. Otak kita sudah punya aturan instingtif bahwa pertanyaan haruslah melahirkan reaksi pada saat itu juga. Maka manusiawi rasanya bila kita frustasi ketika dihadapkan pada sebuah ketidaktahuan. Padahal, Sayang, hidup tidaklah sesederhana itu, alam pikiran manusia tidaklah selugas itu, dan jiwa manusia bukanlah sesuatu yang kentara wujudnya. Jadi tak salah pula kalau saya bilang “menjadi tidak tahu” juga merupakan suatu keadaan yang terbilang manusiawi.
Tentunya bukan berarti saya pasrah mentah-mentah dengan fase “menjadi tidak tahu”. Pada akhirnya saya sadar kalau ada tiga hal yang telah membantu saya menghadapinya: rela meluangkan energi untuk berpikir lebih dalam, rela berpikir secara perlahan, dan rela untuk tidak menyangkal apa pun yang hati ungkapkan.
Saya percaya kalau—dalam hidup yang tak sesimpel hitam putih ini—ada masanya seseorang berhasil menemukan jawaban atas segala yang terjadi setelah melalui jalan yang berbelit atau narasi yang panjang. Ketika semua sudah berjalan, ketika semua sudah kadung, ketika semua sudah (seolah) menjadi garis takdir yang tetap, atau sebaliknya, ketika semua sudah hancur berantakan. Namun satu yang pasti: semuanya bertaut dengan waktu.
Oh, sungguh, di sinilah waktu bertindak sebagai wasit yang tak bisa diterka. Cuma ia yang tahu kapan jawaban datang menghampiri. Tiba-tiba, jawaban hadir tanpa diminta, dan tanpa perlu upaya keras, persoalan yang selama ini mendera pun menjulurkan akarnya satu per satu. Di lain waktu, jawaban hadir di waktu yang dirasa kurang tepat.
Tapi tunggu dulu, memangnya apa yang saya tahu soal “waktu yang tidak tepat”? Siapa yang lebih paham soal “kapan waktu yang tepat dan tidak tepat” dalam hidup saya? Berpusar dalam pemikiran “waktu yang tidak tepat” ini hanya akan mengawal seseorang menuju kemalangan tanpa jalan keluar: penyesalan, kondisi yang malah mengaburkan nalar dan membuat hati selalu berkabung.
Namun tulisan ini bukanlah tentang penyesalan, melainkan sebuah pernyataan lega dari hati saya, karena masih diberikan kesempatan untuk menemukan satu per satu jawaban atas perjalanan hidup saya. Lalu, apakah waktunya tepat? Saya tidak punya kapasitas untuk menjawabnya. Yang jelas, saya yakin belum tentu semua manusia rela untuk berpikir ulang mengenai hidupnya. Itulah mengapa saya patut mensyukuri proses ini.
Memang, jawaban-jawaban yang saya dapatkan tidak melulu merdu nadanya. Tapi yang sangat saya elukan selama ini adalah apa jawabannya ketimbang mengapa. Memang, jawaban-jawaban yang saya temui tidak memberikan panduan mengenai langkah apa yang harus diambil setelahnya. Tapi yang sangat saya perlukan saat ini adalah menerimanya. Ya, hanya menerima jawaban-jawaban itu.
Bagaimanapun, meski terkuaknya secara perlahan dan nampak samar di awal, tidak ada satu peristiwa pun yang saya sesali. Ini bukan tentang penyesalan, karena pada akhirnya semua yang sudah hadir, berjalan, dan terlampaui adalah ibarat kendaraan yang mengangkut saya ke muara persoalannya. Tidak tepat pula dipandang lewat kacamata telanjur, kadung, atau ‘tahu begitu’. Saya mengamini bahwa tiap hal yang terjadi dalam hidup ini bukanlah sebuah entitas tunggal dan terjadi tanpa muasal, melainkan selalu bertalian dengan hal-hal lain yang tidak/belum kita sadari dan ketahui; belum tentu pula bersentuhan langsung atau mudah dikenali rangkaian sebab-akibatnya. Hey, semesta tidaklah semurah hati itu hingga mengizinkan manusia menyingkap seluruh misteri secara instan.
Lantas, bila jawaban sudah menampakkan wujudnya, apa selanjutnya? Jujur saja, saya tidak punya tanggapan yang pasti pun istimewa. Tapi, saya rasa fase lanjutan yang lebih sulit dibanding proses pencarian itu sendiri adalah pertanyaan ini: “Seberapa besar kesanggupan hati saya untuk menerima segala macam jawaban yang timbul?”
***
Jakarta, 7 – 8 Mei 2017
PS: Tulisan ini tidak akan terwujud tanpa mereka,
yang tanpa sadar dan secara tak langsung, telah membantu saya
mengurai gagasan di awang-awang menjadi sesuatu yang konkret.
Selalu mereka. Terima kasih.
yang tanpa sadar dan secara tak langsung, telah membantu saya
mengurai gagasan di awang-awang menjadi sesuatu yang konkret.
Selalu mereka. Terima kasih.
Comments
Post a Comment