Mereka

Mereka sibuk di belakangku. Meracau tanpa ampun, membuat bibir-bibirnya jadi keriting akibat mengoceh terlalu semangat. Katanya, aku penyakit sosial. Virus yang bisa menjangkiti anak-anaknya dan merusak moral mereka. Sumber dosa bagi para pasangannya yang selalu mengeluh tiap sadar waktunya pulang tiba.

Mereka paling berkuasa di tataran sosial ini—setidaknya kulihat mereka merasa begitu. Karena mereka bisa memvonis tanpa bukti, tapi memakai prasangka yang mengkristal jadi tudingan. Dengan merapalkan barang sekalimat, ujaran mereka membeku jadi fakta. Lalu menyebar. Lalu dipercaya. Lalu diamini. Lalu jadi mata angin dalam bertindak. Lalu memicu reaksi, berkoar-koar bagai sedang memperjuangkan kemerdekaan negara di luar sana. Lalu jadi hukuman bagi orang-orang seperti aku.

Mereka senang. Ambisi hidupnya hanya satu: menentukan nasib orang lain. Mengatur tata dunia lewat kata, dan ajakan bertindak dengan landasan serapuh daun kering. Ah, yang penting massa sudah setuju! Semakin banyak yang sepaham, semakin tak penting alasan utama dicari tahu. Hidup ini perjuangan. Titik.

Bahkan, mereka sudah memutuskan kalau aku ini calon penghuni neraka. Entah dari mana mereka bisa tahu itu, padahal kami sama-sama manusia. Kuduga, mereka punya kemampuan khusus untuk melihat hal-hal di luar kehidupan nyata ini. Atau mungkin, mereka pernah bertemu Tuhan.

14/11/17

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Sebuah Hubungan

[Ulasan Buku] Manuscript Found in Accra

Ulasan Musik: London Grammar