2017, Kelana Si Kontradiksi

Sesuatu yang menarik perhatian, mencolok, atau memberikan kesan yang ekstrem rasanya patut—bahkan akan otomatis—diingat. Itulah mengapa saya putuskan 2017 mesti direkam dalam kata.



Ini bukan tentang pencapaian titel, kesuksesan material, atau prestasi tertulis. Melainkan tentang satu kurun waktu yang mengukir sebuah tonggak dalam perjalanan kehidupan saya sebagai seseorang. Bentuknya tak konkret namun nyata terasa dalam semesta diri saya, yaitu berupa perasaan, pemikiran, dan pemaknaan tentang hidup.

Di beberapa percakapan yang terjadi dengan rekan kerja, keluarga, dan beberapa sahabat, saya mengulas 2017 sebagai 'tahun yang ekstrem'. Penandanya jelas: sejumlah peristiwa yang terjadi setahun belakangan beserta segala rasa yang terlibat di tiap peristiwa tersebut.

Pelik. Tahun ini terasa luar biasa pelik. Pernah tidak kamu mengalami kesulitan untuk menceritakan sesuatu, entah perasaan, kronologis, atau gambaran akan sebuah peristiwa saking rumitnya hal tersebut? Nah, demikian adanya. Tahun ini saya mendapati banyak hal yang terjadi. Bukan sekadar terjadi, tapi macam-macam peristiwa itu mengandung rasa yang berbeda-beda namun saling melengkapi.

Bukan hal-hal yang jelas kausalnya, semisal: saya patah hati karena baru putus cinta, saya marah karena dia ternyata berbohong, saya kecewa karena belum diberikan buah hati hingga sekarang, saya putus asa karena tidak dapat kerjaan yang cocok, saya sengsara ditinggal nikah, dan sebagainya.



Tapi bayangkan sebuah skenario kurang lebih seperti ini:

Kamu patah hati terhadap dirimu sendiri karena mendapati kegagalan yang tidak terduga. Namun, di tengah-tengah keputusasaan itu kamu mendapatkan suatu kebahagiaan setelah memutuskan mendengarkan hati nurani lebih dalam, meski itu bukanlah apa yang benar menurut common sense, tapi benar menurut hatimu sendiri. Seiring dengan yang terjadi, keraguan ikut-ikutan mendominasi karena kebenaran yang selama ini kamu anggap benar ternyata tidak benar-benar amat setelah ditimpa ujian lain. Tetapi, berkat itu kamu malah mendapatkan keyakinan dan pandangan baru. Eh, tunggu dulu! Setelah dipikir ulang, kamu sendiri juga tidak tahu apakah sudah yakin benar. Absurd. Konyol. Campur aduk. Tidak jelas. Penuh pertarungan makna dan keruh oleh bibit konflik.

Saya tidak bisa bilang perjalanan ini sudah selesai, mentang-mentang tahun akan segera berganti. Malah, 2017 menjadi momen awal yang membuat saya berpikir ulang mengenai semuanya. Semua yang telah saya lakukan secara sadar, semua yang telah saya pilih, semua yang saya percaya. Segala persepsi dan konsepsi yang ada pun saya rombak. Mau tak mau. Semua hal yang telah mengkristal menjadi definisi juga saya pertanyakan ulang.



Itulah yang membuat 2017 saya penuh dengan perjuangan. Oh, perjuangan ini memang tidak nampak di depan, tapi nyata terasa di diri saya sendiri. 2017 diisi kegagalan sekaligus pencapaian baru. 2017 diwarnai dengan beragam kekecewaan sekaligus kepuasan yang tak disangka bakal saya dapati. 2017 sarat oleh kebersamaan yang memberikan banyak inspirasi, kisah, pengetahuan baru dan penghiburan, tapi sekaligus memberi contoh kepada saya tentang bagaimana rasa kesepian itu bisa begitu menohok.

Tahun ini penuh dengan paradoks. Saya mendapati bagaimana makna dan rasa yang bertolak belakang malah duduk sejajar, bagaimana sebuah kepastian mengantarkan ke sebuah kekaburan, dan di atas itu semua: bagaimana saya, sebagai seorang manusia harus mencerna dan memproses segala macam kontradiksi yang terjadi tanpa harus menjadi condong ke salah satu.

Di tengah-tengah itu, lantas saya sadar mengenai pentingnya memahami dan mendengarkan hati nurani. Betapa esensialnya percaya pada intuisi, meski ia tak memberikan gambaran pasti mengenai hasil di hari nanti. Toh, saya sadar kalau berpatokan pada hasil tak selalu memberikan pencerahan yang lebih terang dibanding bila kita fokus pada proses.

Sekecil apa pun momennya, saya percaya kalau tiap hal itu terjadi karena sebab. Selalu ada yang mengakari sebuah peristiwa atau keputusan yang kita ambil, dan hal-hal yang kita anggap tidak sengaja atau terlanjur itu sebenarnya kita izinkan untuk terjadi secara sadar. Itu semua berawal dari pikiran kita sendiri, bukan orang lain, bukan pula kesempatan.



Oleh karena itu, segala kontradiksi yang terjadi di tahun ini makin merapatkan keyakinan saya bahwa sebagai manusia, meresapi dan menerima emosi itu bukan suatu cela maupun sumber perkara. Mengenali serta tidak menyangkal jenis perasaan yang kita alami terhadap sebuah peristiwa, momen, atau juga seseorang bukan berarti kita gegabah, tapi justru menjadi bekal analisis dan pengenalan diri yang lebih mendalam. Walau terkadang, prosesnya pahit, ironis dan kita rasa tak selaras dengan yang semestinya.

Alhasil, kontradiksi setahun belakangan pun menjadi bagian dari basis proses saya mendefinisikan ulang semuanya. Saya jadi makin banyak bertanya-tanya terhadap apa yang saya indrai, mau semikro apa pun itu. Persepsi-persepsi yang selama ini teramini atas nama 'sudah demikian adanya' juga makin rajin saya evaluasi dan siap bertarung dengan persepsi baru.

Seluruh rangkaian gejala, peristiwa, ujian, kebahagiaan, kesedihan, sekaligus harapan yang hadir di tahun ini telah melebur jadi satu dan memberikan berlapis-lapis pemaknaan baru untuk kehidupan saya. Termasuk untuk pertumbuhan saya sebagai seorang perempuan dan pribadi.

Syukurlah, pada akhirnya, di penghabisan tahun ini saya sadar kalau...

Bagaimanapun juga, terlepas dari segala kontradiksi yang menjauhkan hidup saya dari kepastian makna, ternyata tidak ada satu pun yang saya sesali di tahun ini. Ya, 2017 boleh jadi membikin lelah karena ritmenya tak pasti dan tak jarang, drastis. Tapi nyatanya, saya merasai semuanya melebihi ekspektasi.

Setidaknya kini saya tahu kalau kenikmatan juga bisa lahir dari ketidakpastian, kebingungan, dan ketakutan. Apa yang saya dapatkan dan telah alami di 2017 belum tentu bisa terjadi lagi nantinya.

Selamat menanti tahun yang baru. Siapkan energi untuk misteri yang menunggu.

***

Bintaro, 29 – 30 Desember 2017



Comments

  1. "Itu semua berawal dari pikiran kita sendiri, bukan orang lain, bukan pula kesempatan."

    Pikiran bahaya sih. Jadi katanya kenapa pikiran lebih bahaya ketimbang pistol, karena a thought pulls the trigger.......

    ReplyDelete
  2. “Aku berpikir, maka aku ada, maka aku tidur kembali.” :p
    Semuanya emang ada dan berawal dari pikiran. Tapi expressed and manifested or not, itu dia pilihannya.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tentang Sebuah Hubungan

[Ulasan Buku] Manuscript Found in Accra

Ulasan Musik: London Grammar