Mengurangi Ketidakpastian
Pepatah lama bilang bahwa ‘tak kenal maka tak sayang’. Saya juga kurang tahu siapa yang mencetuskan pepatah itu hingga kini jadi pengetahuan semua orang yang hidup dan bersosialisasi. Lalu, yang saya tahu cuma kalimat di atas telah jadi pengabsahan bahwa untuk bisa memiliki ikatan emosional lebih dengan seseorang, maka kita harus mengenalnya terlebih dahulu. Secara ilmiah, saya telah mempelajari penjabaran logis dari proses berkenalan dengan individu lain karena memang saya menempuh jalur pendidikan ilmu komunikasi. Saya ditempa dengan segala macam teori yang mengupas bagaimana hubungan manusia dengan manusia lainnya terjalin, mulai dari proses awal hingga akhir.
Sepanjang hidup saya (dan juga Anda), mungkin sulit untuk menghitung berapa banyak jumlah orang yang kita kenal. Ya, mungkin, dengan kehadiran Facebook, kita bisa melihat secara lebih mudah berapa banyak orang yang benar Anda dan saya kenal, atau sebaliknya. Dari sekian ratus atau ribu teman yang ada dalam jaringan sosial itu, saya tahu benar siapa yang saya kenal dan siapa pula yang mengenal saya. Bagaimana saya bisa menentukan dua kategori tersebut? Karena saya telah melalui proses untuk saling mengenal dengan mereka. Proses ini tentu lebih dari sebatas aksi menekan kotak biru bertuliskan ‘Add as a friend’ dan ‘Accept friend request’. Ada tahapan-tahapan nyata yang pernah saya alami dengan mereka. Sederet tahapan konvensional, yaitu dengan bertatap muka, mengucap salam kenal, berbicara, lanjut dengan pembicaraan yang lebih intens, hingga akhirnya memutuskan bahwa kami sudah saling kenal. Tahap akhirnya adalah apakah kami berakhir sebagai teman, sahabat, kekasih, atau sekadar kenalan saja.
Inilah yang saya pelajari dan lalu kenal sebagai Uncertainty Reduction Theory atau Teori Pengurangan Ketidakpastian. Berger, sebagai salah satu penemunya, bilang bahwa ada tiga tahapan yang dilalui manusia untuk bisa memutuskan posisi hubungan mereka tersebut berada di mana. Tahap pertama adalah tahap masuk (entry stage) yang ditandai dengan proses seseorang saling mengucap salam perkenalan hingga saling bertukar informasi untuk mencari tahu latar belakang masing-masing. Di sini, ada tahapan pertukaran isi komunikasi yang lalu memimpin kedua pribadi tersebut menuju tahap selanjutnya, yaitu tahap personal (personal stage). Apa bedanya? Dalam tahap kedua ini, masing-masing individu mulai melakukan eksplorasi untuk menggali lebih banyak lagi nilai-nilai yang mereka angkut. Jika tahapan pertama hanya sebatas bertukar informasi, di tahap personal ini keduanya melakukan eksplorasi. Komunikasi semakin dalam, tak lagi bersifat di permukaan, dan tentu saja membuat keduanya makin mengenali satu sama lain. Fase ini bisa dengan mudah kita temui ketika kita baru saja mengenal seseorang dalam kurun waktu yang singkat, lalu berkat komunikasi intensif yang terjadi serta adanya kecocokkan entah dalam kesamaan persepsi, ide, latar belakang sosial, atau kesukaan terhadap sesuatu, Anda dan orang itu mengalami rasa nyaman untuk melanjutkan proses komunikasi yang dijalani. Setelah itu, isi pembicaraan kita dengan orang tersebut mulai terbuka, misalnya ketika Anda mencurahkan isi hati kepada teman mengenai bagaimana jalannya hubungan cinta yang sedang Anda alami. Atau ketika seorang teman meminta pendapat Anda mengenai apa yang harus ia lakukan untuk mengatasi permasalahan finansial yang menderanya.
Saya menafsirkan tahap kedua sebagai sebuah proses yang intim dan sudah menggunakan perasaan tiap melakukannya. Selain itu, bagi saya, tahap kedua ini juga terjadi karena adanya rasa percaya yang telah tumbuh dan juga makin menguatkan itu. Namun, tak selamanya tahap kedua ini memimpin Anda dan lawan bicara menuju tahap akhir yang positif. Tahap ketiga, yaitu tahap keluar (exit stage) adalah fase di mana Anda dan teman tersebut masing-masing punya keputusan terhadap kelanjutan hubungan ini. Hanya ada dua pilihan: lanjut atau cukup sampai di situ. Maksudnya, apakah pertemanan itu akan berlanjut pada persahabatan atau hubungan cinta, atau justru malah tidak menghasilkan hubungan yang lebih intens akibat ketidakcocokkan yang timbul di kedua pihak.
Ketiga tahapan ini selalu terjadi dalam proses kita mengenal seseorang. Tak perlu penjelasan ilmiah untuk membenarkan pola tersebut memiliki kontribusi dalam fungsi dasar kita sebagai makhluk sosial. Anda dan saya secara naluriah sudah paham bahwa kita butuh proses bertahap untuk bisa mengenal seseorang. Tak mungkin sebuah hubungan bisa berjalan jika tanpa melalui salah satu ‘panggung’ yang sudah dijelaskan. Setiap nyawa yang sejauh ini ada dan saya kenal adalah mereka yang telah melalui tiga ‘panggung’ tersebut dalam kurun waktu yang tak sama. Ada beberapa orang yang butuh waktu lama untuk mengenal saya (dan saya kenal), namun ada pula beberapa orang yang butuh waktu hanya sekian detik untuk lalu mendapatkan sinyal bahwa ‘kita cocok!’ dan bertahan jadi orang terdekat saya. Tak semua proses pula berjalan dengan mulus dalam mengenal seseorang. Namun, garis tertebal yang saya pelajari sepanjang proses mengenal seseorang adalah: saya secara otomatis pasti akan dituntun untuk mengenali hidupnya. Hidupnya di sini berarti segala sesuatu yang melekat di tubuhnya, segala sesuatu yang ia ucapkan, hingga segala sesuatu yang menari-nari dalam kepalanya. Proses ini memimpin saya untuk memahami siapa ia sebagai seorang individu, mimpi-mimpi ia yang telah saya ketahui juga menggambarkan rupa orang tersebut dalam kerangka hidup yang ia pandang dan saya lukis.
Semua jiwa itu punya nyawa. Namun, tak semua tubuh punya jiwa yang saya tahu. Saya tak menolak untuk mengetahui seseorang sebatas permukaan kulitnya, karena ini adalah hal sederhana. Artinya, saya tak usah mengharapkan hubungan yang lebih dalam lagi dengannya. Kami bisa jadi sebatas kenalan atau teman, namun bukan sahabat atau pecinta. Maka, saya juga berharap tiap orang pun begitu dalam mengenali saya. Jika memang hanya mengetahui warna kulit saya, maka ia sadar bahwa kami akan bersapa sebatas teman biasa saja. Lebih dari itu, jika memang berharap untuk memandang hidup bersama saya, maka ia juga harus mengenal hidup dalam kerangka pikiran saya serta melihat saya sebagai individu yang hidup.
Memang, terkadang kita takut untuk memutuskan sesuatu sebagai hasil hanya karena alasan tak ingin menyakiti hati siapapun. Tapi kita juga tahu bahwa tiap orang, individu, persona, itu pasti punya manfaat dan kontribusi bagi diri kita beserta seluruh perjalanan hidup yang kita arungi. Jadi, tak bisa dipungkiri, tiga tahapan yang telah saya jelaskan di atas adalah absolut hakikatnya. Jika belum mampu menjalani satu tahap terpenting, yaitu tahap kedua, maka sulit rasanya untuk memaku keputusan mengenai ujung dari hubungan itu. Tidak ada orang yang jatuh dari langit dan bikin kita sadar dalam waktu sedetik bahwa, “Kamulah yang saya inginkan.”***
Comments
Post a Comment