Detik Leluasa

Sesungguhnya, pemandangan ini membuatku iri setengah mati pada si meja dan kursi di hadapanku kini. Bagaimana tidak? Dua benda mati ini selalu dinaungi oleh teduhnya pepohonan yang hijau, selalu disinari cahaya terkuasa tiap pagi, siang, dan sore. Belum lagi udara bebas yang selalu menyelinap dengan lembut di tiap pori-pori kayunya. Semua begitu...bebas dan sehat. Namun, aku harus akui bahwa berkat si meja, kursi, dan segala suguhan alami yang dipunyainya, maka aku bisa mencicipi secuil kebebasan yang tiap detik tersaji di sini. Aku merasa bebas...

Tidak ada sekat yang harus mengurungku tiap hari di jam yang sama, tidak ada bantuan teknologi agar aku bisa merasa sejuk, dan tidak ada pertarungan gahar di jalan raya. Sungguh sederhana, karena yang aku butuh cuma si meja, kursi, dan semua yang mengitarinya kini. Semudah itu kebebasan bisa terkecap dengan sempurna. Tapi memang berbelit untuk bisa mendapatkan kebebasan semurah ini. Ada harga-harga yang harus dibayar demi mampu melepaskan kaitan kewajiban dan keinginan yang selalu bertaut dan saling menyahut. Lalu aku sadar, memang bukan begini kebebasan itu harus dimaknai. Jika suatu saat aku mampu merasakan kenyamanan seperti ini dalam jangka waktu lama, pun bosan pasti segera mampir karena kebebasan itu sudah jadi suatu rutinitas.

Koridor pemahaman tentang rutinitas itu pun aku daur ulang sembari duduk sendiri di tempat ini. Rutinitas itu bukan sebatas bekerja, di kantor, atau menjalani hidup seperti yang orang lain jalani. Kata itu bicara tentang segala sesuatu yang dilakukan berulang-ulang dalam jangka waktu yang tak sebentar. Seandainya kebebasan yang sekarang tengah aku elukan ini terjadi terus menerus tiap harinya, toh itu berarti aku menjadikannya sebagai sebuah rutinitas. Lalu, bagaimana dengan makna kebebasan yang tadinya aku rasakan? Musnah dan akan beralih ke bentuk kebebasan lainnya. Nantinya akan jadi sama saja, bukan?

Akhirnya aku putuskan untuk cukup menikmati masa sekarang, kini, yang sedang berjalan. Bagaimanapun, satu detik setelah aku meresapi napas kebebasan yang masih terasa ini, semua omonganku di atas sudah jadi masa lalu. Lebih baik aku tinggalkan jiwa yang sedang lega ini agar berbaur dengan si kursi, meja, pohon, dan udara tanpa memikirkan tentang yang akan datang atau 'seandainya' yang berarti masa depan. Kebebasan kini tengah menuang kesegarannya agar aku bisa memaknai detik ini, alias si unsur tersingkat yang mahal harganya dan akan segera berlalu. Aku tak ingin menjadikan detik yang membawa ruang bebas ini menjadi sebuah penjara baru. Itulah alasanku untuk menanggalkan rasa bebas ini beberapa saat lagi, agar aku bisa menikmatinya dengan perasaan yang masih sama di lain waktu.***



17 Mei 2012
Griya Kania
Kaliurang, Yogyakarta

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tentang Sebuah Hubungan

Ulasan Musik: London Grammar

[Ulasan Buku] Manuscript Found in Accra