Perkara Bahagia

Beberapa minggu ini berlalu dengan sebukit renungan yang makin mencambuk. Tidak cuma terjadi pada saya, tapi juga pada beberapa teman dan beda kasus pula. Ada yang mempersoalkan cinta terhadap pasangan, cinta terhadap pekerjaan, juga cinta terhadap diri sendiri. Hingga terlintas rangkuman dari macam-macam renungan tersebut: semua bicara soal kebahagiaan. 

Kita pasti menemukan aneka perkara yang menyematkan dirinya di pundak manusia di tiap waktu. Alhasil, semua itu akan memancing keluh-kesah dan keresahan yang berujung pada pertanyaan, "Bagaimana caranya supaya saya lebih bahagia dari sekarang?" Saya yakin jawaban dari pertanyaan inilah yang dicari. Ketika satu orang mengeluhkan persoalan hubungannya dengan sang kekasih yang jarang bikin damai, orang lain juga sedang mencaci-maki atasannya di kantor yang dirasa tidak punya rasa kemanusiaan. Di kubikel lain, ada pula yang sedang frustasi karena tidak tahu darimana ia bisa mendapatkan uang tambahan untuk melunasi utang. Lalu, di pojok sini tak luput dari isak tangis seorang perempuan yang ditinggal tunangannya akibat menghamili perempuan lain. Semua bertajuk sama: masalah!

Sederet contoh masalah di atas memang seratus persen fiksi, sih. Tapi, intinya adalah manusia manapun yang sedang terjerat masalah pasti akan merindukan situasi "nyaman", "damai", alias "bahagia". Dalam rangka merespons pemicu penyakit kepala dan stres itu, kita akan langsung memutar otak dan berpikir agar segera menemukan cara untuk mewujudkan kondisi itu. Dulu, ketika saya masih berdiam di Bandung, kebahagiaan itu bisa saya peroleh dengan cara yang bisa dibilang mudah. Tak jarang vakansi mendadak tercipta dengan hanya bermodalkan ijul (mobil sakti saya) dan beberapa rekan atau pacar saya (kala itu). Kami tak butuh hotel mewah, baju baru untuk ke pantai, atau itinerary jelas ketika hendak mengunjungi suatu tempat wisata. Mengapa? Karena hanya dengan perjalanan sederhana dan tak terencana itu, kebahagiaan dengan mudahnya berdesir di urat nadi kami (atau saya, deh). Ada rasa "segar" yang membalut tiap perjalanan spontan saya pada masa-masa itu dan selama perjalanan pun saya belajar untuk menyerap hal-hal baru, juga memanjakan diri saya sendiri dengan kesenangan berkat kegiatan tersebut. Segala momen ini sungguh menciptakan pusara bahagia mendalam yang menopang suasana hati untuk menjalani hari berikutnya.

Tak peduli seberapa rumit dan berlapisnya permasalahan yang menimpa manusia, jelas kita semua memang mencari penerangan yang bisa membawa suasana hati kembali pulih alias bahagia. Kira-kira seperti itulah kemudahan dalam meraih kebahagiaan di taraf hidup yang waktu itu (bisa dibilang) belum sekompleks sekarang. Bisa jadi saya butuh strategi sederhana baru untuk bisa terus merasakan kebahagiaan yang bisa bikin wajah saya terlihat tetap cantik (trims!) berkat sering tersenyum. Bukan perkara penghasilan berlebih sampai bisa beli pulau, pacar tampan, promosi jabatan tiap tahun, atau bisa makan enak gratis tiap hari, melainkan soal: bahagia supaya tenang dan uban tidak bertambah secara ekstrem.*** 


Gelinggang 77
Jakarta, 13 September 2012

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Sebuah Hubungan

[Ulasan Buku] Manuscript Found in Accra

Ulasan Musik: London Grammar