Jatuh Cinta Lagi
Ada semburat cahaya yang membuat malam-malam agak berbeda. Hujan yang belakangan ini tak henti mengguyur permukaan bumi meredam terang sinarnya menjadi tipis, semburat yang tipis namun mampu mengusir kabut yang beberapa waktu ini menyelimutiku. Jalanan lengang, aspal basah, titik-titik air yang berdiam di kaca masih menempel, semuanya meninggalkan jejak mistis sang malam yang tersisa. Aku matikan mesin mobil setelah mendapatkan lahan parkir yang nyaman, tepat di depan pintu masuk kafe kecil sederhana yang sama sekali tak menarik penampakannya.
“Satu corona,” ujarku pada pelayan kafe itu, seorang pria muda yang selalu melayani pelanggan dengan ramah tamah yang berlebihan, demi dianggap asyik dan tampak akrab dengan siapapun yang melenggang di area kafe kecil remang itu.
“Sendiri aja, Mbak?” tanyanya sambil menarik lembaran menu dari atas meja depanku, lalu membetulkan posisi topi baseball merahnya.
Aku tersenyum pendek, “Nunggu,” jawabku seadanya lalu mengambil telepon selular dan memakukan perhatianku padanya, sebuah komando tanpa kalimat kepada si pelayan sok akrab itu agar cepat melakukan tugasnya dan menyudahi basa-basi yang tak akan kubayar dalam tagihan pesananku nantinya.
Lima menit lagi sampai
Sepenggal pesan singkat kuterima dari Frans dan kubalas dengan “Gue duduk di meja kiri pojok seberang bar.” Frans adalah sahabat yang paling tak punya waktu untuk diriku. Sudah setahun aku menetap di ibukota, sepertinya hanya dua kali ia menyanggupi untuk mengorbankan waktunya yang begitu angkuh untuk meladeni permintaan manjaku akan pertemuan-pertemuan sederhana. Frans memang tidak bodoh, ia tahu pertemuan sederhana denganku akan berujung pusing karena terlalu banyak minum alkohol atau menyesap bir tanpa henti hingga kantungnya pun langsung kosong di tengah bulan. Tapi, aku tahu bahwa ia juga begitu mencintai tiap waktunya denganku, waktu-waktu yang lebih berguna ketimbang berdiam sendiri di kosan mewahnya dan merenung tanpa ingat malam yang segera habis. Toh, lebih baik meladeni sahabat kecilnya bercuap-cuap hingga waktupun terasa terbuang tak percuma.
Ah, sosok gondrong itu tiba juga. Makin tampan saja pria satu ini, mustahil rasanya mendapati kenyataan bahwa ia masih sendiri dan membiarkan bagian hatinya tak diisi oleh satu sosok perempuan pun. Masih sama seperti terakhir aku bertemu dengannya, dan pertemuan sebelum pertemuan terakhir itu: ia masih ompong merasa. Satu kecupan manis aku daratkan di pipi Frans yang ditumbuhi oleh rambut-rambut kasar pendek, ia pasti baru bercukur.
“Hai, sombong!” sapaku sambil menjambak rambut lurus sebahunya. Ia mengusap-usap kepalaku, “Hehehehe,” begitu saja responnya. Dasar anak kurang ajar memang dia.
“Jadi,” ujarnya membuka percakapan setelah memesan satu botol bir hitam kesukaannya. “Drama apa lagi yang terjadi kali ini?” katanya. Aku tertawa sinis lalu menatapnya sambil menggeleng-gelengkan kepala, “Keparat. Memang tidak boleh mengajak bertemu?” balasku. Ia tertawa hingga kepalanya mendongak. “Baiklah, gue koreksi! Apa hal seru yang harus gue tahu?” tanyanya.
Kami menyesap bir bersamaan, mengecapnya di bibir, lalu mengamati orang-orang dalam kafe itu sesaat. Helaan napasku yang menciptakan suara "Hhhhuff..." membuat Frans mengembalikan pandangannya padaku.
“Gue jatuh cinta lagi,” bisikku sambil menjorokkan tubuhku ke depan, mendekat ke arahnya. Ia diam, melepas genggamannya atas botol bir lalu tersenyum satu detik kemudian. “Lalu, kenapa ini harus jadi isu yang menarik?” tanyanya. Aku sudah bisa menebak respon itu, sungguh tipikal dan masih belum ada perubahan ke arah respon yang lebih kreatif. “Karena perasaan ini terasa begitu menyenangkan dan membebaskan,” kataku datar sambil sumringah. Frans menyalakan sebatang rokok putih yang telah setia menjadi sahabat tenggorokannya selama delapan tahun terakhir. Hembusan pertama menjadi penuntun pandangan bola matanya yang mengikuti arah asap putih itu melayang. Ia mengangkat kedua bahunya sambil menampilkan ekspresi wajah yang berpikir keras.
“Okay, gue dengerin.” Katanya.
Aku kembali bersandar pada dada sofa hijau tua yang menempel di dinding kafe itu, menatap mata Frans dalam waktu sekian detik lalu tersenyum. “Tidak panjang, sih, ceritanya. Gue cuma mau berbagi aja tentang betapa hal ini bikin gue bersemangat!” ujarku. Ia mengangguk saja sambil terus menghisap rokoknya, tatapan matanya memberi sinyal “Lanjutkan” untukku.
“Gue selalu merasakan rindu menggebu, hingga rindu itu membakar gue hidup-hidup menjadi abu,” kataku tanpa menatap Frans. Rasanya apa yang ada dalam dada ini terlalu kompleks untuk dijelaskan dengan kata-kata. Namun, sebisa mungkin aku ingin dia cukup tahu bagaimana sukacita yang tengah aku rasakan, sesulit dan seaneh apapun itu.
“Lalu, tiba-tiba, setelah melalui fase yang sulit dan abstrak, perasaan ini datang.” Lanjutku. Frans masih diam tak bergeming, ia telah memasang setelan ‘mendengarkan’ dengan begitu rapih.
“Gue berhenti jatuh cinta.” Ungkapku. Rasanya, kalimat itulah yang paling bisa merangkum segalanya dengan mudah, walau sulit dicerna. Benar, Frans mulai mengernyitkan dahinya, mengganti komando “Lanjutkan” menjadi “Apa sih maksud lo?”
“Cinta itu melegakan, Frans. Bukan membebat, bukan mengekang simpul rasa, bukan menyengsarakan semesta pikiran dan raga,” kataku. “Gue tidak berhenti mencintai, hanya berhenti jatuh cinta.”
“Jadi, maksudmu?” tanyanya benar-benar tak mengerti.
“Gue jatuh cinta dengan perasaan ini. Gue jatuh cinta dengan perasaan tak lagi jatuh cinta. Gue putuskan memberi kebebasan pada rindu untuk terbang dan mendarat di landasan paling jauh yang ia bisa.” Kataku sambil tersenyum lebar. Mata Frans mendelik, dahinya mengernyit. Ia masih tak mengerti. "Gue ingin rindu tak sengsara, biarkan saja ia putuskan ingin memeluk angin, air, suara, pohon, atau apapun yang ia singgahi. Lo tahu? Suatu saat rindu akan kembali dan berbisik padaku bahwa ia telah bersarang." tambahku, membuat bola mata Frans makin penuh tanda tanya berwarna merah menyala. Darurat, harus segera mengerti! Begitu ujar tanda tanya yang berserakan di matanya.
“Baiklah, ini baru seru,” ujarnya pelan, menekan puntung rokoknya ke permukaan asbak keramik itu. Frans melipat kedua tangannya di atas meja sambil menatapku, menanti sambungan cerita berikutnya. Ia tengah berharap bisa mengerti konsep utuh dari kalimat-kalimatku yang masih tak bertuan.***
Jakarta, 131111
Berhenti jatuh cinta ya, Kan. Filosofis ya dan dalam kenyataan guah pikir emang penting. Berhenti, pemberhentian, yang sebenernya mendalami dan tidak berhenti.
ReplyDeleteGuah liatnya ini fase Kania menyelam dan tumbuh ya. :)
@Galih: fase yang ambigu. -_-
ReplyDelete