Layang-layang Hitam
Aku berlari sekencang mungkin, tanpa menoleh ke belakang dan tak peduli dengan napas yang makin terengah-engah cenderung hampir habis ini. Tak ada udara tersisa yang bisa aku hirup karena semua menabrak permukaan kulit wajahku, perih rasanya. Jalan di depan masih tak ada ujungnya, namun selama kulihat jalan masih beraspal, aku akan terus mengayuh kakiku melawan udara dan terus melihat ke depan. Tak tahu berapa meter atau kilometer sudah terlampaui, apa yang aku inginkan hanya segera menjauh dari langkah pertama kakiku menjejak tadi. Gelegar di langit terasa makin mendekat, angin-angin meniupkan dedaunan yang menempel di betis telanjangku dan membuat aku sadar makin lama makin berat dan habis napasku.
Image source: here |
Lariku memelan dan tenagaku terasa makin habis, tubuh ini sudah menurun dayanya setelah mati-matian aku mengurasnya selama beberapa lama tadi. Ada sebuah pohon tak jauh dari tempat aku berpijak terseok-seok kini, tanganku memegang perut dan dada yang sakit juga sesak. Tangan kiriku menggapai-gapai ke depan, seolah berharap bisa langsung meraih batang pohon untuk menahan tubuhku yang sebentar lagi rubuh.
Sedikit lagi...sedikit lagi... Aku berusaha sekuat tenagaku yang tersisa untuk terus fokus memandang batang pohon itu. Tiba...
Terjatuh lemas, aku megap-megap dan kejang seperti orang hendak mati. Mengerikan sekali menyadari bahwa tak banyak napas yang aku miliki detik ini. Kuseret seluruh tubuhku hingga bisa bersandar ke batang pohon kokoh itu, susah payah kuangkat pinggangku untuk menyandarkan punggung. Diam selama beberapa saat, aku mengatur napas sambil memejamkan mata. Sudah...cukup...jauh...
Hening sekian menit dan aku masih menunggu hingga dadaku bisa berdetak stabil, lalu kubuka dua kelopak mataku. Kupandangi sejauh mata mampu titik keberangkatanku yang tak lagi nampak, hanya terlihat langit gelap dan kelam di ujung sana. Angin masih berhembus kencang ke arah sana, namun aku aman di bawah teduhnya pohon ini. Kuelus dadaku berkali-kali sambil membelalakkan mata karena ingin tahu bagaimana keadaan jejak yang sedari tadi enggan kulihat.
Selamat tinggal, sudah kutinggalkan penjara penuh kekacauan yang kau ciptakan atas nama cinta. Tak ada lagi sabda, tak ada lagi yang harus kutagih, semua usai. Telah kuselesaikan dengan satu mantra kutukan yang akan membunuhmu penuh sengsara bersama api dan angin, juga awan hitam yang akan memorak-porandakan dirimu beserta kerajaan janjimu di sana.
Matilah bersama bibirmu yang telah terjahit rapat, tenggelamlah dalam pusara tornado, enyahlah dari semesta yang seharusnya penuh harapan.***
Jakarta, 8 Desember 2011
Comments
Post a Comment