identitas


Hold still like an old tree


Betul bahwa tidak ada yang sama atau seragam ketika berbicara soal karakter seseorang. Tapi satu yang saya percaya, bahwa apa yang disebut dengan identitas bukanlah suatu hal yang mudah berganti atau sementara, beda dengan nilai yang melekat dalam diri kita. Nilai tidak pernah saklek atau menemui titik akhir, karena segala pengalaman yang menempa kita dalam kehidupan jelas akan selalu bikin nilai-nilai yang dianut seseorang terus berubah, namun masih dalam koridor untuk memperkuat identitasnya.

Mengapa saya bilang identitas sebagai sesuatu yang tidak sementara? Lihat saja, apakah nama yang tercantum dalam KTP kita berubah? Itu contoh kecil yang dangkal. Tapi dari contoh kecil itu saya percaya bahwa tiap pribadi punya identitas yang selalu melekat pada diri masing-masing, dalam bentuk apapun. Walaupun identitas saya kini bukan lagi mahasiswa, toh sampai kini saya tetap membawa embel-embel sarjana ilmu komunikasi, dan akan terus begitu sampai tua. Atau, misalnya saya punya teman yang begitu kuat identitasnya sebagai “Amir si playboy” yang walaupun si Amir sudah tobat pun, identitasnya sebagai playboy belum tentu hilang. Bisa juga teman saya yang lain bernama “Tuti si fashionable” yang tiba-tiba amnesia lalu lupa cara berpakaian sesuai dengan gayanya. Toh, saya yakin orang-orang akan terus ingat dia sebagai “Tuti si fashionable”. Kita pasti punya beragam atribut yang tertanam pada pribadi seseorang di sekitar kita hingga itu menjadi identitas orang tersebut. Sayangnya, tak sedikit pula orang yang merasa ragu akan identitasnya dan sebab dari persoalan ini tak kalah dangkal: pengakuan sosial.

Tak jarang memang kita temui adanya benturan antara norma pribadi dengan norma sosial yang ada di depan mata. Menurut pengamatan saya, tiap orang selalu memiliki keinginan sekaligus kebutuhan untuk diterima di medan sosial tertentu. Tapi tak semua orang juga sanggup untuk menyelaraskan nilai-nilai hasil pengalaman pribadinya dengan nilai sosial yang sudah terbentuk. Dengan kekaburan makna “kebenaran” pun, maka benturan sosial seperti ini sangat rentan membuat pribadi seseorang menjadi penuh pergumulan. Inilah yang bisa menggiring seseorang pada fase “krisis identitas”. Saya yakin kita semua pernah mengalami fase tersebut. Namun, hal yang sangat saya sayangkan adalah ketika menemui seseorang yang tadinya memiliki pendirian, karakter, serta identitas yang kuat serta cukup menonjol dalam satu lingkungan, akhirnya harus berubah total demi menaklukkan lingkungan sosialnya yang baru. Bukan berarti menyesuaikan diri dengan lingkungan baru itu salah, tapi bagaimana ketika proses adaptasi itu malah menjelma jadi krisis identitas yang baunya tidak sedap?

Tiap orang pasti punya nilai positif yang bikin ia menjulang di antara orang lain, tapi ketika adaptasi yang terjadi malah berdasarkan motif negatif, apakah hal ini berguna? Contohnya, ketika pengalaman pribadi kita berbenturan dengan kondisi sosial yang ada, bukan tak mungkin bermunculan pertanyaan-pertanyaan dalam benak sendiri, seperti: “Kalau saya pakai baju ini, mereka akan menilai saya bagaimana, ya?”, “Jika mereka tahu saya ini tidak punya Twitter, kira-kira saya dianggap cupu, gak ya?”, “Wah, lingkungan ini sudah pernah ke luar negeri, masa saya belum?!”, atau “Saya harus dengarkan grup musik ini biar jadi anti mainstream yang sekarang dianggap keren itu,” dan sejuta pertanyaan berlatar motif negatif lainnya yang menghasilkan output perilaku mengada-ada. Semuanya memiliki muatan yang serupa, yaitu ekspektasi “menjadi sesuai” atau bahasa enggresnya “to fit in” dengan lingkungan tertentu.

Perubahan seperti ini yang saya maksud bermotif negatif dan baunya seratus persen bikin tidak nyaman macam jamban. Memang, observasi terhadap kondisi sekitar pasti akan menghasilkan evaluasi yang beragam hingga kita menemukan nilai baru untuk diterapkan dalam kehidupan fana ini (duileh). Tapi, apakah perlu lupa dengan diri sendiri? Atau sebenarnya ada obsesi mendasar di relung hati kita yang paling dalam untuk menjadi “sosok tersebut” di masa lampau, namun sialnya tak pernah mendapatkan kesempatan? Jangan salahkan masa lalu kalau begitu.

Tolong, jangan menekan diri sendiri terlalu keras hanya demi status sosial tertentu. Kita semua nampak lewat hal yang berbeda-beda, tak usah memaksakan kehendak demi menjadi tersohor lewat hal-hal yang tidak mewakili diri kita sendiri. Berkembang bukan berarti berubah total seperti power rangers. Memulas bukan berarti “ganti kulit”. Bahkan modifikasi mobil menjadi kendaraan supergaul pun masih butuh rangka aslinya. Keren itu tulen, bukan palsu.

Saya sendiri tak ingin di masa mendatang seorang teman lama bertanya begini pada saya: “Who are you?”***


Lavande Residence,
Jakarta

Comments

  1. cadas Kenyo! (bukan Cicadas, xp). Frase 'keren itu tulen, bukan palsu' #hakjleb banget. semoga pada akhirnya semua bisa kembali pada identitasnya masing-masing yang sempat ia banggakan, dan kita turut terbahagiakan karena sejatinya ia, yang apa adanya ia.

    ReplyDelete
  2. Aminnnn saudara Btork... Kamu jangan gitu, ya... *lah :p

    ReplyDelete
  3. Selalu suka sama tulisan mbak yg satu ini, selalu saja ada bahasan yang dpt membuat alasan untuk menambah secangkir kopi. Yap, inilah kita sebagai manusia yg hidup di bumi lengkap dengan kisahnya masing2 yg telah digariskan. Teruslah berbagi :)

    ReplyDelete
  4. Terima kasih saudara anonymous :)

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tentang Sebuah Hubungan

Ulasan Musik: London Grammar

[Ulasan Buku] Manuscript Found in Accra