Soal Keyakinan

Luar biasa (gak) menggila.
Jadi menurut perhitungan mundur saya, tanggal 14 April ini sudah memasuki H-47. Herannya, semakin dekat hari penting itu, saya tidak merasakan apalah itu yang biasa disebut "wedding jitters" dan segala kerepotan juga drama yang bernaung di dalamnya. Selain itu, saya juga tidak mengalami kerepotan khas orang-orang pada umumnya yang akan melaksanakan hajatan besar. Sejauh ini paling hanya sebatas akhir pekan yang tersita untuk mengurusi hal-hal kecil, seperti: belanja seserahan, fitting gaun pengantin, menemani si tunangan jahit jas dan mencari bridal shop untuk sewa vest dan dasi yang tidak ada di mana-mana itu. Urusan lain? Nyonya dan tuan besar sudah mengurus segala-galanya. Oh well, ini juga karena ada drama di awal yang bikin saya (akhirnya) memberikan mereka keleluasaan untuk mengurus hari penting saya nanti.

Intinya, di hari yang makin dekat ini, saya tidak merasa makin pusing kepala, malah antusias. Tapi yang lebih membuat saya heran lagi, tidak seperti calon pengantin lain yang rentan terkena "wedding jitters" dan berujung pada frustasi, berselisih dengan calonnya, atau pertengkaran dengan keluarga, saya malah tenang, nyaman, antusias, dan makin yakin. Nah, bicara soal "yakin", contoh lain yang lebih parah seputar "wedding jitters" adalah kadar keyakinan yang makin surut dan malah menimbulkan pertanyaan-pertanyaan ulang seputar "Yakin mau nikah?" dan "Yakin bakal hidup selama-lamanya dengan pria yang ini?". Saya patut bersyukur karena tidak dicolek oleh hal-hal di atas. Hanya saja, ada satu pemikiran yang luar biasa terus menyergap benak saya belakangan ini. Yaitu (mengutip perkataan salah satu sahabat saya) "Gw gak percaya elo bisa setenang dan secepat ini untuk ngambil keputusan besar, gak seperti elo yang biasanya."--> true, dear. 

Respons dari pernyataan di atas sebenarnya hanya satu: karena memang saya yakin dengan pria satu itu. Kehadiran dia, beserta segala misi dan visi yang dia punya untuk kehidupan kami berdua terbukti bikin saya menganggap pernikahan ini sebagai satu kehidupan baru yang akan memberikan masalah baru. Hari sakral saya dan dia tidak layak dianggap sebagai sebuah hasil atau reward atau suratan takdir dalam artian "memang jalannya harus begitu" atau "mau apalagi memangnya?" dari hubungan kami berdua, karena memang bukan begitu. Dua tahun menjalani hubungan jarak jauh memberikan kesadaran bahwa kami memang butuh sebuah hubungan nyata untuk dijalani setelah pernikahan. Klise? Memang. Tapi terbukti dari pengalaman dan kisah-kisah beberapa teman yang saya dengar, hal ini (soal menemukan dan mempercayai keyakinan yang muncul dalam diri saya) bukan sesuatu yang mutlak dirasakan oleh tiap orang. Itulah yang bikin saya patut bersyukur untuk merasa yakin dan begitu antusias menyambut hari penting tersebut. He's my panacea. I feel that I find life and I wanna build a life with and for us, not just me anymore. He heals any wound from the past and he makes all of my beautiful life in the past as the best memory even there was no him in it. Dia obat tunggal untuk saya. 
Pentingnya lagi, efek dari masa penantian yang penuh keyakinan ini telah membuat saya makin termotivasi mendoakan orang-orang terdekat saya agar mereka kelak juga mendapatkan kebahagiaan yang serupa, bahkan lebih.

Sampai hari ini saya masih sulit percaya kalau dalam waktu kurang dari dua bulan lagi, saya akan menyandang predikat baru: istri orang. Jujur, tidak pernah terbersit dalam benak saya bakal mematri komitmen seumur hidup secepat ini sebelum menjalani hubungan bersama dia. Terlebih lagi, saya memiliki masa lalu yang begitu indah dan membuat saya masih ingin merasakan kebebasan yang sama di periode usia 20-an ini. Dulu, waktu saya masih kuliah, para sahabat tersayang pernah bilang dengan penuh keyakinan kalau seandainya kami memiliki piala bergilir sebagai pertanda lepas masa lajang, maka sayalah perempuan terakhir yang bakal mendapatkannya. Saya tidak membantah waktu itu karena memang tidak ada rencana kewong di usia ini. Lalu, siapa sangka kalau ternyata justru saya jadi orang yang menikah terlebih dulu dari mereka? Mereka pun masih sulit percaya. Hal sederhana seperti ini otomatis menggiring pikiran saya kepada hal-hal klise namun nyata, seperti: soal kuasa Tuhan. Sesederhana itu.

Jadi, di hari minus 47 yang minim rasa depresi tapi justru dipenuhi oleh kebahagiaan yang membuncah ini, saya cuma ingin bilang kalau keyakinan untuk bilang "saya yakin" itu tidak terbentuk berdasarkan durasi kita mengenal seseorang atau segala kriteria yang kita dambakan telah terjawab di sosok seseorang. Keyakinan itu sudah muncul di awal saat Anda bertemu seseorang yang bisa membuat Anda membatin: dia, ini, tepat. Selebihnya? Tidak ada pertimbangan lain. Seleseeeeeee. *menurut pengalaman saya, menurut pengalaman Anda? Anda yang bisa jawab, karena tidak ada kebenaran yang mutlak, semutlak dan seautentik pengalaman.***



Lavande Residence, 140413
Jakarta


Comments

Popular posts from this blog

Tentang Sebuah Hubungan

[Ulasan Buku] Manuscript Found in Accra

Ulasan Musik: London Grammar