Dialog Tua yang Tak Usang
Dimuat di Femina, Edisi F35/September/2013 Aku menatap sofa merah tua di sudut ruangan putih ini. Aku masih ingat betapa ia menyayangi sofa itu, dan betapa ia bisa tenang sambil terpejam melemaskan seluruh badannya di atas bantalan lembut itu. Bahkan, aku masih bisa menggambar dengan jelas geraian rambut cokelat tuanya yang ia lampirkan dengan lemah lembut di bagian kepala sofa itu. Setiap pulang sekolah, atau setiap aku baru pulang dari kegiatan ekstrakulikuler, aku sering melihat ia berdiam diri di sana dan wajahnya terlihat tenteram. Jika ia sudah merasa cukup, ia akan bangkit dari sofa lalu menyapa dan memeluk tubuhku yang bau matahari. Namun, bau matahari yang panas itu mampu diredam oleh kehangatan tubuhnya. Aku sering menduduki sofa itu kala merindukannya, tiap ia pergi ke luar kota untuk urusan kerjaan, misalnya. Harum tubuh dan wangi parfumnya sudah melekat tak mau lepas dari permukaan beludru sofa merah tua yang sudah lekat dengan aroma tubuhnya, dan tak akan pernah bisa...