Nihil

Cerita Pendek


"Kenapa kamu tidak bilang saja bahwa aku salah?" tanyamu.

"... Apa itu yang kamu inginkan?" aku balik bertanya, malah jadi bingung.

Kamu terdiam, lalu menghela napas. Napas yang berat bunyinya. "Nggg... Rasanya bakal lebih mudah untuk kudengar," katamu, tersirat pula rasa bingung di sana.

"Aku terbiasa dinilai," ujarmu. Kedua mata kecil itu meredup, pelipismu menegang dan air mukamu penuh riak keresahan. "Bagiku, akan lebih mudah untuk dinilai salah, benar, kurang, terlalu, atau lainnya, agar aku bisa menentukan sikap untuk mengatasi hal itu. Sedangkan kamu, kamu tidak pernah menilaiku. Kamu selalu mementingkan apa yang aku rasakan dan inginkan. Belum pernah ada yang begitu."

Aku latah menghela napas. Antara menyesal dan menjadi lega, keduanya campur aduk. "Aku cuma ingin kamu sadar kalau tidak ada satu orang pun di dunia ini yang sanggup mengerti perasaan orang lain sepenuhnya. Masing-masing manusia bisa memahami sesuatu berkat mengalami. Perasaan adalah pengalaman. Walau aku bilang bahwa aku pernah melalui peristiwa yang kamu alami, tapi, toh, tetap berbeda, benar? Aku mengalaminya sebagai aku, bukan kamu, dan dengan orang yang berbeda, latar yang berbeda, motivasi dan proses yang berbeda pula. Perasaan yang aku miliki terhadap orang itu, terhadap konsekuensi atau akibatnya, dan terhadap peristiwa itu saat ia telah menjadi masa yang telah lewat, hanya aku yang mengalaminya. Bukan kamu. Kamu tidak mengalami perasaanku, dan sebaliknya, kini aku tidak mengalami perasaanmu. Bagaimana aku bisa menuding kamu salah? Bagaimana aku bisa yakin kamu benar?"

Kamu diam. Ada segumpal butir bening bertengger di pelupukmu. "Tapi aku tidak tahu harus bagaimana," katamu, bergetar. Lelah.

"Kamu tahu, tapi tak punya daya untuk menempuhnya."

"Jadi, bagaimana ini bisa aku atasi?"

"Bagaimana maumu?"

"Aku minta saran, jangan terus-menerus balik bertanya,"

"Aku butuh tahu apa yang kamu mau terlebih dulu untuk bisa memberi masukan. Jadi, apa sebenarnya yang kamu inginkan?"

Kamu diam. Hingga bermenit-menit kemudian, tidak keluar jawaban apapun dari mulutmu. Jika suatu saat kamu sudah bisa bersuara dan memberitahuku apa yang kamu inginkan, aku yakin kekalutan yang menyelimuti wajahmu akan bertambah. Tapi, setidaknya binar matamu pasti bakal berbeda; akan penuh dengan sorot kehidupan, bukan kekosongan seperti yang sekarang membuat matamu cekung.

Betapa kejamnya kenyataan, sampai-sampai aku yakin bahwa tidak ada satupun individu yang merdeka. Semesta ini penuh sesak oleh jiwa-jiwa palsu, yang enggan mendengarkan hatinya sendiri, tapi malah sibuk mendikte jiwa lain. Aku... Nihil. ***



*untuk seorang perempuan yang jauh di sana.
Makassar, 4 April 2014
while listening to "Sights" by London Grammar


Comments

Popular posts from this blog

Tentang Sebuah Hubungan

[Ulasan Buku] Manuscript Found in Accra

Ulasan Musik: London Grammar