Selamat Istirahat, Tana

"Kasihan, dia sudah tidak bisa melompat ke atas kursi itu lagi," kisah Mama, tahun lalu.

Waktu itu saya sedang pulang ke rumah di Balikpapan, yang juga telah menjadi rumah Tana, anjing piaraan kami, selama sekitar 13 tahun. Mendengar ujaran Mama, saat itu saya baru sadar bahwa anjing ini sudah lanjut usia. Ia telah menghuni rumah kami semenjak saya masih kelas 1 SMP, hingga saya lulus sekolah, pergi melanjutkan kuliah ke Bandung, lulus kuliah, bekerja, dan menikah. Ia juga telah mengalami berbagai fase yang terjadi di rumah itu. Mulai dari saat empat tuannya masih tinggal bersama di sana (kakak perempuan saya sudah merantau ke Bandung saat itu), lalu satu per satu dari kami meninggalkan rumah itu; kakak laki-laki saya kuliah ke Jogja, saya ke Bandung, ayah pindah ke Jogja setelah pensiun, mama menyusul ayah ke Jogja setelah pensiun lima tahun setelahnya, hingga sampai kakak laki-laki saya kembali bekerja di Balikpapan dan menjadi majikan satu-satunya bagi Tana.

Balikpapan, 2008
Setiap saya pulang ke Balikpapan, satu hal yang pasti ia lakukan adalah menggonggong, menyalak, dan melompat-lompat ke kaki saya dan tuannya yang lain, tanda ia tahu kalau para tuannya baru tiba di rumah. Setelah itu ia pasti membuntuti kami hingga ke dalam rumah dan mengajak bermain. Ini sudah tidak saya alami lagi sejak tahun lalu. Bukan karena dia tidak mengenali kami, tapi Tana mulai tua, staminanya melemah, dan hanya sanggup menyalak sebagai sinyal meminta perhatian atau bereaksi terhadap sesuatu.

Namun, gonggongan itu tidak lagi terdengar ketika saya pulang ke rumah lebaran kemarin. Ia hanya berbaring, lesu.
"Tana sudah tidak bisa menggonggong dan melihat lagi," kata Mama, "bahkan, kalau dielus dia tersentak kaget, makanya harus pelan-pelan (kalau mau mengelus dia)."
Saya amati Tana. Bersama suami, kakak-kakak, dan saudara yang sedang ke rumah, kami menyempatkan mengelus-elus Tana sambil menyebut namanya berulang-ulang dengan lembut. Tiba-tiba ada kesedihan yang mengaliri hati saya. Tanpa menganalisis, saya dan keluarga sudah mengerti betul kalau waktu Tana di dunia ini akan segera berakhir. Saya pernah diam beberapa saat sambil mengelusnya, dan sedih sekali rasanya saat mendengar napas anjing kribo yang berat, pelan, dan payah itu. Ia juga sering linglung; beberapa kali Tana terlihat berputar-putar di tempat saat mendengar suara nyaring. Kaki belakangnya pincang, langkahnya gontai, nafsu makannya tipis. Gairah Tana sebagai makhluk hidup jelas-jelas meredup.

Tana, 21 Januari 2011
Sampai dua hari lalu, ketika kakak laki-laki saya mengabarkan kami pagi-pagi sekali, "Tana hilang." Membaca pesan singkat di grup Whatsapp keluarga, kami terkejut. Bagaimana tidak? Selama ia masih sehat dan lincah, anjing ini tidak pernah kabur satu kali pun. Ia bahkan tidak pernah meronta untuk meminta keluar pagar rumah kami. Tana tinggal di halaman belakang rumah. Halaman belakang yang mencakup garasi rumah kami dipagari pintu gerbang kayu setinggi 2,5 meter. Gerbang ini menghubungkan halaman depan dan samping rumah dengan halaman belakang. Di sekitar halaman depan dan samping rumah terdapat pagar yang mengelilingi rumah kami. Jika pintu gerbang tersebut dibuka, Tana (waktu masih sehat) biasanya langsung berlari mengelilingi seluruh penjuru rumah, bermain, lalu kembali lagi ke halaman belakang. Ia sudah paham kalau pagar terluar rumah kami adalah batasan habitatnya.

Cerita yang saya dengar dari kakak laki-laki saya adalah Mbak Pin, mbak yang sudah menjaga rumah kami selama bertahun-tahun, melihat ada celah di got jalur pembuangan rumah. Ini bisa jadi jalur keluar atau masuk binatang dari halaman luar ke halaman belakang rumah. Katanya, ia melihat batu genteng yang dijadikan penutup got itu seperti terdorong dari luar. Entah apakah benar Tana keluar dari situ, kami juga tidak tahu sampai hari ini. Mbak Pin juga bilang kalau pagi hari itu, ia masih melihat bekas kotoran Tana yang belum kering. Jadi, rasanya Tana pergi di pagi-pagi buta, ketika Mbak Pin dan kakak laki-laki saya belum bangun.

Ayah sempat bilang, “Biasanya anjing akan pergi mencari hutan atau sungai untuk mati,” Dan hal serupa juga saya dengar dari seorang teman yang mengaku pernah dengar mengenai anjing yang tahu dirinya akan mati, biasanya akan menjauh dari tuannya. Entah benar atau tidak, saya sudah mencoba cari tahu via internet, tapi nihil. Dua hari kemarin, saya beberapa kali menangis sedih, karena tidak tahu ke mana Tana pergi dan apakah (jika benar) ia sudah mati atau belum. Saya tidak menyangka kepergiannya itu bisa membuat saya benar-benar berduka. Rasa sedih ini makin didramatisir oleh ketakutan “Bagaimana kalau dia tertabrak mobil di jalan?”, mengingat jalannya yang sudah gontai dan lambat. Asumsi-asumsi lain juga bermunculan, seperti “Bagaimana kalau ia mencari jalan pulang tapi sudah tidak punya tenaga untuk melanjutkan perjalanan?”, sampai pikiran irasional seperti “Semoga dia diambil malaikat pencabut nyawa anjing dan mati tidak dengan cara yang mengenaskan.”

Tana, 2012
Kata Mama, dua hari ini Mbak Pin berkeliling lingkungan rumah sampai radius yang jauh, demi mencari Tana dan bertanya ke orang-orang soal penampakan anjing ini. Nihil. Tana raib.

Ada satu hal yang mengejutkan juga. Semalam sebelum ia pergi, ternyata Tana sempat mengajak kakak laki-laki saya bermain. “Bahkan sampai hampir lompat, lho,” kata Mama. Ini aneh, karena dengan kondisi terakhirnya itu, Tana sudah tidak antusias dan responsif lagi terhadap sekitar. Tetiba, ia seolah punya gairah dan energinya kembali. Tepat sebelum ia memutuskan untuk pergi dari rumah.

Jadi, rasanya sekarang saya harus ikhlas. Siap dengan kondisi ketika nanti saya pulang ke rumah, tidak ada lagi penampakan si abu-abu kribo itu lagi. Tidak ada langkah gontainya bolak-balik di halaman belakang yang tertangkap dari jendela. Tidak ada lagi Tana.

Mungkin, ini yang membuat saya masih menangis sampai saat menulis ini: karena kamu pergi di saat kami semua tidak ada. Kamu pergi juga usai kami baru saja berkumpul di rumah, lengkap. Kamu pergi, kami tidak tahu ke mana dan bagaimana. Tapi entah kenapa, saya merasa kalau kamu memang benar-benar telah pergi.

Selamat tinggal, Tana. Kamu tahu kalau kami semua menyayangi kamu dan berharap kamu pergi dengan tenang. Terima kasih sudah menjadi bagian dari kami dan rumah itu selama 13 tahun ini, walaupun kamu harus ditinggal oleh kami, satu per satu.

Kamu tahu apa kata Mama saat ditanya apakah berencana mencari anjing baru? Ia bilang, “…rasanya Mama belum tega mencari pengganti Tana di rumah.”***


Makassar, 21 Agustus 2014
Dua hari setelah Tana pergi dari rumah




Comments

Popular posts from this blog

Tentang Sebuah Hubungan

[Ulasan Buku] Manuscript Found in Accra

Ulasan Musik: London Grammar