Selembar Surat


Aku tidak ingin bilang selamanya cinta.
Cintaku hanyalah fragmen, yang tertanda oleh awal dan akhir, yang tak tahu akan berujung bagaimana, yang sarat energi tak pandang orde pun order, namun kutahu berbatas.
Cintaku hanyalah sensasi yang tersurat oleh hasrat, redam dilekang ruang, dan tersapu oleh waktu.
Akankah? 

Entahlah. Yang aku tahu kini, waktuku bahkan belum tiba. Kalau aku bisa bilang ini cinta, maka jadilah ini cinta yang penuh oleh hasrat. Membabi buta tanpa aku tahu apakah ini layak dikuak. Seandainya kamu tahu bagaimana sesaknya dadaku akibat gairah yang terus bertambah untukmu. Seandainya kamu tahu bahwa setiap sosokmu nampak, aku hanya ingin kamu mengenaliku lalu berikan sesimpul senyum yang, rasanya, bakal cukup membuatku tenteram.

Ah, tapi, itu bohong. Kalimatku di atas terasa begitu naif bila kubaca kembali.
Aku tidak ingin mendapatkan sebatas senyum darimu. Aku ingin lebih dari itu!
Kamu mau tahu apa? Baiklah. Namun pintaku, jangan kau kabur akibat ngeri mendengar suara hatiku yang paling jujur. Pahamilah kalau ini sulit setengah mati untuk kuungkap!

Dengar baik-baik:
Aku ingin kamu yang menungguku di pojokan lantai dasar gedung ini saat waktu telah menunjukkan jam kerja usai. Meski aku harus terburu-buru menyelesaikan pekerjaan hari ini demi segera tiba di depanmu, aku akan melakukannya dengan sepenuh hati tanpa mengeluh, hanya karena aku tahu KAMU yang menungguku di sana. 

Aku ingin kamu tersenyum saat kugandeng tanganmu dan kita berjalan bersama menuju pintu keluar, tak sabar ingin segera tiba di peraduan. Malam yang hujan, berangin, badai, atau pengap tanpa udara pun senantiasa terasa nyaman karena kita hendak melaluinya berdua.

Lalu kita akan menghabiskan malam dengan segala kisah sepanjang hari. Tak pelak pula disisipi berdebat saat menimpali opini masing-masing yang, terkadang, tak sepaham.
Bila telah letih membuang energi lantaran beradu kata, yang tersisa adalah menyudahinya dengan pelukan, cumbu mesra, dan peluk hangat.

Lalu kita akan menutup malam dengan peluh, tanpa ada yang menahan, tanpa ada yang merasa bersalah, tanpa ada yang bilang kita zinah. Karena kita memang bersama, bukan orang ketiga.
Dan itu semua akan berulang esok dan keesokannya lagi, hingga kita lelah terhadap satu sama lain.
Mungkin ini cinta, atau juga hasrat, yang jelas kita terpuaskan tanpa ada yang penasaran.

Aku tidak bilang kalau ini selamanya. Bukan maksudku pula untuk mengunci janji kepadamu. 
Ini hanya imajinasiku tentang apa yang kuinginkan darimu.
Atau lebih baik aku bilang begini: bila suatu hari nanti kamu rindu lepas dari rutin, tak usah risau dan balaslah surat ini. Sertakan di mana kau ingin menghabiskan malam, maka aku sanggup menemanimu tanpa ragu.
Satu yang bisa kupastikan padamu adalah aku akan datang.


Kulipat dengan rapi lembaran surat ini dan kumasukkan dalam sebuah amplop putih tanpa ornamen. Meski aku tidak tahu kapan dan apakah surat ini akan kukirimkan padamu, dengan penuh kehati-hatian kutulis namamu di bagian muka amplop: Ranum.

***

Jakarta, Agustus 2015 dan 25 Januari 2016
*sebuah fragmen lanjutan dari "Ranum"


Comments

Popular posts from this blog

Tentang Sebuah Hubungan

Ulasan Musik: London Grammar

[Ulasan Buku] Manuscript Found in Accra