Sepuluh Jam


Sumber foto: Cecile Hournau / Unsplash

“Aku ingin menghabiskan malam dengan berciuman denganmu.”
Tanpa menengok, aku tahu ada gelak senyum di sana. Aku merasakannya. Kamu nyengir sembari menundukkan kepala, menatapi gelas kopi yang kau pegang dengan ujung-ujung jemarimu. Kau putar-putar gelas itu seraya perlahan memiringkan kepalamu, menatapku masih dengan tersenyum. Kedua bibirmu terbuka tertutup, seperti ingin mengatakan sesuatu tapi menariknya kembali—seperti sedang mencari-cari kata yang tepat.

"Berapa lama? Sepanjang malam?" 
Aku balik tersenyum sambil memalingkan wajah. "Ya, selama kita mampu—sepanjang malam lebih bagus."

Jarak antara kursi kita dipisahkan meja kecil yang sesak oleh dua gelas, dua botol bir kosong, satu vas tanaman artifisial, dan asbak berisi onggokan puntung rokok yang nyaris luber dari wadahnya. Kita tergelak lalu saling menatap dari kursi masing-masing.

"Kenapa, Kami?" tanyamu.
Kuisap pangkal rokok sembari berpikir jawaban macam apa yang harus kuberikan, lalu kuembuskan kepulan putihnya sambil menoleh ke arahmu.

"Karena aku mau," kataku lalu menyilangkan kaki kiri ke atas pangkuan kaki kananku. Tubuhku berputar, kini benar-benar frontal menghadapmu. Aku siap menghadapi reaksimu. Salah, aku ingin melihat bagaimana reaksimu tanpa melewatkan satu detail pun.

"Kenapa kamu mau?" timpalmu. Kau bakar sebatang baru lalu mencondongkan badanmu ke depan, kedua sikumu berpangku di lutut, dan kini tubuhmu juga berputar menghadapku.

Matamu menyalak, menyerukan 'aku menantangmu' dan ada rasa tak sabar terpancar dari sana, seolah mengharapkan sesuatu terujar atau terjadi, meski aku yakin kamu sudah punya gambaran jelasnya di kepala.

"Kamu bertanya alasan aku mau? Alasannya, ya, karena aku mau. Sesimpel itu." 
"Iya, tapi aku mau tahu apa yang bikin kamu mau," tangkasmu.

Tidakkah kamu sadar kalau uji-uji macam begini hanya bikin aku ingin langsung melompat ke atas pangkuanmu, lalu menyosor bibirmu itu? Dalam bayanganku, kamu pasti tidak bakal sempat mengelak, bahkan aku ragu kamu akan mengelak. Aku tahu kamu akan menyambut ciumanku dan membalasnya dengan gairah yang tak kalah luap.

"Mungkin itu insting pertama yang otomatis muncul tiap aku melihatmu." Ha! Mampus! Jawaban entah kelewat jujur atau pintar! Bodo! Batinku puas. Benar. Buktinya kamu diam tak membalas; lebih tepatnya, kamu terpana. Kau tegakkan tubuhmu, merebahkannya perlahan ke sandaran kursi dan merapatkan kedua telapak tanganmu. Sikumu bertumpu di kedua lengan kursi. Selama bergerak, tatapanmu tak lepas dari aku.

Binar mata itu makin panas, makin liar, makin tak bisa kuterka apa maksudnya, namun membuatku yakin kalau jawabanku tadi tepat, meski aku akui kalau bersamaan dengan itu semua, tatapanmu juga bikin jantungku makin berdebar. Mau ngomong apa lagi, kamu? Gila. Apa yang ada di benaknya saat ini? Apa aku terlalu lantang?

Lagi, kamu memiringkan kepalamu sambil masih menatapku. Aku balik meladeni matamu. Lekat-lekat. Sejujurnya aku menikmati momen seperti sekarang, di saat aku leluasa menatapmu tanpa harus khawatir akan apa pun karena hanya ada kita berdua di sini. Sudah lama aku menantikan ini, sudah lama aku merindukanmu. Namun toh, kita berdua sama-sama tahu kalau kita tidak bisa berkehendak kapan saja, dan waktu seperti ini hanya bisa terjadi bila memang kesempatan berpihak pada kita. 

Tanpa suara yang keluar dari mulut kita, tatapan aku dan kamu makin terpaku, diselipi hasrat, kerinduan, niat menantang, arogansi, keraguan, ketakutan, dan antusiasme yang luar biasa memuncak. 

*

"I miss you..." desahmu pelan, suaramu bergetar. Kamu meremas pinggangku, lalu merayap menaiki bagian belakang tubuhku, dan kau peluk aku makin rapat ke arah tubuhmu. Aku bisa merasakan napasmu di daguku, selewat di leherku—membuatku bergidik nikmat, bahkan aku bisa merasakan hangat yang berembus dari seluruh pori-pori kulit wajahmu, yang kini hanya terpisah beberapa sentimeter dari wajahku.

"Is that true?" balasku di sela-sela kedua bibir kita beradu. "Hmmmhh," jawabmu sembari mengulum bibirku, makin dalam, makin kuat seiring lidah kita semakin meliar di mulut masing-masing. Tubuh kita rekat sambil mengayun seirama dengan berahi yang makin hebat. 

Aku merindukan ini semua. Aku masih ingat bagaimana rasanya duduk di pangkuanmu, bagaimana aku begitu terangsang hanya karena pangkal pahaku mengangkangi tepi pinggangmu, dan lenganmu menguasai lingkar tubuhku, dan tanganmu yang bergerak bebas membelai, mengusap, dan meremas seluruh bagian tubuhku. Aku masih ingat nyamannya posisi ini, bagaikan potongan-potongan balok yang memang diciptakan untuk terpasang di masing-masing permukaannya: begitulah yang aku rasakan saat tubuh kita berdua berkaitan dalam pelukan ini. 

Aku masih ingat nyamannya saat dadamu yang bidang menjadi sandaran perutku, saat buah dadaku merekati dada atasmu. Masih sama, ini semua terasa tepat dan layak kita dapatkan. Aku masih ingat tebal rambutmu yang bikin jemariku leluasa menjalari sela-selanya, dan bagaimana bulu kudukku berdiri setiap tanganmu menggenggam pipi hingga rahangku, atau saat kau letakkan salah satu telapak tanganmu di permukaan dadaku lalu mengusap bagian depan tubuhku tanpa ampun dan tanpa ada satu sisi yang terlewatkan.

Entah berapa lama kita begitu. Kita berdua sadar, kita tak bisa melepaskan ciuman ini. Enggan. Tidak mau. Karena kita tidak bisa lagi mengelak dari semua rindu yang terbungkam, semua gairah yang tertahan, semua rasa yang terlarang, semua kehendak yang terbatas, itu semua sirna sekarang.

Lantas kita malah makin tenggelam dalam perjalanan rasa yang intim, menjelajahi dan menikmati satu sama lain dengan liur, kecup, gigit, lidah, kulit ke kulit, sentuhan yang terkadang lembut melenakan, terkadang keras menghendaki penuh kuasa. Pun bila kita sedang tak menutup mata, maka kedua mata kita akan beradu pandang penuh makna. 

Dan dari kedua pasang bola mata ini, kita bicara lebih dari apa yang terujar. Bahwa, Kama, aku memujamu, aku merasakan apa yang mereka bilang cinta untukmu, aku dijalari sensasi yang sama sekali belum pernah aku rasakan—sebuah hubungan batin dan emosional yang menjeratku begitu dalam hingga aku meyakini kalau ini adalah yang benar. Aku menghasratimu bahkan saat kau hanya bayangan yang tak pernah berdiri di dekatku. 

Aku menginginkan kamu.

Momen ini sudah cukup mengabulkan apa yang aku pinta selama ini. Momen ini sudah menjawab pertanyaan-pertanyaanku tentang kamu, yang selama ini berkeliaran tak tahu arah jawabannya. Bahwa, Kama, aku tahu kamu juga merasakan yang sama.

*

Pagi menjelang. Sepuluh jam berlalu, sepuluh jam yang tidak akan pernah aku lupa, juga sepuluh jam yang akan selalu aku elukan. Baru sejam yang lalu kita tertidur penuh peluh setelah tanpa henti melepas semua rasa yang kini tersisa berupa aroma keringat di sekujur tubuhmu dan aku. 

Aku sayup-sayup membuka mata. Aku masih di sini, kepalaku terbenam di antara pundak dan telingamu. Tubuhku masih tak berjarak dari tubuhmu, dan kuusap lembut lenganmu yang masih merengkuhku. Kamu masih di sini. Kita masih di sini. Setidaknya untuk beberapa jam ke depan. Setidaknya kita masih punya beberapa jam ke depan.

***

Bintaro, 13 Januari 2018


Comments

Popular posts from this blog

Tentang Sebuah Hubungan

[Ulasan Buku] Manuscript Found in Accra

Ulasan Musik: London Grammar