Cinta: Kebinasaan Karena Cinta



PRAAAANNNGGGG!!!....

Vas porselen cokelat penghias meja makan bundar itu hancur berkeping-keping di lantai. Serangkai bunga melati tergolek pasrah tak jauh dari serpihan vas yang amburadul bagai bongkahan puzzle yang tak jadi, masing-masing kuntum terpisah tak beraturan, mereka terbaring paksa dengan kejam.

BBUUUKKKK!!....

Genderang redam satu kepal tangan meninju dinding bercat kuning pucat. Suaranya menjalar ke seluruh penjuru ruangan, sisi-sisi dinding menggaungkan gemuruh yang tak nyaring namun kisruh. Bohlam kuning 8 watt yang tergantung di langit-langit pojok bergoyang, kabel yang memisahkan bohlam lampu dengan langit-langit berjarak 20 cm itu mengayunkan sang bohlam ke segala arah. Kencang, begitu kencang hingga ngeri membayangkan bohlam itu membentur sisi dinding dan pecah, hingga ayunannya memelan, menelan segala kekuatiran yang sama sekali tak terbayang dalam benak segala yang hidup dan segala yang mati di sana.



Dua debur jantung berdegup turun naik tak stabil, tak bertempo, beradu dalam suara hembusan nafas yang terburu-buru, gelisah, tak terkontrol. Ruangan setengah terang, setengah gelap, akibat pencahayaan yang minim dari bohlam kuning yang masih bergerak tipis. Panas menyelimuti udara di seluruh ruang hampa ruangan itu, gelombang amarah dan emosi binatang buas jelas terpancar dari segala yang hidup dan segala yang mati di sana.

**

Clep…
Suara pautan dua pisau gunting yang telah menuntaskan tugasnya, perban itu sudah terbalut rapi. Dua manusia duduk berhadap-hadapan, diam dalam suara namun bercakap dalam tatap. Karan tak melepas tatapan matanya sambil terus mengelus-elus punggung tangan yang terdiam kaku. Kain kasa dibasahi oleh tetesan obat merah bercampur darah yang merembes di bagian telapak tangan itu sehingga menciptakan bentuk abstrak berwarna cokelat tua dan kuning di tepinya. Karan mengecup punggung tangan kanan itu, perlahan, penuh kelembutan. Lalu ia membalikkan tangan tersebut dan membelai bagian luka di telapak itu dengan dua katup bibirnya.

“Sudah,” desisnya lembut, gerakan bibirnya terasa di permukaan punggung tangannya yang masih kaku.

Kanta meraih pergelangan tangan yang kuat itu, ia elusi buku-buku jari Karan menggunakan permukaan kulit jari tangan kirinya. Bergantian ia menatapi buku-buku jari yang tak mengapa itu dengan bola mata Karan.

“Impas,” desisnya lembut juga, matanya sayu namun memancarkan sisa amarah yang sudah layu.

Karan menggeleng, “Tidak,” ia memejamkan mata, “Tidak ada kata impas untuk hal seperti ini, Kanta,” lanjutnya lalu balik menatap dua bola mata gadisnya dengan sorot pilu. Karan membelai seluruh wajah Kanta dengan sorot matanya yang kini redup, mengandung kasih yang bercampur dengan ironi.

**

Ruangan itu gelap, tidak ada pencahayaan seperdelapan watt pun. Suara musik bertempo sedang mengalun begitu saja tanpa diatur daftarnya dari sebuah laptop berlayar 12 inch yang dicolokkan ke pengeras suara eksternal. Volume sudah diatur tidak terlalu keras maupun pelan, cukup. Tempo yang tetap dan pengaturan suara yang tak gaduh itu tak mampu menutupi tempo menghentak dari sudut lain. Ranjang yang menjorok di sisi laptop mengeluarkan bunyi per kasur beradu dan tak tuk tak tuk terkadang krit krit krit kala rangkanya membentur dinding.

Erangan dua raga yang saling tindih terkadang setengah duduk lalu disambut hentakan mendesak tembok kehangatan dari senjata sang empunya tak ritmis dengan bebunyian tersebut. Mereka tak peduli dengan segala keharmonisan yang seharusnya ada dalam rangkaian suara, mereka tak peduli dengan apapun di ruangan itu kecuali hanya dua raga yang khusyuk menciptakan tempo sendiri. Mereguk kenikmatan ragawi tanpa kontrol dan pranata tingkah laku yang tak perlu dibatasi merupakan cerminan apa yang terjadi di atas ranjang, kala dua jiwa bertemu dalam kebutuhan raga yang melampaui eksistensi berbagai kata dan kalimat dalam menggambarkan kenikmatan. Hanya sanggup mengerang, menggigit, melenguh panjang, hingga erangan terpanjang bak lolongan serigala yang meningkatkan nafsu birahi menandakan puncak telah mereka gapai, dan barang beberapa detik akan kembali ritmis. Sisanya kembali pada degup jantung yang berdebar tak jelas temponya, namun tenang dan melegakan.

Satu kecupan di dahi, dua pipi, hidung, dan bibir mendarat pada Kanta. Tanpa cahayapun ia bisa melihat bahwa Karan sedang tersenyum dan binar mata laki-laki itu begitu tajam menusuk pupil Kanta. Ia masih di atas, Karan, menindih tubuh Kanta yang telanjang bulat dan menggesek seluruh permukaan kulit tubuhnya dengan kulit langsat sang gadis. Mereka masih saling mengelus, mengecup lembut, dan menatap dalam kegelapan, menghayati malam yang berlalu begitu ekstrim dan memberikan dua puncak yang hebat namun mengeluarkan emosi yang bertolak belakang.

“Apa yang baru saja kita lakukan, Karan?” tanya Kanta pelan.
Merebahkan diri ke sebelah Kanta, Karan menghela napas, “Satu peregangan jiwa dan raga,” ujarnya.
Kanta menoleh ke arah wajah Karan, “Dua,” koreksinya. Mereka terdiam, merenung, lalu terkikik pelan.
Tak lama, “Apakah dua itu termasuk prahara tadi?” tanya Karan.
Kanta mengangguk dalam gelap, menimbulkan bunyi gesek antara rambut keritingnya dengan bantal yang ia tindih.
“Ya, dua-duanya merupakan peregangan jiwa dan raga, bagiku,” katanya.
Karan terdiam, Kanta terdiam, mereka berdua terdiam larut dalam pikiran masing-masing yang membuat hening hadir begitu nyata. Begitu heningnya hingga kedipan mata mereka mampu didengar oleh cicak yang merayap di sisi luar dinding kamar itu.

**

Sore yang tanggung, biasanya di waktu seperti ini sudah terlambat untuk berharap bisa menikmati matahari yang cerah. Namun, apa mau dikata, bumi baru kering setengah jam yang lalu dan menyisakan waktu satu jam saja untuk mampu menghirup cahaya matahari. Kinipun belum seterang itu, baru awan putih bergradasi biru muda yang membiaskan sinar emas matahari sebagai pengganti gumpalan kelabu tadi. Walaupun cuaca masih membuat harapan mereka terkatung-katung, apakah bisa bercengkerama dengan matahari atau tidak, namun Karan dan Kanta memutuskan untuk melapak di sana.

Satu lapang terbuka yang memberikan keleluasaan kepada siapapun untuk menerawang Bandung dari ketinggian dan kejauhan. Pagi, siang, sore, atau malam akan tetap ada nuansa kemegahan karena mampu berdiri dan menelanjangi kota itu. Cukup berdiri atau duduk di tepi lapang sambil memaki para pengendara kendaraan bermotor yang tak beradab, pun bebas memaki pemerintah kota yang mengukur keberhasilan program pembangunannya melalui jumlah turis padahal minim perhatian terhadap kota itu sendiri. Semua berkuasa di atas bukit itu, Bukit Panorama, demikian Karan dan Kanta menyebutnya. Tidak ada fasilitas apapun di lapangan itu, bentuknya juga hanya berupa tiga dataran dengan tinggi berbeda, membentuk semacam undakan pada jarak yang jauh. Ilalang tumbuh tinggi tak terawat dan tanah merah adalah wajah lapangan itu. Belum begitu banyak pula orang yang berkunjung dan menghabiskan waktu di Bukit Panorama, tidak seramai lapang-lapang lain di daratan tinggi kota Bandung. Tidak pula identik dengan nuansa yang kondusif untuk melakukan tindak mesum, justru banyak pemandangan unik yang Karan dan Kanta saksikan. Misalnya, beberapa pemuda datang menggunakan vespa dan membawa gitar, lalu mereka berdendang dengan syahdu di tengah lingkaran yang diciptakan posisi parkir vespa mereka. Pernah pula sepasang kekasih usia belasan akhir yang memadu kasih dengan cara yang khusyuk, duduk di atas tikar sederhana ditemani oleh kotak bekal makanan mereka di sisi, mereka berdua terlihat tenang menulis entah-apa-itu di buku saku masing-masing. Tempat ini tenang, membawa inspirasi, tak ragu pula mendamaikan sekelumit gulungan benang kusut di pikiran.

Kanta asyik dengan kamera analognya, kamera yang termasuk dalam kategori barang canggih saat ia masih SD, bukan kamera digital yang telah menjadi standar teknologi pemotretan kini. Ia menangkap gambar apapun yang ada di sekitarnya: ilalang yang tak kemana, suasana orang-orang yang ada di sana pada sore itu, juga Karan yang sedang asyik menghisap rokok sambil menerawang ke arah kota. Waktu yang sempit mendorong Kanta untuk memaksimalkan daya yang ia punya untuk menangkap gambar dengan bantuan pencahayaan manual matahari.

Tak lama setelah Kanta meletakkan kameranya di alas duduk mereka, Karan meraih kamera tersebut dan balik mengambil beberapa gambar Kanta, sengaja dan tidak. Ia sungguh senang untuk merekam perilaku dan wajah Kanta ke dalam sebuah foto karena baginya foto-foto adalah jalinan mati yang bergerak dari segala yang hidup maupun segala yang mati di alam raya ini. Sore yang menggantung itu berlangsung singkat namun berhasil membuat harapan Karan dan Kanta tak terkatung-katung, hari itu.

**

Tanggal 10 Oktober 2010, pukul 09.00
Ruangan itu gelap, gorden belum disibakkan ke sisi terluar rel sehingga tak memberi celah bagi cahaya matahari menerangi ruangan. Pintu tak dikunci, suara tak ada. Sunyi dan hening.
Derap langkahnya memelan, setengah heran, setengah takut. Keadaan ruangan masih sama seperti dua malam lalu, berantak di sana-sini masih tepat, bekas bungkus camilan masih teronggok di sudut meja depan televisi, pecahan vas cokelat masih terkumpul di serok, kuntum-kuntum melati layu berwarna cokelat masih dibiarkan mengintip tempat sampah. Ia memeriksa jika ada pertanda yang patut dicurigai, berkeliling ruangan, meneliti satu-satu dengan teliti tak membiarkan ada yang luput dari pandangan dan analisisnya.

Langkahnya terhenti di bawah jendela. Apa ini? Gumamnya dalam hati.
Sebuah kardus hitam berukuran sedang, 10x20 cm terselimuti sibakan gorden yang tertiup angin dari luar. Ia menunduk perlahan sambil jongkok di depannya. Tidak ada isolasi yang merekatkan tiap sisi penutup kardus, tidak ada nama, tidak ada keterangan. Ia buka tutup kardus perlahan sembari menyibak tirai gorden ke tepi. Lalu kembali menatapi apa yang ada di dalam kardus tersebut.

Salah satu puing pecahan vas cokelat, kapas yang sudah cokelat bekas obat merah bercampur darah, tiga buah bungkus kondom yang kosong dan disobek setengah, dan apa itu? Sebuah plastik transparan… di dalamnya terdapat beberapa gambar yang sudah dicetak. Ia buka plastik tersebut dan menemukan dirinya dua hari lalu, sore itu, di Bukit Panorama. Ada dua foto yang dicetak, satu dirinya sedang tersenyum ke arah kamera, satu sedang mengunyah camilan yang membuat wajahnya tampak tolol di foto tersebut. Ia menggali lebih dalam raupan tangannya ke permukaan terdalam kardus dan mendapati sepotong amplop hitam yang saru dengan warna permukaan bagian dalam kardus tersebut.

“Jika manusia selalu melolong dan memohon untuk mendapati kisah cinta seindah Romeo dan Juliet, maka kita harus menyerah. Bukan karena kita tidak romantis atau tidak saling mencintai, Sayang. Periksa kembali barang-barang yang ada di dalam kardus ini, teliti satu-satu, apa yang telah kita lewati dengan barang-barang bekas pakai ini.

Aku membencimu seperti kamu membenciku, aku murka menghadapi angkaramu yang tak terbendung hingga hanya pekikan vas mati berwarna cokelat yang mampu mewakili apa yang ingin kamu sampaikan padaku. Darah menjadi antiklimaks yang menyakitkan untuk melambangkan cinta, kepalku mewujudkan betapa kerasnya dayaku untuk tak melabuhkan amarah pada fisikmu, amarah yang tak sanggup diselesaikan oleh daya pikir dan logika berbicara. Kapas busuk itu mengingatkanku bahwa aku tak kuat membiarkanmu terluka dengan sengaja, darahmu di sana telah terserap memang, tapi luka di tanganmu akan menjadi monumen prahara yang rutin kita hadapi kala menyerah dengan kompromi.

Lalu, ternyata aku tak sanggup membunuhmu jikapun benci terlampau kalap di jiwa ini. Lihat tiga bungkus kondom yang sudah kosong itu, isinya sudah aku kenakan untuk mengamankan percikan emosi lainnya malam itu. Sebuah kegiatan yang mungkin zinah kata dunia, tapi khasiatnya melebihi seribu pesan singkat berisi kalimat ‘aku sayang kamu selamanya’ atau ‘maafkan aku, aku begitu membutuhkanmu di sini’. Prosesi bunuh diri dengan penyerahan raga dan jiwa seutuhnya melalui hubungan yang terdalam dari apa yang fisik kita mampu lakukan sebagai kaum Adam dan Hawa, seks yang luar biasa buas malam itu menjadi penghabisan segala amarah dan perang ego kita masing-masing menjadi lelap yang menenangkan.

Hingga foto-foto dirimu kala sore tanggung di Bukit Panorama. Lihatlah dirimu sayang, those are the prettiest and also the ugliest side of you. Tanpa kau rencanakan sembunyikan, kau adalah dua sisi yang tak bisa luput dari mataku.
Itulah mengapa aku mencintaimu. Jelaskan mengapa kita bisa lepas kontrol ketika bersama! Jelaskan mengapa kita mampu mengeluarkan dua pribadi yang bertentangan ketika bersama! Jelaskan mengapa tak ada yang bisa kita sembunyikan dari masing-masing! Jelaskan mengapa kita begitu bebas terhadap satu sama lain! Jelaskan mengapa kita saling membunuh lalu bercinta setelahnya, selama bertahun-tahun ini!

Karena itulah cinta unjuk kenyataannya pada kita, Sayang.
Cinta mampu membuat kita mencapai batas terendah kita, sifat binatang kita, hingga batas tertinggi kita, sifat terluhur para Dewa.

Selamat menghikmati dua tahun hubungan Karan dan Kanta.
Bandung, 10 Oktober 2010,
Binatang yang kau siksa, Dewa yang kau puja,
Karan.”

Kanta terduduk, tertunduk, secarik kertas itu ia remas dan menangis harulah ia di bawah sayup angin pagi 10 Oktober 2010. Tak tertahankan kala rengkuhan sepasang lengan kokoh itu memeluknya dari belakang, tanpa suara, Karan mengecup rambut Kanta lembut. Dua manusia larut dalam tangis haru dan pedih, wujud sebuah cinta yang tak romantis namun tak pernah menepis kejujuran rasa: tak dibuat namun tercipta melampaui segala ambang batas yang manusia pikir tak layak ‘dirasa’.

***



Bandung, 07-08 Juli 2010

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Sebuah Hubungan

Ulasan Musik: London Grammar

[Ulasan Buku] Manuscript Found in Accra