Lirik
“Tak akan pernah usai cintaku padamu,”
Senandung lirik dalam simfoni indah milik Dewa19 mengalun menemani perjalananku malam ini. Tidak pernah habis aku mengagumi kedahsyatan personil band Indonesia era 90-an ini dalam meramu kata-kata menjadi lirik yang mampu mewakili eksistensi rasa abstrak tiap manusia perasa. Lagu Kirana masih terus terdengar dari music player di mobilku, lagu rasaku termangu dalam tiap liriknya yang membuatku kaku.
Satu penggal lirik itu begitu sederhana dan berlalu begitu saja kala tiap orang mendengarkan lagu ini, kataku dalam hati. Tapi, lanjutku membatin, pernahkah terlintas dalam benakmu betapa beraninya baris tersebut? Sudah hampir separuh usia aku mendengarkan lagu ini, namun baru sekali aku benar-benar menghayati kalimat ini. Apa yang ada di benak seorang manusia ketika ia mampu mengucap ‘tak akan pernah usai cintaku padamu’ ? Seperti hujan yang tidak akan pernah usai membasahi bumi, seperti matahari yang tak pernah berhenti menyinari jagat raya tiap pagi menjelang, seperti waktu yang tidak pernah berhenti berdetik semasa hidup manusia hingga satu mati satu lahir, waktu tetap berjalan sesuka hatinya. Ungkapan segala proses yang tak akan pernah usai kecuali kiamat membuat tamat.
Mungkinkah? Tanyaku sendiri dengan sadar bahwa tak akan ada yang menjawab. Mereka bilang lirik adalah sebuah perwujudan dari harapan yang tak pernah ternyatakan, atau tak pernah eksis di dunia ini. Maka lirik adalah cerminan dari segala sesuatu yang tak pernah terjadi namun nyata di alam pikiran manusia. Bisakah aku bilang demikian?
**
“Aku cinta padamu,” ungkapmu suatu waktu.
Seketika embun mengaburkan pandangan hatiku dan mendinginkannya dari segala gemuruh emosi yang meledak. Amarah seketika lenyap, ragu berganti dialog kecamuk yang semakin membuat segalanya berantakan. Hatiku berantakan dan aku mencoba memungut pikiran di laci otak yang tepat, namun tak pernah kutemukan. Karena kamu sudah membuatku berantakan.
“Apa maksudmu?” tanyaku. Sekian yang bisa kukeluarkan dari mulutku, dari keruwetan pikiranku sendiri.
“Aku cinta padamu, itulah mengapa aku menghancurkanmu,” katamu, biasa saja.
“Kamu menghancurkan kami,” ujarku pelan, tak sanggup lagi berpikir dan berkata apapun, bahkan berkata ‘aku mencintaimu juga,’ karena aku rasa kau jelas tahu itu seperti aku tahu kau mencintaiku, setidaknya telah berselang beberapa waktu lamanya sejak aku berpikir demikian.
"Apa maksudmu dengan 'kami'?" tanyamu penuh selidik. Aku diam menatapmu,
"Jiwa dan ragaku," ujarku pelan, menatapmu penuh rasa tak berdaya, tak berguna, yang telah diwakili oleh bulir bening laknat.
**
Blok B No.19
Sudah sampai, aku rasa benar ini tempatnya. Sesuai dengan deskripsi yang diberitahu oleh sahabatku. Beranjak keluar mobil, aku melangkah menuju pagar besi berwarna putih yang catnya sudah mengelupas. Keadaan rumah tampak hening dan lingkungan sekitar juga tak menunjukkan hiruk-pikuk kehidupan. Kehidupan khas kompleks, komentar kecil melewati pikiranku. Pelan dan tenang, aku mengetuk pintu biru muda. Lima menit aku menghayati jenis emosi yang terpaksa harus kurasakan karena tanpa komando, ia keluar dengan sendirinya, emosi beragam yang tak jelas namanya. Udara dingin menusuk tiap pori jahitan jaket jeans-ku, namun aku tak ingin senyapkan diriku dalam dingin. Aku harus melawannya, aku harus bersatu dengan dingin agar ia tak menjadi musuhku dan membuatku menggigil ketakutan. Pun aku harus bersatu dengan takut itu agar malam ini tidak akan menjadi malam terburuk dalam hidupku. Sosok itu membuka pintu, tersenyum lalu menuntunku masuk rumah, nyatalah.
**
“Imagine there’s no possession... I wonder if you can,” kini berganti lirik milik John Lennon, sang legendaris tanpa memerlukan The Beatles menaunginya. Lagu ini menemaniku pulang, Imagine. Dalam hati yang tak karuan dan memaksa diri untuk tetap sigap menepis segala jenis perasaan yang menyapa, aku larut dalam lirik itu.
“I wonder if I could, Lennon,” ujarku pelan.
Mungkinkah satu dari kita mampu untuk merasakan ketidakpemilikan terhadap sesuatu? Aku balik bertanya pada pikiranku, bertanya pada jagat raya dan berharap akan ada yang menjawab lalu mengirimkan seuntas jawaban pelega dahaga di pikiranku kembali.
Segala pertunjukan emosi menjajah asa dan pikiranku sembari mengemudikan kendaraan, seolah tidak ada yang terjadi lepas 40 menit yang lalu.
Entah berhasil atau tidak, aku masih terus bertanya sambil membayangkan adanya dalam hati, seperti apa rasanya dunia ini tanpa rasa memiliki? Atau kehendak untuk memiliki?
**
Semalam suntuk aku tidak terlelap dan terus menjaga diriku dalam senyap. Aku tidak mampu tidur bukan karena hal-hal penting yang harus diselesaikan atau deadline tugas dan pekerjaan yang wajib menyita waktu luang. Aku terjaga karena pikiranku sendiri, aku terjaga karena diriku dengan penuh kesadaran memahami bahwa aku butuh terjaga. Malang, aku begitu murka ketika mendapati pikiranku didominasi oleh sosokmu. Porsi keberadaan dirimu terlalu besar, bahkan sebelum (dan bodohnya aku yakin) setelah malam tadi berlalu begitu saja, seolah tak ada yang terjadi, namun mustahil bukan? Ya, karena tidak mungkin manusia melupakan sebuah peristiwa tak sepele yang terjadi pada dirinya atau mencoba tanam sugesti bahwa yang telah terjadi bukanlah apa-apa. Seperti angin, seperti udara, yang tak pernah usai dianggap sepele oleh manusia.
Putus asa aku karena termenung begitu lama, aku menyerah. Tak kuasa pula aku kembali membongkar peti harta karun bernama memori, dan kamu adalah harta karun yang aku simpan di sana. Aku buka kembali folder-folder berisi wajahmu, yang sedikit banyak menjalin ceritanya sendiri di pikiranku, masih terasa indah. Tentu saja, seburuk apapun memori telah tersimpan rapi di dalam batin manusia, pada saat manusia mengenangnya maka memori itu terasa indah dan manusia akhirnya mengais-ngais celah sesempit apapun untuk dapat merasakan perasaan yang sama kala semua yang telah lewat sedang terjadi, dahulu.
Aku temukan cerpen karanganmu, berjudul ‘Tak Akan Pernah Usai’. Jarum penanda masa berputar cepat dan hebat dalam pikiranku. Seluruh badanku berputar pada satu poros dan kepalaku terasa berat, penglihatanku kabur, nafasku megap-megap, hanya memoriku yang waras dan sehat. Mataku sudah tak mampu membaca, namun nyawa memori yang tadinya berpendar hingga kini menembak huruf per huruf yang kau ketik dahulu, menggunakan laptop milikku ini. Jelas, menyayat syaraf otakku yang penuh dengan gumpalan-gumpalan darah berwarna luka olehmu mendidih hingga uap panasnya dapat kurasa menguap dari pori-pori kulitku.
‘Tak akan pernah usai cintaku padamu
Hanya kata yang lugas yang kini tercipta
Kirana jamah aku, jamahlah rinduku’
Sepenggal lirik lagu itu kau sematkan dalam ceritamu. Di akhir cerita tertulis, ‘teruntuk Kirana’. Ketakadilan yang telah kau ciptakan membuatku bergejolak dan mual, ingin aku muntah saat itu juga, ingin aku muntah mengingat namamu, dan seketika aku menyesal karena telah menyerah atas ketaksanggupanku menghapus segala peninggalanmu di laptop ini. Aku menyesal, seperti demikian aku begitu menyesal telah menanamkan keyakinan berlebih mengenaimu. Ini tak adil, sungguh tak adil.
**
“Aku hanya ingin kau menunggu,” pintaku ketika kau memutuskan bahwa sudah tak ada rasa lagi yang bisa kau abdikan padaku, suatu waktu itu, suatu waktu yang sama.
Kau meringis, mengalihkan pandangan dari hadapan wajahku, menunggu detik yang tepat untuk menjejak garis start dan langsung melesat mengeluarkan seribu penjelasan nomor satu yang paling benar dari mulutmu.
“Aku tidak bisa menunggu. Aku bahkan tak tahu untuk apa menunggumu lagi,” jawabmu ringan. Kerongkonganku tercekat, adrenalinku terkocok, dalam diriku tak keruan.
“Kamu tahu aku tidak mencintainya!” seruku, benar-benar tidak punya harga diri. Benar-benar menyerah, benar-benar gila.
Kamu mendelikkan bola mata dan mencibirkan bibirmu, merubah raut wajahmu seketika menjadi orang yang sungguh tak kukenal, bukan kamu. Wajahmu penuh dendam, rautmu penuh kemelut lama yang terlalu busuk untuk dipendam.
“Kamu yang memilih. Ini kehendakmu,” ujarmu dingin.
“Aku butuh waktu yang tepat untuk menyelesaikannya! Ini keterlanjuran, bukan kehendakku. Ini wujud ketaksempurnaanku dan ini kecerobohanku, namun ini bukan harga mati yang tak bisa kau maafkan!” protesku, histeris.
Kamu melunak, tapi tak sepakat.
“Sudahlah, aku terlalu lama meratapimu. Aku hanya butuh penggantimu, aku butuh sesuatu yang melampaui perasaanku padamu.” Ujarmu lalu berdiri, pergi. Bersamaan dengan langkahmu, sejalan putus asa mendera dan merayapiku, kau menghancurkan kami tanpa kompromi.
**
Malam itu aku tak punya kekuatan lebih untuk memberitahu perihal terutama aku butuh bertemu denganmu. Kekuatan yang sama sekali tak kuat itu terlibas oleh pernyataan terakhirmu, bahwa kamu memang berniat membunuh perasaanmu padaku agar kau lepas dari sengsara, lepas dari nelangsa karena terpaksa berpikir aku bahagia dengan orang lain. Orang lain yang sama sekali tidak kuhayati kehadirannya karena ia tak lebih dari seorang asing yang orangtuaku kehendaki aku nikahi. Sudah kuputuskan enam bulan aku akan bersamanya hanya untuk membuat hati kedua orangtuaku tenang, barang enam bulan. Dunia bisa kiamat dalam waktu sehari, maka aku bisa berbuat banyak strategi selama enam bulan, namun strategiku dipangkas habis-habisan oleh lelahmu menanti dan rasamu yang semakin pesimis sekaligus kian mengangkuh di hadapanku.
Setidaknya aku lebih memilih diam. Kau telah memilih membunuh dan memangkas rasa yang dulu kau puja padaku, maka itulah yang akan terjadi dalam hidupmu. Aku tahu, kamu tak bisa diubah oleh apapun kecuali kehendak alam raya. Itulah kamu. Aku sudah menjadi patung terakhir yang mungkin untuk kau kagumi, karena kau dulu mengagumiku sedikit banyak terpengaruh oleh rasa yang kau lestarikan untukku. Selepas itu, yaitu kini, perlahan rasa kagummu itu terkikis dan kasihmu padaku berganti dendam yang melega menjadi luka dalam belanga hatimu. Menganga, luka itu kau pacu menjadi alasan yang sah untuk membunuh rasa, kau tak akan pernah mengakuinya, agar kau tak mencintaiku lagi.
Setidaknya itulah yang terjadi hingga aku berujung terjaga. Seolah tak ada yang terjadi, aku mencoba menguasai pikiranku sendiri. Ketakadilan lirik cinta aku rasa semakin membunuh ketegapan diriku sepanjang malam. Keyakinanmu akan keberanian yang kau pernah ungkap melalui jalinan kata-kata termahsyur yang pernah kudapat, punah.
“I couldn’t Lennon, I couldn’t imagine a world without possession,” isakku lemah.
Karena ternyata aku berharap janin kami masih ada di dalam sini, batinku sambil mengelus kasar perut bawahku. Mungkin dengan begitu, mungkin dengan tak kubunuh janin hasil benihmu, aku masih berhak berharap dapat memilikimu. Itu saja pesanku padamu, entah kapan kau tahu.
Sampai fajar menjelang, hanya itu doaku yang penuh penyesalan. Ramuan bolak-balik close-up wajah sang ibu di rumah blok B, wajah dinginmu, darah yang menyelimuti bagian bawahku tadi, dan lagi, kamu, merasuk menguasai apa yang abstrak di wajah namun konkret di pikiranku. Aku tak membayangkan hari esok.
***
sore asal-asalan, Ngopi Doeloe, Bandung
15 Juli 2010
yahhhh....ini cerpen eskapisme skripsi looo kan Kan?hehehehee...
ReplyDelete@dinda: yoii dinn.. hahahaa, asal y? sesuai ama obrolan sore kita yang asal dan membicarakan hal-hal yg 'belum menampakkan kejelasannya'. -_-"
ReplyDelete