(Sedikit) Tentang Si Hidup
Hari yang baru tidak selalu berarti adanya hidup yang baru. Saya jadi teringat satu lagu yang tergolong lawas, “A New Day Has Come” yang dinyanyikan oleh Celine Dion. Di awal 2000-an, lagu beserta video klip satu ini termasuk yang saya tunggu-tunggu di MTv. Sebait lirik lagu yang dilantunkan penyanyi bersuara jernih ini:
Let the rain come down and wash away my tears
Let it feel my soul and drown my fears
Let it shatter the walls for a new new sun...
A new day has come
Let it feel my soul and drown my fears
Let it shatter the walls for a new new sun...
A new day has come
image: here |
Kata esok selalu identik dengan ‘menyongsong’, dengan harapan baru, dengan adanya hal berbeda yang akan ditempuh. Tapi, nyatanya, jika menggali lebih dalam lagi, tidak selamanya pergantian hari menjamin adanya hidup baru. Saya tidak berkenan menyamakan konteks ‘hidup’ di sini, tapi satu hal yang saya petik sedikit dari sebuah renungan singkat adalah: hidup lebih dari napas yang berembus. Itu adalah satu nilai terbesar dari pergantian detik, menit, jam, hingga hari, bahwa kita masih diberikan napas. Hidup yang ada dalam benak saya adalah makna dari napas itu. Apa yang saya lakukan sembari menghela-hembuskan napas di hari itu, apa yang saya berikan, apa yang saya dapat dan pelajari, hingga di malam hari ketika hendak menutup 24 jam yang berlalu, I feel contented.
Lirik di atas usah dimaknai sepenuhnya berbicara mengenai luka dan obat pemulih yang tiba keesokan harinya. Saya lihat lirik tersebut mengandung sebuah harapan mengenai hari yang baru telah atau akan menjadikan hidup di hari ini lebih baik dari sebelumnya. Harapan memang membawa pikiran kita jadi lebih bersemangat dan bahagia dalam menyambut hari baru. Entah berapa banyak yang berpikiran sama dengan saya, tapi ada sesuatu dalam hidup yang ingin saya dapatkan. Pagi hari yang membangunkan tubuh dan jiwa dari tidur itu tidak bisa ditebak akan mengisi otak dengan pikiran apa, pertanyaan apa. Mungkin, “untuk apa saya bernapas hari ini?” Sejauh ini, jawaban saya terbatas pada, “mencari uang,” dan belum bisa berujar, “menjalani kenyataan yang tadinya sebatas mimpi.”
Namun, itulah fase, benar? Menunggu dan mengisi ‘napas tunggu’ itu dengan kewajiban bukanlah sesuatu yang buruk. Ada pepatah yang berkata bahwa manusia harus menjalani segala sesuatu untuk menemukan jawaban mana yang ia suka atau tidak. Suka tidak suka, saya menyukai fase ini. Tahapan di mana saya kalah kuasa dengan kebutuhan uang dan terus berharap bahwa esok, perkaranya bukan lagi uang, tapi, bagaimana mencapai mimpi itu? Karena kini masih dini, dan teruslah berharap saya masih mampu melihat sinar matahari di pagi hari untuk mencapai titik yang kini masih melayang di angan. Selamat menghidupi hidup!
Jakarta, 12 Agustus 2011
Comments
Post a Comment