Merantau Bagian Tiga

Image source: here

Di salah satu akun jejaring sosial pribadi saya tertulis “sesuatu yang bergerak dan tidak menetap” sebagai gambaran singkat profil saya. Ini bermula di satu waktu saat saya menyadari bahwa setiap tahun saya selalu berpindah tempat tinggal, baik kos-kosan atau kota. Entah mengapa, pada waktu itu juga saya memiliki firasat kalau sepertinya dalam jangka waktu beberapa tahun ke depan pola hidup seperti ini masih akan terus saya jalani. Pede berlebihan memang, tapi nyatanya, toh, saya belum bisa membayangkan kehidupan menetap dalam jangka waktu lama di sebuah kota. Dan ternyata itu berlangsung hingga kini.

Bulan ini, tepatnya Juli 2013, bisa dibilang saya sudah sebulan menetap di Makassar. Keputusan ini sebenarnya terbilang instan. Fase pernikahan adalah yang membawa saya ke sini, walau sebetulnya, saya dan suami tadinya berencana untuk menetap di Jakarta setelah menikah. Rencana tinggal rencana dan inilah yang menjadi kesepatakan bersama serta keputusan terbaik untuk berdua. Maka jadilah Makassar sebagai kota keempat yang menjadi tempat tinggal saya selama 25 nyaris 26 tahun ini hidup.

Soal merantau memang bukan merupakan hal baru bagi saya. Merantau sendiri, bukan karena kewajiban orangtua. Selepas lulus SMA, tepatnya saat usia saya masih menuju 18 tahun, saya menyeberangi Laut Jawa dari Balikpapan menuju Bandung (geser sedikit ke Jatinangor) untuk menempuh studi perguruan tinggi. Lima tahun menetap di sana, saya lanjut pindah ke Jakarta untuk bekerja dan menetap di sana selama dua tahun hingga akhirnya saya menikah di akhir Mei lalu dan pindah ke sini. Walaupun pola berpindah sama, yaitu packing sekaligus memilih dan memilah mana barang yang layak dibawa dan mana barang yang harus ditinggalkan, perantauan kali ini terasa beda.  

Begini bedanya. Saat saya pindah ke Bandung lalu Jakarta, fase itu bisa dibilang sudah ada dalam prosedur kehidupan seorang anak, yaitu mengejar pendidikan dan setelah usai, iapun harus mengejar peruntungan nasib. Ada yang menanti dan dinanti, ada alasan yang mewajibkan pindah. Kali ini, pindah karena menikah adalah pilihan. Posisinya adalah saya sebagai seorang istri yang memilih setuju untuk pindah ke kota dimana suami saya menetap sementara. Saya bisa memutuskan tetap di Jakarta dan masih menjalani pekerjaan saya di sana, tapi pilihan saya adalah ini. Artinya, saya pindah ke sini bukan karena ada alasan yang mewajibkan, bukan karena ada yang menanti dan dinanti. Kehidupan rumah tangga sudah jelas menanti dan dinanti semenjak kami berdua mengucap janji pernikahan. Dan walaupun saya memutuskan untuk tetap di ibukota, toh, predikat saya sudah bertambah menjadi seorang istri dan ibu rumah tangga. Tapi, berhubung saya pindah ke sini sebagai wujud pilihan atas predikat yang sudah bertambah itu, maka sayalah yang harus mencari sesuatu yang menanti dan dinanti itu. Ya, ini juga menjadi pembeda fase merantau saya dari yang sudah-sudah. Saya merantau tidak lagi sendiri, tapi berdua, sepasang. Namun sebagai seorang pribadi, saya tetap menjadi pihak yang harus menciptakan alasan atas pilihan saya tadi, karena saya tidak lagi disodorkan oleh kewajiban berprosedur yang harus saya hadiri, seperti: perkuliahan atau kerja. Tidak ada sistem “wajib” tadi. Menjadi ibu rumah tangga itu otomatis, karena saya sekarang sudah menikah dan menjadi istri orang. Walaupun saya (misalnya) kembali bekerja kantoran, toh, saya tetap menjadi ibu rumah tangga. Namun, inilah tantangan berikutnya dari perantauan saya kali ini: memilih prosedur sebagai alasan saya merantau ke sini. Beda dengan sebelumnya dimana saya pindah karena sudah wajib menjalani sesuatu yang menanti dan dinanti itu. 

Di sini, saya harus belajar sendiri beradaptasi. Suami saya jelas membantu dengan pengetahuan yang ia miliki. Tapi terlepas dari itu semua, saya harus mencari celah sendiri untuk menemukan pola hidup yang harus dijalani selama enam bulan ke depan. Semuanya tidak lagi berjalan serba “otomatis”. Itulah yang membuat fase kali ini lebih sulit dari dua fase merantau sebelumnya. Kami tidak punya keluarga yang bisa membimbing ini itu, tapi kami harus menciptakan pengalaman sendiri untuk menjadi “tahu” dan berhasil menjadi warga kota ini seperti orang lain. Proses ini memang lebih lambat untuk dijalani dan dikuasai, tapi bagi saya ini jelas menjadi tantangan baru yang tidak bisa saya pelajari dari orang lain, melainkan dari dan dengan diri sendiri. Ya, pengalaman kali ini harus saya kreasikan dan lukis sendiri. Sulit? Pasti. Tapi menyenangkan karena saya tidak punya contoh dan orang yang mendikte seperti apa semestinya. Kami jauh dari keluarga dan kerabat, dan harus belajar memutuskan segala sesuatu berdua. Di luar itu, saya juga harus belajar untuk menciptakan pengalaman bagi kapal kecil kami ini agar bisa menjadi luwes untuk hidup di kota orang. Meskipun tak sedikit yang heran soal kepindahan saya dari ibukota ke “daerah”, tapi saya merasa beruntung. Merantau ke ibukota di negeri ini sudah menjadi pola “wajar” dan nyaris “wajib” bagi siapapun yang hendak menyusun simpul-simpul hidupnya atas nama kemapanan. Peluang banyak tercipta di sana. Bahkan saya juga berpikir bahwa suatu hari nanti kami bisa dengan mudah kembali ke ibukota. Tapi kesempatan untuk tinggal di salah satu kota asing di Indonesia yang tidak memiliki “alasan” untuk saya datangi, tentu jarang. Dan satu hal lagi, adaptasi ke sebuah kota yang tidak memiliki segalanya seperti Jakarta bukanlah perkara mudah. Di sinilah letak kesenangan menjalani tantangan itu terhampar. Dan ini juga menjadi salah satu proses mengamini bio singkat saya di atas. Selalu bergerak dan tidak menetap, hingga tiba waktunya saya dan dia harus benar-benar menetap. Haruskah? Tidak tahu.


Selamat menciptakan pengalaman! 


Makassar, 02 Juli 2013

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Sebuah Hubungan

[Ulasan Buku] Manuscript Found in Accra

Ulasan Musik: London Grammar