Balada Komitmen

Cerpen

Dua pasang mata saling menatap. Di tengah keriuhan malam yang riang hawanya, kita kembali bertemu setelah sekian lama hidup di jalan dan tempat yang berbeda. Tidak ada yang memaksa kita untuk berpisah. Ini hanya salah satu bagian dari proses alami kehidupan yang dulu sering kita kutuk bersama: “perihal menjadi dewasa”.

Tatapan mata kita kerap diselingi oleh picingan mengamati, mendengarkan, atau sorot penuh asumsi. Kita tak bisa menghindari berapa kali saling menebak, merasa masih saling mengetahui kehidupan satu dan yang lain. Padahal tidak. Nyatanya, banyak persoalan hidup yang sudah terlewati dari pengetahuan masing-masing. Tatapan mata kita juga tak jarang diramaikan oleh kerut bahagia, kerut tawa penuh rasa geli di saat bertukar bermacam kisah.

“Aku masih sulit percaya,” ujarmu sambil menggelengkan kepala tanda takjub. “Sulit percaya bagian mana?” imbuhku. Kamu menghela napas lalu terkekeh, “Ini... Kita... Sekarang,” katamu. Aku spontan terkekeh pula, “Hidup,” kataku yang disambut oleh anggukanmu. “Kondisi kini...” ujarmu menggantung, “aku... Menikah.” Spontan aku tergelak. Pemaparanmu yang awalnya bernada ragu ternyata tak lain hendak mengungkapkan sebuah realitas hidup yang dulu sempat kamu anggap semu, atau nyaris mustahil?

Tujuh tahun lalu, kamu pernah bilang, “Menikah itu pilihan, bukan kewajiban.” Ya, kamu pernah bilang itu di sebuah malam seperti ini, saat kita memutuskan bertemu untuk berbincang selepas kerja. Ungkapan itu tak mengejutkanku karena diucapkan oleh kamu. Aku tahu itu. Setelahnya, aku anggap itu sebagai pilihan jalan hidup yang telah kamu ambil. Tidak pernah aku bertanya “Kapan menikah?” atau “Kapan menyusulku?” jika berhadapan denganmu atau mendengar kisah romantis bersama kekasih-kekasihmu waktu itu. Dulu.

Tiga tahun yang lalu, kamu mendapatkan kesempatan untuk menjalankan sebuah proyek penelitian di luar negeri. Peluang yang sudah lama kamu tunggu-tunggu itu mengantarkan persahabatan kita pada perpisahan dan berlanjut menjadi long distance friendship. Selama itu pula kamu tidak pernah kembali ke tanah air hingga akhirnya kamu pulang tahun ini. Bukan cuma sebongkah kisah menarik seputar hidup merantau yang kau bawa pulang, tapi juga kabar bahagia bahwa kamu hendak menikah! Baiklah, belakangan kusadari bahwa inilah alasan utamamu pulang ke Indonesia awal tahun ini; melangsungkan pernikahan dengan seorang perempuan berdarah Indonesia yang sedang melanjutkan studi di Belanda.

Malam ini, tepat tiga minggu setelah pesta pernikahanmu sekaligus seminggu setelah bulan madumu road trip keliling Bali usai, akhirnya kita sempat bersua. Minggu depan kamu akan kembali ke Netherland bersama Rejwa, istrimu.

“Kamu tidak pernah menunjukkan tanda akan berujung ke pelaminan selama berhubungan dengan Rejwa,” ujarku. Belum sampai dua detik usai ujaranku, langsung kusambung, “Yaa, memang aku hanya tahu hubungan kalian dari kisah-kisahmu lewat e-mail dan Skype, sih,” kuteguk minuman di gelasku lalu kembali bicara, “tapi intinya, tidak pernah terbaca olehku kalau hubungan ini yang membuatmu berubah pilihan.”

Kamu mengangguk sambil bergidik, “Aku juga tidak menyangka ini bisa terjadi,” timpalmu. “Basi!” sambarku yang langsung membuatmu melongo tidak terima. Aku terbahak, “Ya! Hati memang bikin logika jadi basi, tahu?” tambahku sembari tertawa. Kamu tertawa terputus-putus, bisa kutebak perasaanmu: malu, bahagia, lega, bingung, heran, semua bercampur jadi satu. Kamu menundukkan wajah dan menatap gelas minuman yang isinya tinggal setengah.

“Aku baru sadar kalau ternyata selama ini aku tidak pernah benar-benar berkomitmen. Bahkan di saat aku berkeras kalau yang sedang aku lakukan adalah berusaha mempertahankan hubungan itu,” ujarmu. Secercah nostalgia memancar dari tatapan matamu yang menerawang. Aku memicingkan mata dan memiringkan kepala, tertarik untuk mendengar lebih lanjut. 

“Dulu, kita selalu menganggap tiap hubungan terjalin atas dasar komitmen, bukan?” tanyamu. “Teorinya begitu,” jawabku. Ya, teorinya begitu. Saat jatuh cinta dan kedua pihak setuju untuk menjalin hubungan cinta yang formal melalui titel pacaran, hubungan itu berpijak pada komitmen. Bahwa keduanya harus setia, keduanya memiliki hak dan tanggung jawab terhadap keharmonisan hubungan tersebut, dan keduanya beranggapan bahwa rasa percaya adalah basis yang memelihara segala sesuatu tetap berjalan di jalur yang benar.

Setidaknya, hal-hal tersebut adalah konvensi umum yang dianut dan dipercaya oleh sebagian pasangan. Sebagian? Ya, karena sebagian lainnya bisa jadi menjalani hubungan tanpa asas apa pun selain: ingin dan tak ingin, atau suka dan tak suka. Sesederhana itu. Bagaimanapun, manusia selalu membutuhkan aturan dan dasar dalam menjalani sesuatu karena, rasanya, tidak ada manusia yang siap untuk kecewa. Sewajarnya, manusia memilih dan menjalani sesuatu yang ia anggap sesuai dengan satu atau beberapa prinsip kehidupannya. Termasuk dalam memilih pasangan.

Bahkan, orang yang mengaku menjalani hubungan atas dasar iseng atau tidak serius juga dilandasi oleh sebuah asas, yaitu kebebasan. Bahwa hidup ini nikmat ketika ia bebas untuk mengatur hidupnya sendiri, bukan diatur. Bahwa tidak ada orang lain yang berhak mengatur pilihannya, tidak ada orang lain yang berhak membuat hidupnya tidak menyenangkan, sampai ketika suatu hari ia jatuh cinta. Maka logika pun berbalik lalu mengubah tatanan prinsip terdahulu yang sebelumnya menjadi landasan beraksi. Prinsip didiskon semata atas nama cinta, hasrat, dan nafsu. Rasa mengambil alih kendali.

Tapi, benarkah ini komitmen? Seperti yang sedang kita bahas.

“Baru aku sadari kini, kalau apa yang pernah aku jalani sama sekali tidak mendekati arti komitmen,” lanjutmu.

“Contohnya?”

“Sebelumnya, aku menjalani hubungan hanya berlandaskan rasa tertarik. Memang, pada waktu itu, aku jelas menyayangi pasanganku. Tapi rasa sayang yang ada tidak cukup sampai membuatku berkomitmen terhadap hubungan itu,” paparmu.

“Tapi kamu selalu bertahan lama,”

“Betul. Toh, nyatanya alasanku bertahan lama itu bukan karena komitmen,”

“Melainkan?”

Terdiam, kamu merenung sesaat sembari merangkum pikiranmu, “Keterbiasaan dan kenyamanan,” jawabmu akhirnya.

“Bukan karena rasa sayang?”

“Rasa sayang itu dikalahkan oleh kedua hal tadi,” katamu singkat. Tiba-tiba kedua tanganmu berputar di depan wajahmu yang seketika berbinar. Nampaknya ada sebuah pemikiran yang baru timbul dalam kepalamu. Kau buru-buru menyusun kalimat, takut ide itu hilang.

“Contoh lain, ya, ini nyata terjadi!” serumu antusias. Aku memiringkan kepalaku lagi, menanti. 

“Sebelum ini, aku selalu menyusun rencana masa depanku seorang diri. Aku tidak pernah melibatkan pasanganku,” ucapmu.

Pengakuanmu barusan membuatku tersenyum dan mengangguk sambil menyahut, “Yap,”

“Dulu aku tidak menemukan alasan yang cukup kuat untuk mempertimbangkan perasaan pasanganku tiap merencanakan sesuatu. Misalnya,” ujarmu sambil menodongkan jari telunjuk ke arahku, “saat aku menerima proyek penelitian di Sulawesi selama enam bulan, dan aku sedang menjalin hubungan dengan salah satu teman sekolahku itu.”

“Ah, ya, dan kau berkelakar tidak ingin menelantarkan dia selama enam bulan, ditambah kau tidak bisa menjamin kesetiaanmu. Jadi sebaiknya disudahi saja dari sebelum kau pergi,” aku menyela dan kau lekas mengangguk. “Nah!” serumu.

“Sedangkan saat aku bertemu Rejwa, entah bagaimana prosesnya, tapi aku—tanpa disadari—selalu menempatkan dia di tiap rencana yang tengah aku susun. Tiba-tiba, semuanya tidak lagi mengenai diriku seorang,” jelasmu dengan intonasi sarat rasa heran.

“Ya, itu perubahan yang besar,” timpalku.

“Dan anehnya lagi, aku bersedia menggeser prioritas pribadiku demi menemukan posisi Rejwa di tiap rencana itu. Aku dengan senang hati mengutamakan prioritas ‘kami’,” tambahmu dengan penekanan saat mengucap kata kami.

“Wow, itu pertanda besar!” ejekku sembari membelalakkan mata.

Kau berseru, “Aku serius!” sambil melempar tisu ke wajahku. Sontak kita terbahak.

“Ya, aku tahu! Tapi itu prestasi besar untuk seorang kamu!” balasku.

Tiba-tiba aku teringat akan sesuatu, sebuah pemikiran yang dulu timbul akibat mendengarkan kelakarmu bahwa pernikahan adalah sesuatu yang utopis. “Dulu aku pernah berpikir bahwa persepsimu terhadap pernikahan—atau setidaknya, hubungan serius—akan berubah dengan sendirinya jika suatu saat kamu bertemu seseorang yang membangkitkan kesadaran baru dalam dirimu,” ujarku. “Ini hanya persoalan bertemu dengan orang yang tepat,” kataku lagi. Kamu agak terkejut mendengarnya, mungkin tidak menyangka aku pernah berpikir demikian. Sambil mengangguk-angguk kamu bilang, “Hanya persoalan bertemu orang yang tepat. Sesederhana itu.” 

Jeda beberapa saat hadir di tengah percakapan kita. Kulihat kamu menekuri omonganmu sendiri, atau kutebak begitu. Mungkin kamu sedang bersemayam dalam proses penyadaran dirimu sendiri. Atau mungkin, isi kepala kita kini dipenuhi oleh pikiran yang serupa, tentang makna dari apa yang selama ini pernah kita lalui dan kaitannya dengan apa yang sedang kita jalani di masa sekarang.

“Kamu tahu,” ujarku memecah keheningan. Kamu menengadah dan menatapku.

“Bagiku, jika cinta diumpamakan sebagai roller coaster, maka komitmen adalah rel tempat kereta melaju,” kataku. Kamu meneguk minumanmu lalu menyetel raut wajah bertafsir 'siap mendengar kelanjutan kalimatku'.

“Aku ingat perasaanku saat tahu akan menikah dengannya. Menjelang hari itu, hatiku didominasi oleh perasaan bahagia. Segala kerepotan dalam persiapan pun tidak membuatku patah semangat dan aku tetap antusias menyambut hari pernikahanku. Itu adalah perasaan yang paling indah yang pernah aku rasakan,” kisahku.

“Tapi cinta memang adil. Maksudku, cinta mengizinkan aku untuk merasakan kebahagiaan dan gairah saat menyambut hari yang akan menyatukan aku dan dia. Lalu tibalah kami pada kehidupan rumah tangga yang sebenarnya. Perasaan seperti itu sudah tidak bisa aku rasakan lagi, karena ‘jatah’ku sudah lewat. Setelah itu, jatahku adalah merasakan naik dan turunnya rasa cinta itu,” lanjutku lagi.

“Dan komitmen adalah yang menjaga kalian tetap satu di saat turun itu?” timpalmu.

Aku menggoyangkan bahu, “Kurang lebih begitu.”

“Cinta membawa konsekuensi berupa sakit hati, itu soal rasa. Sedangkan komitmen membawa konsekuensi berupa kompromi dan pengorbanan, itu soal, hmmm, jamak,” tambahku.

“Dengan kata lain, komitmen lebih kompleks daripada cinta?” tanyamu.

“Mungkin. Komitmen menyeret hal-hal yang bertalian dan telah lama membentuk simpul pribadi seseorang supaya bisa ikut berembuk,” aku menjawab.

 “Atau bersedia,” imbuhmu. Aku mengangguk. Benar juga, bersedia untuk berembuk, karena tidak semua orang mengizinkan seluruh simpul prinsipnya dikompromikan, walau ia cinta sekalipun.

“Di situlah naik turunnya cinta seperti roller coaster,” kataku.

“Dan di situlah komitmen menjaganya,” tambahmu.

“Dengan susah payah, tentunya,” pungkasku.

Lalu kita tertawa dan bersulang untuk kerumitan hidup yang dulu pernah kita kutuk, yang dulu pernah masing-masing dari kita rancang dengan sempurna, dan kita kira bisa berjalan persis serupa. Kita bersulang untuk kehidupan yang kini telah menemukan muaranya, satu per satu, dan membiarkan percakapan ini menjadi afirmasi pikiran dan perasaan kita terhadap fase yang tengah kita jalani kini. Kita bersulang untuk momen-momen berikutnya yang belum terbaca, yang bahkan tidak ingin kita terka.

***

“There’s a difference between interest and commitment. When you’re interested in doing something, you do it only when it’s convenient. When you’re committed to something, you accept no excuses; only results.” –Kenneth Blanchard

[Makassar, awal September & 18 Sept 2014] 

Comments

  1. SUKAK!!! jadi, ngebayangin obrolan santai Kan, hmm...gw pulang bertemu yuk? :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Petttooooongg! Kapan kau pulang? Iya ngobrol santai yuk! Seru deh pasti. Anw did you receive my e-mail couple weeks (or months) ago? *lha haha

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tentang Sebuah Hubungan

Ulasan Musik: London Grammar

[Ulasan Buku] Manuscript Found in Accra