[DRAFT]
"Seperti apa rasanya?" tanya lelaki di depanku, menatap lekat batang hidungku yang dingin. Melekatkan razia tatapannya ke seluruh penjuru wajahku yang kaku. Tidak peduli dengan tatapan yang menelanjangiku, aku teguk dalam-dalam rasa yang kupaksa larut bersama air putih dari gelas hijau ini. Aku sibuk menata ingatanku, tidak hanya lima jam barusan, tapi lompat mundur pada masa-masa sebelumnya, di mana rasa yang eksis ini tidak pernah unjuk gigi.
Sejenak, aku menatapnya, lelaki di depanku, yang wajahnya melongo penasaran menanti jawaban. Tidak aku hiraukan, aku memilih larut ke dalam eksistensi kenangan dan masa depanku, kiniku. Kamu. Siapa kamu, ya? Omong-omong, aku pun tidak begitu jelas mengenalmu, hanya melalui dunia maya kita bertegur sapa, berbincang ngalor-ngidul tak tentu arah, lama-lama liar membabi buta, berujung pada pola membebaskan segala bebat moral dan nilai yang sudah difatwakan, oleh pengetahuan. Ya, karena dunia tidak pernah memfatwakan apapun kecuali hukum alam, yang sayangnya, sok diadopsi oleh manusia sebagai penentu benar dan salah, seperti mereka paham 100 persen.
Jika kembali aku bertanya, siapa kamu, maka aku hanya bisa menjawab: seorang kenalan yang tak begitu jauh jaringan pertemanannya, dan secara tak sengaja memiliki kesamaan dalam selera dan pandangan mengenai hidup. Hal tersebut seolah menjadi pintu gerbang menuju segalanya, segala pembenaran untuk menganggap pikiran kita paling benar dalam memandang jendela fenomena. Maka, ya begitulah jadinya kita berdua.
Suatu malam, kita berbincang tentang hakikat manusia, dan naluri teralaminya. Wacana tentang seksualitas tak bisa dipungkiri hadir dan memakan rakus porsi pembicaraan kita.
"Hubungan seks tidak seharusnya dibatasi oleh pernikahan," ketikmu,
"Yah, tapi tetap saja aku tidak ingin sakit kelamin karena terlalu banyak berhubungan seks dengan sembarang orang," balasku.
"Itulah gunanya kondom," sanggahmu.
"Ah, aku masih butuh esensi," bantahku.
Jendela messenger kita berbalas cepat, ritme saling kebut, dan tak mau kalah.
"Memangnya seberapa sering kamu berhubungan seks?" tanyaku, penasaran.
"Sesering yang aku inginkan, sebisa yang aku dapatkan," jawabmu, tak peduli.
"Hmmm..." ketikku, menggantung.
"Pandai berarti," lanjutku, lalu berakhir dengan emoticon "Ha ha ha ha ha :))"
"Try me," ujarmu, menantang.
Aku diam sesaat, waktu itu. Dasar orang gila.
"Ternyata aku tidak menyesal," ujarku. Dalam kegelapan aku masih merasakan rengkuhanmu, yang kokoh.
Sejenak, aku menatapnya, lelaki di depanku, yang wajahnya melongo penasaran menanti jawaban. Tidak aku hiraukan, aku memilih larut ke dalam eksistensi kenangan dan masa depanku, kiniku. Kamu. Siapa kamu, ya? Omong-omong, aku pun tidak begitu jelas mengenalmu, hanya melalui dunia maya kita bertegur sapa, berbincang ngalor-ngidul tak tentu arah, lama-lama liar membabi buta, berujung pada pola membebaskan segala bebat moral dan nilai yang sudah difatwakan, oleh pengetahuan. Ya, karena dunia tidak pernah memfatwakan apapun kecuali hukum alam, yang sayangnya, sok diadopsi oleh manusia sebagai penentu benar dan salah, seperti mereka paham 100 persen.
Jika kembali aku bertanya, siapa kamu, maka aku hanya bisa menjawab: seorang kenalan yang tak begitu jauh jaringan pertemanannya, dan secara tak sengaja memiliki kesamaan dalam selera dan pandangan mengenai hidup. Hal tersebut seolah menjadi pintu gerbang menuju segalanya, segala pembenaran untuk menganggap pikiran kita paling benar dalam memandang jendela fenomena. Maka, ya begitulah jadinya kita berdua.
Suatu malam, kita berbincang tentang hakikat manusia, dan naluri teralaminya. Wacana tentang seksualitas tak bisa dipungkiri hadir dan memakan rakus porsi pembicaraan kita.
"Hubungan seks tidak seharusnya dibatasi oleh pernikahan," ketikmu,
"Yah, tapi tetap saja aku tidak ingin sakit kelamin karena terlalu banyak berhubungan seks dengan sembarang orang," balasku.
"Itulah gunanya kondom," sanggahmu.
"Ah, aku masih butuh esensi," bantahku.
Jendela messenger kita berbalas cepat, ritme saling kebut, dan tak mau kalah.
"Memangnya seberapa sering kamu berhubungan seks?" tanyaku, penasaran.
"Sesering yang aku inginkan, sebisa yang aku dapatkan," jawabmu, tak peduli.
"Hmmm..." ketikku, menggantung.
"Pandai berarti," lanjutku, lalu berakhir dengan emoticon "Ha ha ha ha ha :))"
"Try me," ujarmu, menantang.
Aku diam sesaat, waktu itu. Dasar orang gila.
"Ternyata aku tidak menyesal," ujarku. Dalam kegelapan aku masih merasakan rengkuhanmu, yang kokoh.
[15/08/2010]
Barusan saya melihat sederet tulisan mentah yang tersimpan dalam kategori "Draft" dan mendapati satu cerpen yang belum selesai ini. Saya sudah lupa latar dan momen yang menginspirasi cerita ini, dan belum ada keinginan untuk melanjutkannya. Tapi merasa sayang dibuang, dan masih sangat bisa dilanjutkan, jadi saya memutuskan untuk mengubah statusnya dari "Draft" menjadi "Published". Maksudnya supaya postingan ini berada di paling atas tampilan blog dan bikin saya teringat kalau "The story is unfinished and, well, I should finish it!" [Makassar, 11/09/2014]
Comments
Post a Comment