Sangkut
Foto: Daniele Riggi / Unsplash |
Kamini
Ada yang bilang kalau hanya butuh waktu singkat untuk mengetahui apakah jiwa kita bertalian dengan jiwa orang lain. Melalui kontak mata, itu semua bisa terjawab. Dua pasang mata kini tengah beradu tanpa pretensi, dan saat itulah aku tersadar.
Matanya besar dan gelap. Namun ini bukan soal apakah matanya indah atau tidak. Aku hendak memberitahu apa yang aku temukan dari dua bola mata itu. Jurang. Ya, aku menemukan jurang yang begitu curam, dalam, dan membuatku terperenyak; aku jatuh bebas ke dalamnya! Gelap… gelap… menarikku begitu kuat, membuatku tak berdaya, hingga aku sadar ada yang mencelus di dalam diriku.
Sekujur tubuhku bergidik. Perasaan ini baru. Dan biasanya, sesuatu yang baru akan terus mengejar ke mana pun kamu berpindah, bergerak, hingga kita tahu rupa asli beserta namanya. Apa ini?
Matanya besar dan gelap. Namun ini bukan soal apakah matanya indah atau tidak. Aku hendak memberitahu apa yang aku temukan dari dua bola mata itu. Jurang. Ya, aku menemukan jurang yang begitu curam, dalam, dan membuatku terperenyak; aku jatuh bebas ke dalamnya! Gelap… gelap… menarikku begitu kuat, membuatku tak berdaya, hingga aku sadar ada yang mencelus di dalam diriku.
Sekujur tubuhku bergidik. Perasaan ini baru. Dan biasanya, sesuatu yang baru akan terus mengejar ke mana pun kamu berpindah, bergerak, hingga kita tahu rupa asli beserta namanya. Apa ini?
14 Mei 2017
Kama
Matanya besar dan gelap. Mungkin tidak sebesar mataku, tapi bulatnya begitu teduh oleh sebaris bulu mata lentik yang rindang membingkai matanya. Ia berjaga-jaga, gerakan kelopak matanya penuh awas. Meski begitu, bola mata hitamnya berbinar dan galak menyuarkan sesuatu. Gairah. Gairah yang bergulung-gulung hendak melumatku.
Perempuan ini sedang bermain dalam sandiwaranya sendiri. Sandiwaranya liar. Ya, itu kata yang tepat menggambarkan sorot matanya. Liar. Bila berwarna, pasti kentara dan kontras. Bila berbau, pasti nyelekit, dan bila itu musik, bunyinya pasti menghentak dalam tempo yang cepat. Tidak ada yang kalem, tidak ada yang setengah-setengah, tidak ada yang sayup-sayup.
Ia sedang berseru lantang kepadaku. Ia sedang menantangku untuk entah apa.
Beradu tatap dengannya pelan-pelan memantik sesuatu dalam diriku. Tiba-tiba saja seperti ada yang terbakar di dadaku. Aku kesulitan mengatur napas, pikiranku tergegap-gegap—aku kehilangan kontrol atas interiorku. Sialan!
Sekujur tubuhku bergidik. Syok macam begini umumnya berbuntut dan menuntut. Aku ingin tahu lebih dalam tentang interiornya. Aku ingin menjilati sorot mata buas itu, sekaligus menyelami sandiwara liarnya, membuktikan padanya kalau aku bukan sembarang lawan. Aku harus bertemu dia lagi.
Matanya besar dan gelap. Mungkin tidak sebesar mataku, tapi bulatnya begitu teduh oleh sebaris bulu mata lentik yang rindang membingkai matanya. Ia berjaga-jaga, gerakan kelopak matanya penuh awas. Meski begitu, bola mata hitamnya berbinar dan galak menyuarkan sesuatu. Gairah. Gairah yang bergulung-gulung hendak melumatku.
Perempuan ini sedang bermain dalam sandiwaranya sendiri. Sandiwaranya liar. Ya, itu kata yang tepat menggambarkan sorot matanya. Liar. Bila berwarna, pasti kentara dan kontras. Bila berbau, pasti nyelekit, dan bila itu musik, bunyinya pasti menghentak dalam tempo yang cepat. Tidak ada yang kalem, tidak ada yang setengah-setengah, tidak ada yang sayup-sayup.
Ia sedang berseru lantang kepadaku. Ia sedang menantangku untuk entah apa.
Beradu tatap dengannya pelan-pelan memantik sesuatu dalam diriku. Tiba-tiba saja seperti ada yang terbakar di dadaku. Aku kesulitan mengatur napas, pikiranku tergegap-gegap—aku kehilangan kontrol atas interiorku. Sialan!
Sekujur tubuhku bergidik. Syok macam begini umumnya berbuntut dan menuntut. Aku ingin tahu lebih dalam tentang interiornya. Aku ingin menjilati sorot mata buas itu, sekaligus menyelami sandiwara liarnya, membuktikan padanya kalau aku bukan sembarang lawan. Aku harus bertemu dia lagi.
20 Mei 2018
*sebuah fragmen lanjutan dari "Penasaran"
Comments
Post a Comment