Aku dan Tuanku
Aku adalah wujud eksistensi tuanku. Biasanya mereka menganggapku biasa saja, ya, wajar mengendap dan menimpa masing-masing dari mereka. Biasanya pula mereka mampu menerka kapan aku akan hinggap, lalu memaksa mereka untuk sadar bahwa ada yang terjadi secara fisik.
Tapi, untuk kali ini, tuanku terlalu terpaksa menerima aku muncul. Aku tidak bermaksud menghantuinya begitu sering, tidak betah juga aku melihatnya seperti setengah mayat yang susah bernapas. Maaf, tuanku, andai kau bisa mengatasi segalanya, aku mungkin tak akan hinggap. Lagipula, aku pun bukan pilihan yang terakhir untuk kau pinta pertolongan. Aku tak punya peran protagonis dalam hidupmu, tuanku.
Aku adalah wujud eksistensi tuanku, yang semakin kini semakin sering merayakan selebrasi atas siksaan batin manusia. Sang bapak tua pernah berujar pada tuanku, "Meditasi dan relaksasi adalah yang harus kau lakukan,"
Mungkin ia benar tuanku, karena buyutku pun mengendap dalam diri bapak tua itu, bapakmu.
Kadang aku lelah, karena dengan satu jentikan kecil, aku langsung muncul menjadi penguasa tuanku. Kau sentuh dia secara kejutan, kau buat ia sontak tertawa senang (terlampau senang), kau buat ia tergesa bergerak, dan kau buat ia memendam luapan emosi, maka aku secara otomatis akan mengumpulkan cairan merah pekat itu ke seluruh sel pembuluh darah di otaknya.
Aku jarang mampir ke pangkuan tuanku kala ia lelah. Aku tak terkalahkan oleh waktu yang habis dengan tidur di peraduan. Aku tak terkalahkan oleh segala obat syaraf yang telah dikonsumsinya. Aku tak mampu menahan diriku keluar untuk menggerogotinya.
Kau buat ia menangis, maka kau membuatku semakin kuat.
Aku tak terkalahkan oleh apapun, selain bahagia.
Vertigo namaku, dan ia, tuanku, yang menghabiskan bermalam-malam hanya dengan megap dada karena aku menyumbat udaranya untuk bernafas.
Aku tak pernah ingin menyakiti tuanku, tapi takdirku adalah sebagai penyakit, yang harus menggerogoti dan dilawan oleh manusia.
Tapi, untuk kali ini, tuanku terlalu terpaksa menerima aku muncul. Aku tidak bermaksud menghantuinya begitu sering, tidak betah juga aku melihatnya seperti setengah mayat yang susah bernapas. Maaf, tuanku, andai kau bisa mengatasi segalanya, aku mungkin tak akan hinggap. Lagipula, aku pun bukan pilihan yang terakhir untuk kau pinta pertolongan. Aku tak punya peran protagonis dalam hidupmu, tuanku.
Aku adalah wujud eksistensi tuanku, yang semakin kini semakin sering merayakan selebrasi atas siksaan batin manusia. Sang bapak tua pernah berujar pada tuanku, "Meditasi dan relaksasi adalah yang harus kau lakukan,"
Mungkin ia benar tuanku, karena buyutku pun mengendap dalam diri bapak tua itu, bapakmu.
Kadang aku lelah, karena dengan satu jentikan kecil, aku langsung muncul menjadi penguasa tuanku. Kau sentuh dia secara kejutan, kau buat ia sontak tertawa senang (terlampau senang), kau buat ia tergesa bergerak, dan kau buat ia memendam luapan emosi, maka aku secara otomatis akan mengumpulkan cairan merah pekat itu ke seluruh sel pembuluh darah di otaknya.
Aku jarang mampir ke pangkuan tuanku kala ia lelah. Aku tak terkalahkan oleh waktu yang habis dengan tidur di peraduan. Aku tak terkalahkan oleh segala obat syaraf yang telah dikonsumsinya. Aku tak mampu menahan diriku keluar untuk menggerogotinya.
Kau buat ia menangis, maka kau membuatku semakin kuat.
Aku tak terkalahkan oleh apapun, selain bahagia.
Vertigo namaku, dan ia, tuanku, yang menghabiskan bermalam-malam hanya dengan megap dada karena aku menyumbat udaranya untuk bernafas.
Aku tak pernah ingin menyakiti tuanku, tapi takdirku adalah sebagai penyakit, yang harus menggerogoti dan dilawan oleh manusia.
Yogyakarta, 03 Mei 2010
baru mau nebak, ternyata di akhir udah ada jawabannya.
ReplyDeletetapi jawabannya salah sih, gw kira : PMS :p
hahahaa, pms ga ada apa2nya ama vertigo gw yg mulai menghambat segala hal :(
ReplyDeleteserius? untung gw belum pernah merasakan yang lebih menyebalkan daripada pingsan akibat PMS :|
ReplyDelete