Pintu Keluar

Adakah pintu keluar dari kepuasan hidup? Pertanyaan itu mungkin kerap menghantui pertarungan batin seluruh manusia. Aku pun demikian, cenderung bertanya pada alam pikiranku sendiri, adakah kesempatan bagi satu individu merasakan titik klimaks dari kepuasan?

Salah seorang sahabat pernah berkata, “Hubungan seks adalah puncak dari segalanya,”
Salah seorang rekan berdiskusi menanggapi, “Ketika kau menguasai segala ilmu di bumi,”
Salah seorang kawan dekat pernah berujar, “Mungkin ketika waktunya kita disematkan menjadi seorang sarjana,”

Kucerna segala ujaran yang pernah nyangkut di alam pikiranku. Kubawa seluruh ujaran orang-orang yang pernah singgah di hidupku dan semua terpaut menjadi bahanku meninabobokan diri di kala malam aku sendiri dan tak tahu siapa untuk berdiskusi serta apa yang mampu melenakan alam imajiku menuju rasa kantuk. Aku tak pernah ingin menyuruh otakku berhenti berpikir, kata mereka, masa muda adalah gejolak otak dan hatimu di seluruh masa hidupmu sebagai manusia kala ini.
Benarkah? Berarti mereka menganggap masa muda adalah klimaks dari seluruh perjalanan hidup?

*

“Hidup adalah waktu di mana kita mencari kepuasan, bukankah begitu?”ujar Reina. Itu bukan sebuah pertanyaan, karena konteks siang itu adalah sebuah obrolan yang memaksa kami saling bersikukuh dengan pikiran masing-masing. Bakso berkuah pedas ditambah siang yang begitu terik membuat aku dan Reina semakin gahar untuk disetujui oleh masing-masing.

“Jika memang kepuasan belaka yang kau cari, setelah kau puas akan sesuatu, apa lagi yang menahanmu untuk hidup?” tanyaku. 

Ia mengelap keringat yang mengucur dari dahinya dengan tissue, “Masalahnya, apakah iya kita pernah puas dalam hidup?” tantangnya lagi.

“Kau puas tidak berhasil menjadi anak berprestasi di mata orangtuamu?” aku kembali menantangnya. Bagiku, Reina adalah sosok sahabat yang begitu membanggakan, dan aku yakin sekali kedua orangtuanya berpendapat sama. Bagaimana tidak? Sejak duduk di bangku sekolah, ia tak pernah absen dari peringkat satu, baik di kelas maupun di sekolah. Ketika kini menjabat sebagai mahasiswi, ia tak pernah absen sebagai juara debat Bahasa Inggris dan tak lupa sekian organisasi yang telah dikepalainya. Semua itu membuat ia menjadi sosok yang begitu dikenal di kampus.

“Baiklah, aku puas. Tapi apa kau pikir setelah itu aku tidak mencari kepuasan lain?” debatnya.
“Ya, tapi setidaknya kau sudah merasakan satu macam kepuasan bukan?” sergahku tak mau kalah.
“Iya, aku mengerti,” jawabnya pelan. “Tapi kita kan sedang berbicara tentang rasa kepuasan dalam hidup. Aku belum berhenti merasa puas sekaligus tidak puas!” ujarnya lagi.
“Tapi itu kan berarti, kau sempat merasakan rasa puas dalam hidupmu, begitu?” aku tanya lagi dia.
Ia terdiam, mengangguk, “Ya, aku sempat mencicipi beberapa macam kepuasan,” jawabnya.
“Nah! Jika benar itu kepuasan, maka aku ingin tahu bagaimana rasanya merasakan puas dari kepuasan?” tanyaku lagi. Aku tidak percaya bahwa manusia sempat merasa puas dalam hidupnya.
“Manusia tidak akan pernah puas telah mencapai kepuasan dalam satu hal, sayang,” ujarnya.
“Berarti benar bahwa manusia itu rakus,” ujarku sambil menyeruput kuah baksoku.
“Bukan berarti rakus. Tapi memang begitu hukumnya!” ia tak tahan dengan keras kepalaku. Mungkin ia juga tak tahan dengan perbincangan yang arahnya sudah kami tahu kemana, tidak kemana-mana.

*

Konteks manusia dan kepuasannya dalam hidup tidak pernah aku lepaskan ketika mendapatkan sesuatu. Tak jarang aku begitu menikmati waktu di saat aku mendapatkan sesuatu atau mencapai satu hal, lalu setelah malam menjelang, hal-hal itu akan mulai menghantuiku. Apakah kini aku sedang puas? Apakah memang ini yang aku cari dari kemarin-kemarin? Apakah ini semua akan berujung di esok? Sejuta pertanyaan lainnya membuat otakku sungguh tak bisa berhenti bertanya dan berpikir mencari jawaban sendiri.

Ketika mereka bilang cinta, aku kembali bertanya. Apakah benar cinta membuat manusia puas? Mungkin ya, karena pencapaian yang didorong oleh cinta tak bisa dideskripsikan begitu mudahnya dengan kata-kata. Rasa mungkin mengantarkan manusia pada titik tertinggi ia mampu memahami hakikat sebagai manusia, bahwa ada hal-hal di luar batas yang hanya ia mampu rasakan, namun tak mampu paparkan. Rasa mungkin satu wujud konkrit yang abstrak bentuknya, yang memungkinkan siapa saja tak mengerti sekaligus mengerti banyak hal.

“Dalam cinta, bukankah kau merasa damai, sayang?” tanyamu. Kamu, yang telah masuk ke dalam hidupku bertahun-tahun lamanya. Perdebatan mengenai kepuasan kerap menghantuimu, tak jarang kau jengkel dan kesal karena menurutmu, hal itu tak penting untuk didebatkan. Resistensiku akan pemahaman kepuasan dari orang lain membuatmu begitu bingung, karena aku sekaligus mempertanyakannya kepada orang lain pula.

“Tapi, apakah damai menghasilkan kepuasan?” tanyaku. Lenganmu yang kokoh memapah kepalaku bersandar dengan suka. Aku nyaman di dekatmu, aku damai berada di rengkuhan lengan dan tubuhmu.
Malam itu kita berdiam diri di satu bukit yang terpencil dari pusat kota. Bukan bukit pula aku ingin menyebutnya, bagiku ini adalah gunung kota. Mengapa? Karena letaknya yang dekat dengan pusat kota namun terlalu tinggi untuk disebut bukit.

Percikan bara dari api unggun kreasi kamu menjadi latar suara di malam hening, selain berisik tonggeret dan suara angin. Selebihnya, hening dan tenang.

“Apa yang kamu rasakan malam ini?” tanyamu.

“Damai, senang, tenang, bahagia,” jawabku.

“Mengapa?” kamu lanjut bertanya.

Aku sempat diam beberapa detik, bingung merangkai kata.
“Karena aku menginginkan suasana ini,” ujarku akhirnya. Kamu diam, namun dari aura yang kurasakan, bisa kudapati kamu sedang tersenyum sebelum menghisap batang rokokmu.
“Kepuasan adalah ketika kamu senang telah mendapatkan sesuatu yang kamu inginkan,” ujarmu.
“Namun rasa ini tidak sebesar itu,” sergahku.
“Puas tidak pernah mewakili besar atau kecilnya perihal yang dibicarakan,” ujarmu tenang.

Aku diam, mencerna katamu. Jika benar aku puas malam ini, akankah rasa ini bertahan hingga esok? Akankah rasa puasku malam ini tidak akan dikalahkan oleh kepuasan lain di esok hari? Akankah rasa malam ini bisa dibilang puas ketika esok aku berkata aku puas mendapatkan sesuatu? Tidak adil rasanya jika manusia berkata puas atas segala peristiwa yang ia dapatkan hari itu. Lalu, apa esensinya puas?

*

Mereka adalah Gendhis dan Nareswari. Usia keduanya terpaut empat tahun, dan mereka perempuan. Gendhis adalah gadis yang manis, perawakannya lembut, sesuai dengan namanya, ia sering menjadi daya tarik di lingkungan manapun ia bergaul. Perangainya menggemaskan, membuat orang-orang di sekitarnya maupun sekitarku, merasa ingin menjadi orang terdekat yang paling mengetahui ia. Aku begitu senang, ia memiliki kemampuan menghibur orang lain dan berbagi sukacita dengan mereka semua. Enyahkan segala duka ketika kalian berada dekat Gendhis.

Ialah Nareswari, yang tumbuh dengan matang dan memahami setiap fase yang terdiri dalam dirinya. Walaupun sedikit keras kepala, ia memiliki ketetapan hati yang membuatnya disegani oleh orang lain. Aku tahu betul ia memiliki peran yang utama di lingkungan pergaulannya, dalam aspek apapun itu. Sesuai dengan arti namanya, ia selalu mendapatkan tempat yang terutama dimanapun ia berpaut. Sifatnya yang tenang namun tegas membuatku yakin bahwa suatu hari nanti ia akan menjadi seorang ibu yang bijak.

Aku tidak pernah merasa cacat melihat mereka berdua, ada satu rasa yang tak mampu dan tak akan rela kuberikan kepada orang lain atas mereka berdua. Seolah aku telah berhasil menemukan sesuatu, seolah aku telah berhasil mematri satu kebaikan di dunia ini. Begitu angkuh aku untuk berkata demikian, namun hanya itulah satu-satunya kalimat yang sesuai untuk menggambarkan rasaku.

Mereka adalah cerminan atas segenap rasa cinta yang pernah aku alami dalam hidup ini, bahwa cinta adalah rasa yang tak terkira hikmahnya. Mereka adalah hikmah dalam hidupku, untuk hidupku. Hingga detik ini, tak mampu aku meminta hal lain di dunia ini yang mampu menggantikan rasaku menyaksikan mereka menjadi dua wanita yang mendapat tempat masing-masing dalam hidupnya.

“Aku seperti melihat kombinasi baik dan burukmu dalam mereka,” ujarmu sambil mengelus anak rambutku. Aku tersenyum, memegang erat tanganmu, memaknai setiap energi yang mengalir dari dan ke tubuh kita berdua. Aku menghayati tiap sepersekian detik tatapanmu yang telah kunikmati tiap hari.

“Masih ingatkah kamu sayang, tentang rasa puas yang kerap aku debatkan dahulu?” tanyaku pelan. Kamu tersenyum penuh kasih, mengangguk pelan dan kulihat binar mata, persis seperti matamu dua puluh lima tahun yang lalu. Aku melihatmu muda, aku melihatmu menjadi lelaki yang kuperjuangkan cintanya atas dasar gejolak muda yang bagiku paling tahu mengenai puncak rasa cinta.

“Tidak ada satupun yang pernah menjawabnya dengan benar,” ujarku tersenyum, lirih, dan rindu. Sambil mengenang segala perkataan yang pernah hinggap dalam benakku, sambil mengenang segala pertanyaan dan keresahan akan rasa puas, aku tersenyum getir. Kamu tampak bingung,

“Ingatkah pertanyaanku kala itu sayang?” tanyaku. Kamu mengangguk, namun ragu. “Kau bertanya tentang bagaimana puasnya merasakan kepuasan...” benar kau ragu, “Kau bertanya tentang bagaimana rasanya menjadi puas dalam hidup ini,”

Aku tersenyum lalu menggeleng.
“Sebelum kau tahu apa pertanyaanku, biarkan aku berbicara ini,” ujarku.
“Gendhis dan Nareswari, dua buah cinta kita, adalah penghantarku menjawab pertanyaan di masa mudaku dulu. Aku tak ingin lagi mencari itu, karena aku puas telah mengandung dan melahirkan mereka. Aku puas telah mendidik mereka hingga kini mereka adalah dua wanita termanis dan terutama dalam hidup sekian banyak orang,” paparku.

“Aku dulu tak tahu rasanya puas, karena aku belum punya apa-apa. Aku dulu tak tahu rasanya puas karena bagiku lara dan sakit masih akan terus berlanjut dalam hidupku. Aku dulu tak tahu rasanya puas yang sebenar-benarnya karena aku belum memberi apapun ke dunia ini. Aku dulu tak menganggap cinta sebagai kepuasan karena aku belum melihat hasil cinta terbesarku menjadi bagaimana di dunia ini. Itu semua telah aku dapatkan sayang, dan kini aku telah menemukan jawaban atas pertanyaanku sendiri,” ujarku panjang lebar, tenang dan sama sekali tak terpotong.

“Satu malam di gunung kota, kau bertanya apa yang aku rasakan kala itu. Saat ini, aku melebihi damai yang pernah aku ucap padamu waktu itu,” aku mengelus pipimu yang keriput.
“Melihat mereka tumbuh, aku kembali mengingat hidupku. Ketika dulu sakit, aku lihatnya kini sebagai pengalaman yang tak dijalani oleh orang lain. Ketika dulu senang, aku lihatnya kini sebagai bahagia yang tak pernah dialami orang lain,”
“Ini adalah jalan keluarku, ini adalah kepuasanku sayang, aku berhasil menemukan pintu keluar,” ujarku. Kamu masih meraba-raba hasil ujaranku. Perlahan namun pasti, aku masih merasakan kamu mengelus dahiku hingga aku lelah dan tertidur pun. Aku tak takut kau penasaran dan tak menemukan yang kumaksud, karena telah kusiapkan jauh sebelum ini, di tempat yang akan segera kau raih.

Karena aku telah lelap dalam tidur yang mengantarku ke jalan keluar. Aku tak kembali lagi, walau dalam kebebasanku aku melihatmu dan mereka, Gendhis dan Nareswari terus berkabung sebulan lamanya dalam bebatan hitam yang mengundang kelam. Namun, inilah kita, yang akan hidup dan mati sebagai individu. Aku tak bisa menunggu kalian mengerti, aku tak bisa berdiam tanpa makna kala telah kudapat jawabanku dalam hidup. Namun, kalian, anak gadisku, telah mengingatkan aku, betapa aku berjuang untuk bisa membuat kalian hidup di dunia ini. Kalian telah mengingatkan aku akan perjalanan hidup yang begitu berliku, karena jika saja jalan hidupku lurus terkendali, aku tak yakin buah cintaku akan menjadi kalian. Suatu hari nanti, kalian akan mengerti makna kelahiran kalian adalah yang terindah. Cinta yang menghasilkan kalian adalah cinta tertinggi dan terbebas yang pernah ada, yang pernah mampu membuatku damai mengenai kepuasan ini, yang pernah mampu membuatku keluar dari segala keresahan hidup sebagai manusia. Mereka telah membuat aku, selesai.

**


Aku buka buku harian yang tergeletak di paling atas meja kerjanya semasa hidup. Usang, namun masih terawat dan terbaca segala yang ia tulis. Ia berbicara mengenai pintu keluar, namun aku tak percaya seumur hidupku bersanding dengannya, aku tak mengerti. Ia adalah belahan jiwaku, yang terutama dan selamanya, haruskah aku memelihara rasa ingin tahu ini selamanya hingga ajalku menyusulnya? Kubuka lembaran buku harian itu, di atas lembaran berwarna krem terdapat satu tulisan tangannya, berukuran lebih besar ketimbang yang lain, yang menurutku bisa menjawab maksudnya sebagai ‘jalan keluar’ dan pertanyaan yang tak pernah tepat dijawab orang semasa hidupnya,

....

Aku terduduk, diam. Entah mengapa, sontak aku menengadah seolah ia ada di langit-langit kamar ini. Senyum mengembang dari bibirku, aku hanya diam. Berselang beberapa menit, Gendhis dan Nareswari datang untuk membereskan barang-barang peninggalan ibunya. Kuamati mereka, kuanalisis mereka, dan aku berterima kasih kepada Tuhan. Mereka adalah wujud penyempurnaan hidup ibu mereka, yang merasakan segala pertanyaannya usai, kala mereka telah matang. Mereka adalah wujud yang lebih sempurna dari istriku, yang mengantar kesempurnaan hidup baginya, yang telah mengijinkannya merasa puas sekaligus mengerti bahwa ini adalah pintu keluar baginya.

Kubaca lagi tulisan tangan yang kurindukan itu, sambil mengusapnya,

‘Adakah pintu keluar dari kepuasan hidup?’

“Ibu kalian adalah orang paling beruntung dalam dunia ini,” ujarku pada Gendhis dan Nareswari, sambil tersenyum. Aku melepas rasa duka yang kemarin masih menggerogotiku karena kepergiannya, berganti syukur.







Bandung, 14 Mei 2010

Comments

  1. kan, udah baca 9 dari nadira belum? ada kemiripan. hehehe, lo harus baca kans bukunya. laila s. chudori. bagus loh, dan ini bisa dibilang semacam hidden bab-nya, karena di situ kematian sang ibu tetep jadi misteri sampe bukunya tamat :D

    ReplyDelete
  2. belom nel... hehehe, oya mirip? nanti yah kalo gw uda lulus (nyambungnya dimana) hehehe

    ReplyDelete
  3. ini ky omongan nykp gw kl lg "ngoceh". dy slalu blg "mama tuh udh ngerasain semua, disayang org, disakitin org, ada di puncak, ada di jurang, semua udh mama lalui. Mama udh puas sama hidup, ga ada lg yg mama kejar." dan entah kenapa gw selalu merinding tiap denger dy nge-rewind omongannya ini..

    ReplyDelete
  4. kania shoutboxnya manaaa?? hehe gantian..

    itu tombol polow di gw udah ada, lupa mulu mau dibikin..gw kalo ngefollow soalnya langsung dari dashboard sih biasanya..

    kania produktif ya nulisnya, bikin buku dong.. :D

    ReplyDelete
  5. @Detta: hii? produktif? malah lagi engga det skr, matakna nih, pengen digiatkan lagi. yawloh amin dah gw bikin buku. hahaa

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tentang Sebuah Hubungan

[Ulasan Buku] Manuscript Found in Accra

Ulasan Musik: London Grammar