Perihal Menjadi Sarjana Hari Ini


Menyelesaikan kuliah dan menyandang gelar Sarjana adalah tujuan akhir yang pasti ada di benak mahasiswa. Ketika masih berada di tingkat awal perkuliahan, rasanya masuk akal untung merancang timeline mengenai berapa lama lagi tahun yang tersisa untuk mengejar gelar tersebut. Sayangnya, hal ini berbanding terbalik dengan kenyataan rasa yang dihadapi ketika kamu menjadi mahasiswa tingkat akhir.
 
Saya ingat ketika masih berada di masa awal-tengah perkuliahan, berarti sekitar 2006-2008. Sudah terancang dalam otak saya kalau saya pasti mampu menyelesaikan kuliah tepat waktu, yaitu empat setengah tahun, yang sebenarnya adalah tergolong cepat untuk anak-anak jurusan Jurnalistik Fikom Unpad. Yah, begitulah memang manusia, idealis dalam imajinasi dan rencana, namun penuh tabrakan dan benturan dalam praktik. Sayangnya, saya termasuk ke dalam golongan manusia yang sulit mengelak pengaruh faktor eksternal yang memengaruhi jalannya rencana berubah ke sana ke mari. Saya termasuk orang yang sulit untuk berdisiplin dengan diri sendiri, entahlah, mungkin otak saya menolak untuk diatur oleh diri saya sendiri, atau bagaimana?

Akhirnya selesai juga masa perkuliahan saya, secara pasti saya menjalani kuliah selama lima tahun empat bulan. Termasuk lambat sepertinya untuk takaran kuliah ‘pada umumnya’. Saya juga tidak meraih gelar cum laude dan mencapai IPK di atas 3,5, bukan karena saya bodoh, tapi memang ya itu tadi, saya kurang bisa berdisiplin dengan diri sendiri sehingga faktor ini itu menjadi pengabsahan yang paling pas untuk dalih ‘mengapa kuliah lama’. Seringkali saya dan teman-teman jurusan menganggap bahwa bobot kuliah di jurusan Jurnalistik turut mengambil andil terhadap lama kuliah yang kami jalani, dan sedikit pengaruh dari sejarah bahwa mahasiswa jurusan ini memang ‘sewajarnya’ kuliah lebih dari empat tahun. 


Rabu lalu saya dilantik secara sah menjadi seorang Sarjana yang disimbolkan dengan predikat ‘wisuda’, mengenakan toga berbahan spanduk dan menerima ijazah palsu serta selebrasi semestinya ala wisuda. Mengalami wisuda rasanya berbeda dengan ketika saya sah mendapat gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada Desember 2010. Mengapa? Beginilah kira-kira, ketika saya selesai sidang kesarjanaan, perasaan saya masih santai lagi-lagi dengan alasan “Belum wisuda, kok.” Lalu setelah wisuda, semua perasaan berbeban lanjut itu mulai menghantui. Kapan saya dapat kerja? Apa yang ingin saya lakukan untuk hidup saya? Atau, langkah berikutnya/rencana ke depan apa? Pertanyaan-pertanyaan yang rasanya bisa dengan mudah saya jawab ketika saya berada di masa perkuliahan. Jika saya ditanya pada waktu itu, saya pasti bisa menjawab satu persatu rencana hidup yang diinginkan. Tapi, kini? Semua kembali pada segala pertimbangan yang menghadirkan kata ‘tapi’ sehingga tidak ada yang terasa pasti.


Perihal menjadi seorang sarjana, secara sah saya benar-benar keluar dari masa perkuliahan. Hal ini berarti segalanya: lepas dari rutinitas kampus, lepas dari wajah-wajah yang akrab selama lima tahun ini di mana kami biasanya disatukan oleh institusi pendidikan yang sama untuk beraktivitas bersama, dan dibebaskan dalam artian kini kami (saya) berdiri di atas kaki saya sendiri untuk memutuskan apa yang akan saya lakukan dan bagaimana saya menyambut esok.
Untuk hari ini, perihal menjadi seorang sarjana bagi saya adalah menyenangkan, menantang, tapi masih didominasi oleh keresahan dan ketidakrelaan.***


Bandung, 2 Maret 2011

Comments

  1. selamat mbak sarjana, selamat senang2, selamat pula (nanti) ngerasain kangen masa2 kuliah :P

    ReplyDelete
  2. I already am missing my college life Din (our college life), every day. :) huhuuhuhuhuuuu....thank you dendaaaaaa

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tentang Sebuah Hubungan

Ulasan Musik: London Grammar

[Ulasan Buku] Manuscript Found in Accra