Wounded Heart
Suhu Bandung malam ini terpantau 21° Celcius, demikian yang terbaca di halaman utama mikro blog populer ini. Sejak sore hujan mengguyur seluruh wilayah Bandung secara bergantian, tadi siang deras di wilayah Barat, kini Bandung Timur sudah kuyup. Tetes-tetes air hujan memenuhi kaca depan mobilku, membuat pandangan buram, hanya tampak buliran bening berwarna kuning akibat diterpa biasan lampu jalan dan kendaraan yang lalu lalang.
Suara “cetak cetuk” lampu sen semakin mengganggu hingga akhirnya kuhentikan saja. Udara dalam mobil begitu dingin menusuk hingga kutarik lengan jaket yang tadinya tergulung hingga siku sampai menutupi pergelangan tanganku. Hufff.... Kuhela hembus napas yang berat, terasa tak tentu, serasa mengembuni paru-paruku seperti embun hasil pertarungan suhu mulai melapisi kaca-kaca mobilku. Diam dalam kesendirian diriku di balik kemudi, latar suara Morrissey yang sengau melantunkan ‘Let Me Kiss You’ menguasai ruang tertutup yang sempit ini.
Wounded heart, when will you set me free? Batinku seketika, pandanganku lari ke sana ke mari mengikuti arah kendaraan bermotor yang lewat. Kuhentikan mobilku di pinggir jalan yang ramai, sengaja, untuk memupuk rasa pilu yang sudah lama bersembunyi di balik perjalanan tak tentu. Kita pasti kuat, tenang saja, pasti kuat. Kata-kata itu sudah lama kudiskusikan dengan diriku sendiri, sejak berbulan-bulan silam. Tenang dan tegar telah aku ukir dengan sewajarnya, karena aku yakin sakit hati tidak akan datang dua kali. Baiklah, mungkin datang dua kali atau lebih, tapi sakit hati yang dalam rasanya tidak boleh datang dua kali. Apakah ini sakit hati? Memangnya aku disakiti? Rasanya terbalik, aku yang menyakiti. Atau apakah aku juga menjadi korban di sini? Entah, yang jelas hati ini terasa ompong. Mungkin aku tidak tersakiti oleh perbuatan manusia, tapi rasanya keadaan ini menggores luka tersendiri.
Tidak, tidak! Bukan seperti ini rasanya. Kembali aku mencoba mengingat seperti apa sakit hati itu, tampaknya tidak sama. Aku hanya tersenyum dalam pilu. Ya, ada kebahagiaan dan kelegaan tersendiri dalam sakit ini. Kebahagiaan karena sadar bahwa semuanya adalah bagian yang terlalu besar untuk dianggap biasa, kelegaan karena jelas terlihat bahwa yang telah lewat adalah tidak bohong. Semua itu nyata dan dalam, bahkan terlalu dalam dan erat mengikat tali antar simpul yang menghubungkan satu persatu sudut dalam hidupku.
Dengung kendaraan melesat kencang dan sedetik kemudian menghilang, fade out, membawa nama kamu yang sedetik menggetarkan degup jantung, dan sedetik kemudian harus kuhilangkan. Lepaskan segala simpul yang pernah menopang, namun perih hatiku malam ini belum usai.***
Bandung, 07/02, 02/03 2011
Comments
Post a Comment