Tentang Pertemanan

Belakangan ini otak saya sering menghubung-hubungkan beberapa mitos yang sering saya dengar, mengenai menjadi dewasa. Kalimat-kalimat seperti, “We’ll always end up alone” atau “Pada akhirnya hanya akan ada beberapa teman yang tersisa di sisimu, dari sanalah kau tahu siapa yang benar-benar seorang teman,” dan lainnya. Mungkin di antara kalian juga ada yang sering menulis, berpikir, mendengar, mengalami, mengamini, dan bergelut dengannya. Kebanyakan dari mitos-mitos melalui kata mutiara/peribahasa/kata bijak ini saya dengar dalam fase—yang kata mereka fase ‘menjadi dewasa’—tepatnya masa-masa sekarang. Masa di mana tidak ada lagi ikatan resmi yang mengondisikan saya dan teman-teman saya bertemu secara rutin seperti pada masa sekolah hingga kuliah. 

Jujur saja, isu satu ini merupakan titik yang berat. Ketika angkatan saya mulai memasuki masa kelulusan dan satu persatu pergi, seringkali saya dan teman-teman saya itu mengekspresikan kerinduan satu sama lain di jejaring sosial, tentang betapa rindunya kami terhadap masa kuliah, masa-masa yang pernah dilalui bersama dalam kurun waktu nyaris lima tahun. Lalu, masing-masing mulai melangkah dengan alasan untuk menuju kehidupan yang nyata dan bahwa ini adalah salah satu tahap yang semua orang alami kala mereka beranjak dewasa.


Ironis mendapati keadaan seperti ini, karena saya tidak percaya bahwa pertemanan memiliki batasan waktu dan tempat. Di satu sisi, hubungan pertemanan memang merupakan ujian untuk menunjukkan siapa saja yang berhasil melaluinya hingga hubungan itu tetap terjaga. Bukan teman dalam artian saling sapa satu sama lain di media maya seperti Twitter atau Facebook, tapi saling merasakan kehadiran tiap persona dalam keseharian masing-masing. Lagi, alasan yang paling logis adalah semua orang sudah memiliki kesibukan masing-masing, entah pekerjaan, atau pacar, atau keluarga, dan alasan-alasan khas orang dewasa lainnya.

Tiba-tiba saya membayangkan kebiasaan para orangtua ketika bercerita ke anak-anaknya, contohnya percakapan seperti ini:
Seorang papa: “Nak, kenalkan ini Om Anu. Dulu teman papa di kampus,”
Om Anu: “Wah, dulu om dengan papamu dekat sekali. Setiap hari kerjaan kami ngamen bareng di kantin kampus,”
Anak: manggut-manggut.
Papa: “Iya...dulu juga papa sama Om Anu sering banget naksir cewe yang sama”
(lalu kedua bapak itu larut dalam nostalgia tentang persahabatan mereka yang—sayangnya—tinggal memori belaka)
Contoh di atas sering sekali saya dengar, setelah saya ingat-ingat lagi hingga beberapa hari lalu saya secara spontan menulis tweet begini, “We used to be close friends.”
Satu yang saya tidak inginkan adalah memperuntukkan tweet tersebut ke salah satu dari beberapa sahabat yang saya miliki sekarang. Jangankan untuk berkumpul, lingkup satu kota saja rasanya sudah tidak bisa menjadi jaminan saya untuk bertemu dengan siapa yang saya ingin temui di hari ini, atau hari seterusnya. Apalagi teman-teman yang sudah tersebar ke berbagai tempat?

Hidup memang membawa kita semua ke arah yang tidak seragam seperti putih merah hingga putih abu, atau jas almamater yang sama lagi dan nostalgia selalu terasa lebih indah daripada mempertahankan sebuah hubungan pertemanan di masa terkini. Namun, kembali lagi pada common sense yang sudah ada, bahwa memang pada akhirnya dari sekian banyak koloni yang pernah saya dan kamu miliki, hanya akan ada beberapa yang tersisa dalam keseharian kita. Lebih menyakitkan melihat perkembangan teman dekat sendiri tanpa berpartisipasi walaupun sekadar mendengarkan ceritanya, daripada melihat mantan pacar punya gandengan baru. Tapi saya yakin, teman adalah hal yang penting bagi semua orang di dunia ini. Tanpa teman, saya tidak akan bisa menjadi seperti saya yang sekarang.

Poin terakhir yang baru saja saya tuliskan adalah alasan saya terus ingin menjaga hubungan pertemanan dengan sahabat-sahabat saya. Kontribusi mereka dalam kehidupan saya sungguh besar dan mustahil rasanya saya menjadi seperti ini jika saya tidak mengenal mereka. Dalam ilmu komunikasi, saya diajarkan mengenai keluarga yang menjadi agen sosialisasi pertama bagi seorang anak untuk dikenal oleh lingkungan sosialnya. Bagaimana anak itu nantinya berkembang dan tumbuh dipengaruhi juga oleh bagaimana keluarga anak tersebut membentuk dan terbentuk, atau dikenal dengan istilah significant others. Hal ini sungguh sangat bisa diterapkan dalam hubungan sosial seperti pertemanan. Saya berperan menjadi significant others dari teman-teman saya ketika orang lain melihat mereka. Pun sebaliknya, orang-orang akan turut menerka kepribadian saya dengan melihat teman-teman saya sebagai significant others yang bermain dalam pencitraan saya. Oleh karena itu, peran teman dalam kehidupan saya tidak mungkin hilang, sama halnya dengan kebutuhan saya akan teman. Lebih dari itu, fase pertemanan yang terakhir saya alami sungguh penting karena pada fase itulah saya benar-benar bertumbuh dan menemukan apa yang saya butuhkan untuk diri saya, istilah bekennya adalah fase pencarian jati diri. Dalam fase krusial pertama di tahap menjadi dewasa ini, ada sekian orang yang menjadi sahabat saya dan mengetahui seluk beluk saya seperti saya mengetahui seluk beluk mereka. Mereka sungguh penting dan bukan teman ‘selewat’ yang perannya minim dalam perjalanan saya hingga mencapai hari ini.

Harapan saya sederhana: saya tidak ingin mengucap “We used to be close friends” pada salah satu dari mereka ketika nanti saya beranjak lebih dewasa, menikah, punya anak, berkeluarga, dan mengenalkan mereka pada keturunan saya. Semoga...

"Each friend represents a world in us, a world possibly not born until they arrive, and it is only by this meeting that a new world is born."- Anais Nin



Bandung, 21 Maret 2011

Comments

  1. tipe temenan tiap org psti beda"; ada yg posesif nuntut ap"nya hrs dishare, ad yg ngelepas tmn"nya dg keyakinan "they'll eventually back to me cause I am me", ad jg yg tmenan manis dibibir (ini yg gw ga abis pikir :p)

    ya yg jlas terlibat dlm perjalanan hidup lah.. Hahhaa

    *maap ga berbobot :D

    ReplyDelete
  2. "ya yg jlas terlibat dlm perjalanan hidup lah.. Hahhaa"--> ini yang bikin gw ga habis pikir klo ada orang yg nganggep sepele arti teman buat orang laen.

    ReplyDelete
  3. illiad achsyarie15 April 2011 at 16:28

    nice blog kania..

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tentang Sebuah Hubungan

Ulasan Musik: London Grammar

[Ulasan Buku] Manuscript Found in Accra