Ranum (Fragmen #3)
"Kerinduan yang lambat laun menggerogotiku sebagai perempuan sempurna." (Sumber: weheartit.com) |
Ada banyak tantangan menjalani hidup sebagai perempuan. Baru kusadari kini, kedua orang tuaku mendidik anak-anak perempuannya berlandaskan kalimat itu sebagai skemanya. Bila ketiga anak gadisnya dewasa kelak, mereka harus sadar bahwa ada peran-peran yang harus dipenuhi dan agar kehidupannya sentosa, maka mereka harus mampu mengisi peran-peran tersebut. Mungkin begitu ayah dan ibuku memadukan visinya selama membesarkan kami—aku dan kedua adikku.
Waktu kecil hingga remaja, aku tak menganggapnya sebagai tantangan melainkan kodrat (mungkin, semasa itu kata yang kukenal adalah takdir, bukan kodrat). Jadilah kami bertiga bertumbuh menjadi perempuan yang sempurna dalam pekerjaan rumah tangga, unggul dalam urusan akademis, terampil tangannya, dan keibuan perangainya. Ibu telah membentuk kami menjadi perempuan yang memenuhi standar dan kebutuhan ideal seorang istri, alias calon istri idaman.
Aku menikmati segalanya. Tak kusangkal, banyak teman di luar sana yang kerap melontarkan pujian tentang betapa cakapnya aku sebagai seorang perempuan, betapa beruntungnya pria yang menjadi suamiku kelak, dan betapa mereka ingin belajar banyak dariku. Alhasil, aku pun merasa pernikahan bukanlah sesuatu yang patut ditakuti karena bekalku berlimpah.
Di saat aku berusia 25 tahun, ia meminangku setelah tiga tahun menjalin hubungan romantis yang selayaknya. Ya, selayaknya orang yang menganggap bahwa hubungan sebelum pernikahan adalah waktunya menjajaki kepribadian masing-masing sembari memperhitungkan bibit bebet bobot dari kedua belah pihak. Ia adalah sosok suami ideal, figur yang kuyakini bisa membimbing dan memimpin kehidupanku ke depannya. Aku adalah sosok istri yang ia cari, yang ia yakini dapat mengasuh keluarga tanpa cela. Sempurna. Kurang apa lagi?
Rumah tangga kami berjalan selayaknya. Ya, selayaknya gambaran bahtera rumah tangga yang selama ini dipahami dan diamini oleh masyarakat. Suamiku bekerja di perusahaan yang stabil dan memiliki karier yang mapan. Aku juga bekerja, sebagai pegawai di perusahaan swasta dengan jaminan dan pemasukan yang memadai, serta jam kerja yang tak panjang—dari pukul delapan pagi sampai lima sore.
Rutinitasku adalah bangun pukul empat pagi untuk menyiapkan sarapan, lalu bersiap beraktivitas dan pergi ke kantor pukul enam tiga puluh bersamanya. Sore hari kami pulang sendiri-sendiri karena suamiku biasanya baru bisa pulang pukul enam sore. Saat ia tiba di rumah, aku sudah ada dan menyiapkan secangkir kopi panas dan camilan untuknya, sambil menyelesaikan masak untuk makan malam.
Satu tahun berlalu. Perlahan, kami sadar kalau ada kerinduan yang merambati aku dan dia, kerinduan yang memilukan dan memalukan untuk didiskusikan, kerinduan yang lambat laun menggerogoti kepercayaan diriku sebagai perempuan sempurna. Kami tak kunjung dikarunai buah hati.
Pertama kali dalam hidupku, aku merasa disalahi oleh takdir. Kali ini perdana aku berpikir bahwa aku sedang menghadapi sebuah ujian dan tantangan sebagai perempuan. Dan ransel bekalku tak memiliki perangkat untuk mengatasinya.
....bersambung
Jakarta, 31 Juli 2016
Fragmen Ranum, lanjutan dari "Selembar Surat" dan "Ranum"
Comments
Post a Comment