Tiga Puluhan dan Masih Sendiri

Parkiran apartemen masih lengang. Kulirik arloji di tangan yang menunjukkan pukul lima sore. Orang-orang masih beredar di luar sana. Mesin mobil kumatikan lalu kugapai dua tas di jok belakang seraya membuka pintu kemudian beranjak keluar. Lampu lantai parkiran bawah tanah ini sudah dinyalakan karena meski langit tak gelap pun, tak ada sinar matahari yang masuk. Langkahku ringan menuju lift dan kutempelkan kartu penghuni ke mesin pemindai; seketika tombol bertuliskan angka 15 menyala.


*


Tak tok tak tok… Suara hak sepatuku memecah keheningan sepanjang lorong lantai 15, selain geledek di luar sana. Hujan mengguyur dari pagi dan membuat hari ini sendu. Semua orang setengah hati menjalani rutinitas dan yang dilakukan dengan sepenuh hati hanyalah menunggu waktunya pulang. Aku sempat terdiam sejenak saat memutar kunci di pintu unitku—tebersit untuk mampir ke unit Ateira. Namun kuputuskan untuk beristirahat dulu dan menghubunginya menjelang makan malam nanti.


Baru sekitar lima menit tiba di unit, layar ponsel genggamku menyala dan kulihat “Mama” muncul di sana. “Ya, Ma?” sahutku sembari merebahkan badan ke sofa dan menyalakan televisi dengan remote.


“Di mana, Dek?” tanyanya lembut.
“Baru sampai apartemen, Ma. Kenapa?”
“Oh… Jadi gini lho, Dek, mama mau minta tolong.”
“Apa itu?”
“Bisa enggak, kamu wakili mama dan papa dateng ke arisan keluarga di rumah Om Gusti hari Sabtu nanti?”
Seratus persen tidak bisa.
“Mmm, harus dateng banget?” tanyaku.
“Ya, kalau bisa sih dateng. Enggak enak kalau keluarga kita gak ada yang dateng,” kata mama dengan intonasi yang melembut. Dia tahu benar intonasi bicaranya itu bisa meluluhkan hati orang.
“Nanti aku kabarin, ya. Aku belum tahu akhir minggu ada acara apa.”
Baiklah, mari bergegas ajak penghuni apartemen bikin acara.
“Mama dan papa beneran enggak bisa ke Bandung, Dek. Hari itu ada undangan pernikahan anak sahabatnya papa,” jelas mama tanpa diminta.
“Iya, nanti diusahain deh,” kataku setengah hati.
“Plis…” ujar mama memohon.
Mati. Gimana cara nolaknya, ya?
“Hhhh… Iya, iya, Kyna dateng, Ma!”


*


Terakhir aku menemani mama dan papa ke arisan keluarga tepatnya enam bulan yang lalu. Usiaku tiga puluh satu saat itu dan kini aku sudah beralih ke tiga puluh dua. Semenjak aku beranjak dua puluhan, tepatnya pertengahan, aku mulai kehilangan rasa senang tiap menghadiri arisan keluarga atau acara kumpul keluarga besar lainnya. Kenyamanan dan kegembiraan yang awalnya aku rasakan berganti jadi rasa risih dan waswas.


Bukan karena aku tidak dekat dengan keluarga besarku, melainkan karena kehidupan pribadiku yang entah mengapa, selalu menjadi objek pembicaraan yang ‘hot’ buat mereka, sepanas telingaku tiap kali mendengarkannya. Ironisnya, hal ini makin menjadi-jadi seiring aku bertambah usia.


“Ya ampun, Nak Kyna. Makin hari makin cantik saja, lho. Masa sih masih sendiri?”
Lah…

“Jadi mana nih calonnya? Kok, tidak pernah dibawa ke arisan?”
Kenapa enggak?

“Kapan dong, tante dapet kain seragam?”
Emang tante bakal aku kasih?

“Nak Kyna, mau tidak tante kenalkan dengan anaknya teman tante? Ganteng, gagah, kariernya sudah mapan, sekarang tinggal di Jakarta dan sudah punya rumah.”
Yakin dia suka perempuan?


Hingga jenis basa-basi paling spektakuler yang muncul dua tahun belakangan:
“Sudah usia tiga puluh masa belum menikah juga? Enggak baik perempuan terlalu lama menunda.”
*Kehabisan kata-kata*


Biasanya, mama dan papa hanya cengar-cengir serbasalah, mungkin bingung antara harus menghiburku atau sebaliknya, membiarkan saudara-saudaranya membuatku makin gerah agar aku jadi termotivasi cari jodoh. Oh, sayangnya ini terjadi bukan sejak usiaku baru memasuki kepala tiga, tapi sejak aku lulus kuliah; kira-kira sembilan tahun yang lalu! Satu tahun lagi, maka siapa pun yang bertanya layak dapat piagam penghargaan atas loyalitasnya menanyakan topik yang sama berturut-turut selama satu dekade.


*


Ateira tergelak mendengar kisahku soal basa-basi ala arisan keluarga tersebut. Kini pukul tujuh malam dan aku sedang berselonjor santai di karpet ruang tengahnya. Ia sedang menyiapkan dua gelas soda yang menemani makan malam kami saat ini: piza. Besok tanggal merah dan hujan yang berlanjut hingga malam pun membuat kami malas pergi mencari makan di luar. Lebih baik begini: bersantai, mengobrol, menonton televisi, dan menghabiskan malam bersama. Untung saja Ateira tidak kencan malam ini, di saat aku benar-benar butuh menumpahkan kepanikanku.


“Jadi, kamu sudah memutuskan untuk pergi ke arisan keluarga?” tanyanya sembari berjalan menuju ruang tengah dengan dua gelas soda di tangan.
“Gimana lagi?” tanyaku pasrah sembari menyambut satu gelas lantas meneguk minuman favoritku, Coca Cola.
“Ya, kalau memang kamu tidak nyaman, bilang saja ke mamamu.”
“Duh, lebih repot.”
“Atau bilang ada latihan mendadak!” serunya.
Aku hanya mengangkat bahu, tanda tidak tahu dan malas berpikir.
“Atau…” ujarku tiba-tiba, “Aku ajak Julian ke arisan keluarga dan minta dia pura-pura jadi pacarku.” Lalu kami berdua pun menertawai ide bodoh itu.


Ateira duduk selonjoran di sebelahku. Mataku dan dia tertuju pada tayangan serial televisi, namun sesungguhnya pikiran kami tak menaruh perhatian pada tontonan itu.
“Jangankan kamu, aku yang jelas-jelas sudah punya pasangan pun masih jadi sasaran empuk tiap keluarga besar berkumpul,” katanya.
“Seolah-olah belum puas melihat aku tidak sendiri lagi, pasti ada saja yang sibuk bertanya kapan segera menikah, kapan bagi-bagi undangan, tunggu apa lagi, dan lain-lain,” lanjutnya.


Aku mengangguk-angguk. Mungkin benar adanya kalau manusia tidak pernah puas. Ah, mungkin tak sedalam itu. Pada dasarnya aku yakin kalau pertanyaan atau ujaran semacam itu semata-mata untuk berbasa-basi. Sayangnya, kebanyakan berpikir bahwa obrolan mengenai ranah pribadi seseorang adalah topik basa-basi yang tepat baginya, tanpa peduli apakah pihak yang diajak bicara nyaman atau tidak. Mungkin karena kebanyakan merasa punya hak istimewa untuk melontarkannya, berlandaskan status keluarga? Mungkin.


“Perempuan, tiga puluh dua, dan masih sendiri. Apakah terdengar buruk, Tei?” tanyaku.
Ateira meletakkan gelas sodanya di atas meja kecil di sisi kirinya. Ia memiringkan kepala, tanda berpikir sebelum menjawab pertanyaanku.
“Di mataku... kita lebih tepatnya, jelas tidak ada yang salah, ujarnya lalu menyambung, Aku tidak pernah tahu ada standar umur yang ideal atau sempurna untuk menikah, bagi perempuan khususnya. Tapi menurutku perempuan akan selalu dihadapkan dengan isu ini.”
“Bahkan zaman sekarang laki-laki pun tak luput dari basa-basi yang sama, berapa pun usia mereka,” tambahku.
“Ya, betul.”
“Tapi ada yang beda,” timpal Ateira lagi. “Aku pernah dengar ucapan ‘Ah, kalau anak laki-laki tidak usah terburu-buru, serius cari uang saja dulu’. Tapi aku tidak pernah mendengar sebaliknya, ‘Ah, kalau anak perempuan tidak usah terburu-buru, fokus dulu saja ke karier’,” paparnya.


Dipikir-pikir, aku juga belum pernah dengar ujaran serupa.

Img via forais.tumblr.com

Jakarta, 24–25 Juli 2016
Avara Kyna, fragmen dari L'appartemant

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Sebuah Hubungan

Ulasan Musik: London Grammar

[Ulasan Buku] Manuscript Found in Accra