Sakit Hati

"Hatiku serasa lepas dari rangka yang menopangnya." (Sumber: Lunaoki.tumblr.com)

Lima belas tahun bukan waktu yang sebentar, apalagi bila dihabiskan dengan setia terhadap hal yang tidak ada, atau tepatnya, tidak pernah bisa aku miliki. Kali ini, setia bukanlah sesuatu yang bisa dimaknai positif karena memang tidak membuahkan hasil yang konstruktif untukku.


Menakjubkan. Inspiratif. Luar biasa. Salut! Ada yang bilang begitu.
Tapi dalam hati, aku tersenyum miris dan merasa ironis. Bagaimana caranya aku bisa membanggakan kesetiaan dalam menjaga perasaanku untuk seseorang yang pada akhirnya tidak menjadi milikku? Dari sisi mana perjuangan seperti ini patut diberikan pujian?


Lebih masuk akal mereka yang mengataiku bodoh tanpa belas kasihan. Sudah terlalu lelah mereka mengumbar empati.
“Kamu memetik apa yang kamu tanam.”
“Sakit hatimu ini muncul karena pilihanmu sendiri.”
“Bagaimana kamu bisa memilikinya kalau ia tahu pun tidak?”
Sejuta cacian serupa tak henti-henti mengalir deras ke telingaku, dan aku tidak pernah berubah karenanya. Hatiku tidak goyah, otakku tidak kompromi. Logikaku padam oleh perasaan yang begitu menggunung.


Sayangnya, aku terlambat menyadari semua itu. Belakangan baru kusadari kalau aku bodoh.
*


Sepasang teman yang telah menikah bilang, “Bersyukurlah hatimu masih penuh gejolak. Segala sesuatu itu indah sampai ketika ia menjadi stagnan.” Aku mengernyit, tidak setuju.
“Mengapa kamu bilang ini penuh gejolak?” tanyaku sinis. Sang suami tersenyum penuh arti.
“Hatimu naik turun, tak menentu, kebanyakan waktu dialiri oleh gairah dan impian, terkadang berisik oleh obsesi,” ujarnya. Aku diam. Ada benarnya apa yang ia bilang.
“Perasaanmu dipenuhi oleh segala sesuatu yang tak pasti, dan kamu gelisah,” lanjut sang istri.
Aku heran, mengapa mereka seolah secara tak langsung menggambarkan kalau hati masing-masing tak lagi penuh gejolak? Suami istri macam apa kedua temanku ini?


“Jadi menurut kalian hal-hal yang tidak pasti itu jauh lebih baik daripada sesuatu yang jelas dan mapan?” sambarku tercengang. Mereka menjawab dengan cepat dan kompak, “Tidak.” Bah, aku makin tidak paham jalan pikiran dua orang ini!  “Kami hanya ingin menghiburmu. Kamu tahu, selama ini kami berdua mungkin lelah mendengar curahan hatimu, tapi setidaknya, perasaan yang begitu mantap kamu jaga itu membuatmu punya harapan,” kata sang istri.


Harapan. Aku tertegun mendengar kata itu.
Selama lima belas tahun ini aku menjalani hari-hariku dengan harapan, mengharapkan sesuatu untuk menjadi kenyataan, membayangkan imajinasiku akan benar-benar terjadi: dia bersamaku. Tidak ada mimpi yang lebih indah dari itu, dan selalu kusangkal tiap pikiranku berkata bahwa bayangan itu semu, karena apa yang ada dalam kepalaku terasa sangat realistis.


Tapi itu semua berhenti beberapa waktu lalu. Akhirnya kusadari kalau pikiranku itu hanya panggung teater yang tak lebih dari fiksi, yang jalan ceritanya kutulis sendiri, dan pementasannya tak berpenonton.


“Harapan…” gumamku. Kularikan tatapanku ke seluruh penjuru kafe dengan tak menentu. “Lima belas tahun harapan tidak berbuah apa-apa, sekadar harapan,” lanjutku. Suami istri di depanku tertegun, nampak bingung. Air muka mereka membentuk tanda tanya besar.
“Dia akan menikah dua bulan lagi,” kataku sekadarnya. Seketika, wajah suami istri itu berubah kencang, dua pasang mata membelalak ke arahku.
“Kok tahu?” tanya sang istri.
“Minggu lalu baru bertemu,” jawabku.
Hening.
“Dia cerita sendiri. Topik pertama yang mengisi obrolan kami setelah setahun tak bertemu,” paparku muram.
Kembali hening.


*


Aku mencintai seorang perempuan yang sama selama lima belas tahun—tanpa pernah ia tahu, tanpa pernah aku nyatakan. Ada yang bilang kalau mustahil laki-laki dan perempuan itu bisa bersahabat tanpa ada kehendak untuk saling memiliki. Sudah lama kupatahkan anggapan itu dengan menjadikan persahabatanku dan si perempuan sebagai buktinya.


Satu yang luput dari skenario pribadiku selama ini adalah adegan yang mengisahkan perempuan itu memilih jalan hidupnya, dan aku tak ada di sana. Aku terlalu terlena dengan harapan egois yang terus-terusan membuatku enggan beraksi. Mungkin arogan, mungkin dungu, mungkin pengecut karena tak berani menghadapi risiko. Menurutku, jalan yang kami tempuh adalah yang teraman dan ternyaman, tanpa harus kuatir memikirkan bagaimana caranya mengungkapkan rasa ini padanya, atau yang terparah bagaimana kalau aku ditolak. Persahabatan adalah topeng yang awet.


Kupikir, mestinya ia sadar dengan sendirinya bahwa aku adalah orang paling tepat untuk menjadi pasangannya. Tentu saja, apa yang kurang? Aku selalu ada di sampingnya, aku selalu bersedia melakukan apa pun untuknya, aku tak pernah absen memperhatikan dia, dan yang terutama: aku setia padanya. Apalah artinya kata-kata bila tindakanku selama ini sudah cukup mewakili segalanya?


Beberapa laki-laki masuk ke dan keluar dari kehidupannya, tak pernah kuanggap sebagai ancaman. Celaan dari teman-temanku yang beranggapan aku selalu gagal mengambil kesempatan hanya kuanggap angin lalu. Saran-saran untuk mengungkapkan isi hatiku pun tak kuacuhkan. Segala sesuatu terasa benar tanpa cela, sampai malam itu.


*


Satu hari setelah ia mengumumkan rencana pernikahannya, aku berjanji tak akan lagi mengindahkan perempuan itu dalam hidupku. Rasa indah dan tulus yang selama ini kubungkus rapi untuknya berubah jadi luapan amarah dan perih yang menghunjam hatiku begitu dalam. Aku kecewa, sakit hati, dan hancur lebur. Hatiku serasa lepas dari rangka yang menopangnya. Bila tahu penantianku berujung seperti ini, untuk apa kuhabiskan sedekade lebih bersamanya?


“Bersamanya? Kamu tak pernah benar-benar bersamanya,” debat sang istri.
Sang suami diam, meneguk minumannya kemudian menghela napas dan menatapku tajam.
“Tapi aku berhak untuk sakit hati!” kelakarku. “Oh, tentu saja!” sambar sang istri.
“Tapi kamu tak berhak sakit hati terhadapnya!” serunya lagi. “Ini semua terjadi berkat ke-bo-doh-an-mu sendiri. Lalu, sekarang, lihat... bisa-bisanya kamu berkelakar seolah ia telah menyakitimu, padahal dia tidak pernah tahu-menahu soal perasaan cinta yang kamu pendam selama ini. Kamu sakit hati karena ulahmu sendiri!”


Sang suami mengibas-ngibaskan tangannya, meminta sang istri berhenti memarahiku.
“Lalu, apakah kamu diundang ke acara pernikahannya?” tanyanya. Aku mengangguk, “Ya. Walau begitu aku pasti tak akan datang.” Mereka berdua saling menatap dan tertawa heran.
“Jadi, bagaimana hubunganmu dengan dia selanjutnya?” tanya sang istri yang berusaha tenang walau kutahu, dia gemas setengah mati ingin menjambakku sampai botak.
Tak punya jawaban dan bahkan tak sempat memikirkannya, aku diam.
“Tidak ada hubungan lagi. All or nothing,” kataku selang beberapa detik.


Bagiku, perempuan itu sudah bukan siapa-siapa lagi. Bukan sahabat, teman, atau orang yang aku kenal dan patut kukenang. Detik ia bilang akan menikah, aku menghapus nama dan sosoknya dari hidupku. Setidaknya, kini aku punya harapan baru dalam hidup, yang harus terwujud dalam waktu tak sampai lima belas tahun: melupakannya.***


Jakarta, 29–31 Juli 2016






Comments

Popular posts from this blog

Tentang Sebuah Hubungan

[Ulasan Buku] Manuscript Found in Accra

Ulasan Musik: London Grammar