Senja






Perlahan, sinar merah yang daritadi kami tunggu muncul juga. Tampak gemulai, ia menyongsong awan sore lalu memeluknya hingga awan bercampur dengan kelembutan warnanya, merah jambu yang sungguh feminin. Seolah sedang menggelayut padanya, awan perlahan meluber, tak lagi bergumpal-gumpal seperti ia kala siang, kini manjanya terpenuhi oleh sang merah jambu, mungkin ibunya yang mengingatkan sebentar lagi ia harus tidur karena mentari tak lagi menyinarinya.


Kami berlima diam di sini, bukit yang sering kami juluki Bukit Namec, entah darimana kami dapatkan nama itu. Seterusnya, bukit ini kami sebut Bukit Namec, toh belum ada nama jelas ketika pertama kami menemukan bukit yang terletak di bilangan Dago Bengkok, Bandung ini. Kami selalu mencari wahana-wahana baru untuk memuaskan dahaga pikiran.

Inilah, langit tiba pada gilirannya untuk hari ini.

Telah bersyukur untuk kesekian kalinya karena hari-hari tanpa hujan telah tiba di kota ini (walau masih belum tertebak juga), kami tidak ingin menyia-nyiakan rasa syukur itu hingga di sinilah kami bertengger, merebahkan badan menghadap langit.

Sandiwara bisu alam sedang kami nikmati, lampu-lampu di kota mulai dinyalakan, selaras dengan awan yang masih bergelut manja dengan pelukan sisa mentari, menjadikannya menghantar kami pada senyum karena sandiwara senja tak pernah tak mistis. Membantah perkataan orang kolot bahwa kala senja adalah waktu bagi anak-anak untuk diam dalam rumah, seperti apa yang Hati bilang,
“Bagaimana mungkin orang tua tak pernah bisa mengajarkan kepada kita tentang keindahan senja lebih dini? Malah disuruh diam di rumah,” ujarnya sambil menggelengkan kepala lalu kembali merebahkan tubuh.

Tidak ada yang menimpali. Tujuan utama kami ke tempat ini adalah untuk menenangkan diri, dan berdebat bukan salah satu pilihan. Toh, di hari-hari lain, setiap kami bersama, debat adalah rutinitas atau tepatnya tipe perbincangan di antara kami terlaksana. Saya rasa, siapapun di luar lingkaran kami tidak akan tahan untuk menghabiskan waktu bersama kami, karena hanya bikin otak lelah.

Lingkaran dari lima ujud manusia rebah tak takut akan senja. Masing-masing diam merekam langit melanjutkan sandiwaranya, yang turut mengatur seperti apa angin akan meniup ilalang di sekitar bukit, yang turut memberi komando pada seluruh umat manusia untuk menyalakan lampu, yang turut menggambar macam-macam sketsa di agenda kegiatan manusia pada saat itu. Senja turut menjadi pembatas antara identifikasi lelah dan belum lelah. Senja turut menjadi penentu volume sekencang apa yang harus didengar orang-orang. Senja, tak pernah luput untuk menjadi inspirasi tentang alam.

Diam tak begitu lama menyisir suara pikiran kami masing-masing.
“Aku bersyukur bisa memiliki kalian, para pencinta senja,” Hati berujar lagi. Sisanya tersenyum, sedikit menghembuskan napas.
“Tapi aku rasa semua orang mencintai senja, hanya saja mereka sering luput menikmatinya,” timpal Kaki.
Saya setuju dengan Kaki, “Ya, maka aku bersyukur bisa memiliki kalian yang tak pernah luput menikmati senja.”
“Kita tak perlu kamera karena setiap hari senja akan kita songsong, begitu bukan?” tanya Mata.
Hati mengangkat tangan sambil mengacungkan jempol tanda setuju.
“Apa yang orang nikmati lewat gambar tidak akan pernah sama dengan kita yang selalu setia menyaksikan sandiwara langsung langit, laut, rumput, pasir, bahkan hujan sekalipun.”

Saya tersenyum. Terus menikmati ocehan mereka, sambil menunggu langit benar-benar menggelap, tanda sandiwaranya telah usai untuk kami nikmati lalu akan kami beri tepuk tangan seperti hari-hari yang sudah. Berganti kilauan lampu-lampu di bawah sana, sebagai tanda terimakasih langit kepada kami yang selalu setia menyaksikannya, tiap hari. Dalam keheningan rasa dan pikiran yang dinetralisir oleh langit senja, saya memejamkan mata sebentar, menciumi aroma senja seiring Hidung bersabda,

“Aku suka wangi dari hari yang cerah. Aku bosan bau hujan, ujungnya hanya meninggalkan bau apek dan membusuk kelamaan,” keluhnya singkat. Kaki menimpali, “Hidung, kita sudah berjuta-juta hari menciumi segala aroma di alam, bersyukurlah karena hujan mungkin telah usai. Musim menyajikan bel pertanda kita harus mengganti segala kebiasaan dan menyadari bahwa masa selalu berganti. Kita harus terus melangkah, walau akan terus merindukan aroma musim tertentu,” ujarnya panjang lebar.

Mata tak mau kalah mendengar perbincangan Kaki dan Hidung, “Aku juga suka musim yang cerah karena aku sangat tidak suka ketika air hujan mengaburkan segalanya hingga kita tak bisa menikmati warna alam raya ini,” ujarnya.

Saya dan Hati terus diam. Berdebat, seperti yang telah saya katakan adalah kebiasaan kami, dan seluruh manusia tak bisa luput dari situ. Kaki memberikan isyarat agar kami beranjak, karena hari sudah gelap, dan perdebatan semakin tak mengindahkan gelap. Bukit Namec akan rusak syahdunya kala malam jika diwarnai dengan perdebatan tanpa ujung.

Saya beranjak berdiri, dan sejenak mengecek telepon selular, sebuah pesan sudah terpampang. Mereka menunggu saya tepat pukul tujuh malam ini, di tempat kami biasa nongkrong.
Senyum menggantang lebar, tak sabar menyongsong para sahabat yang selalu merindu. Sahabat seperti alam yang seragam bagi manusia. Sejauh apapun mereka berada, saya tahu mereka turut memuja senja dan diam untuk menghikmati sandiwaranya. Sejauh apapun mereka berada, saya tetap mengerti apa isi benak mereka walau kami terpisah jarak. Sejauh apapun mereka berada, saya tetap akan menyampaikan salam rindu pada alam, karena alam adalah sahabat saya, dan sahabat adalah alam yang tak pernah usai saya rindu juga saya butuhkan.

Sejauh apapun mereka berada, saya tahu cinta saya terhadap sahabat adalah cinta Tuhan terhadap manusia, dan cinta Ibu pada alam raya ini. Sahabat bagi saya layaknya organ yang terpisah dan membuat saya cacat tanpa keberadaan mereka yang adalah untuk melengkapi saya.
Saya bawa Hati, Kaki, Hidung, dan Mata ini bersama, untuk memulai malam singkat dengan para sahabat, kini giliran malam.***








Setrasari Kulon, 9 April 2010

Comments

  1. wow, kapan lo ke bukit namec, kans? btw senja hari rabu di arah mau ke jatinangor, gw liat pelangi superb bangeeeetttt! gede, ngebentuk gerbang, dan warnanya kontras banget. selalu suka gejala2 alaaamm kayak gituu!

    ReplyDelete
  2. gw ke bukit namec terakhir pas jemput gebi pemotretan di sono brati 1 setengah tahun lalu. hahahhaa, kagaaa...ini settingan doang latarnya bukit nameeccc annneeelll.. hahaha

    ReplyDelete
  3. Sejauh apapun mereka berada:
    - saya tahu mereka turut memuja senja dan diam untuk menghikmati sandiwaranya.
    - saya tetap mengerti apa isi benak mereka walau kami terpisah jarak.
    - saya tetap akan menyampaikan salam rindu pada alam

    dg jarak yg ad, point" di atas selalu gw hadapi setiap kali long term memory gw mulai nge-recall ttg sahabat. Ga ad wujudnya namun ad dlm btk yg lain, kenangan.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tentang Sebuah Hubungan

Ulasan Musik: London Grammar

[Ulasan Buku] Manuscript Found in Accra