Tangisan di Sabtu Pagi


Sayup-sayup aku terbangun, bukan karena jeritan alarm atau ketukan pintu. Bukan pula karena berisik dering telepon dari entah siapa. Aku dibangunkan oleh tangisan itu.


Awalnya, kupikir suara itu adalah raungan kucing atau anjing yang menggeliat manja enggan menyambut pagi. Walau nyawaku belum sepenuhnya terkumpul, namun indra pendengaranku tidak tumpul. Suara tangisan itu makin jelas, meraung penuh rasa sakit yang entah kenapa mengingatkanku akan sakit kepala semalam. Tangisan itu terdengar pedih, menusuk, nadanya minor dan lagunya membuat ngeri. Jika anjing mendengar tangisan itu, aku rasa ia akan turut melolong pilu menanggapi suara tangisan sang perempuan malang. Kupikir suara itu hanya akan berlangsung sebentar, ternyata sebaliknya. Kupasang telinga dalam keheningan ruangan ini; tangisannya masih sama—sepertinya ia sedang membagi tangisan itu bersama seseorang. Baguslah. Setidaknya aku tahu tangisan ini nyata, bukan suara gaib. 

Sungguh, luka aku mendengarnya.


Kulirik penunjuk waktu di telepon genggam. 5:26. Masih terlalu dini untuk beranjak. Namun, tangisan itu telah membuat tubuhku bangun dan jiwaku terjaga sepenuhnya. Kucoba memejamkan mata kembali, tangisan itu masih meraung, memecah keheningan pagi buta di perumahan ini. Aduh! Pagiku betul-betul kelabu jadinya. Mana warna langit masih abu di luar sana. Betul-betul suram. Untungnya, tak lama berselang ada cahaya violet malu-malu yang mencelah tirai di dua banjar jendela kamarku, berbaur dengan putihnya tirai yang tersibak anggun.

Suara itu tersendat, seperti hendak menarik napas lantas tercekat di tenggorokannya sendiri. Raungan sumbang itu menyayat pita suaranya, menghadirkan rasa sakit yang tertahan dalam tangisannya yang mengisak—masih pedih. Tak ingin kupikir ada apa karena memang aku bukanlah siapa-siapa untuk bertanya ataupun tahu, namun tangisan itu telah membuatku tak mampu memejamkan mata kembali. Sial!

Sepuluh menit berselang, kulirik kembali penunjuk waktu. 5:36. Bias violet masih belum berubah, namun nyawaku telah 100% terkumpul. Ini kan weekend! Harusnya bisa bangun siang! Aku menggerutu dalam hati dan wajahku memelas kesal. Dengan langkah gontai setengah jengkel, aku bangkit dari tempat tidur, menyingkap dua lembar tirai putih dan menyambut pemandangan pagi yang masih sayu—langit masih tua warnanya.

Setengah jam aku ditemani tangisan pilu itu. Ia masih terisak, sesekali suaranya terputus-putus, susah payah menarik dan menghela napas. Laranya tak henti-henti mengalir, ia masih terus memuntahkan getir lewat senggukan yang makin membuat hatiku nyeri teriris-iris. Ia menjelang pagi dengan luka, ia mengantar pagi kepadaku dengan duka yang masih menyelimuti ruang udara hingga langit benar-benar menjadi biru. 

Aku masih diam saja, duduk bengong menghadap jendela. Kulihat pucuk-pucuk gunung di seberang sana diselimuti awan seputih kapas, bagai tangan raksasa yang tengah merangkul puncak-puncak gunung kecil di sekelilingnya agar tetap nyaman. Aku jamin udara sejuk sekali di ujung sana. Bagi sebagian orang, sejuk udara pagi mungkin menyegarkan. Tapi bagiku pagi ini, udara sejuk malah menusuk relung dan mengirimkan suasana yang kuyu. Kira-kira, apa ya yang perempuan itu alami? Batinku sembari menengok ke tembok kiri kamarku, seolah-olah ia berada di balik tembok itu. 

Langit semakin memuda dan kumpulan awan yang semula rapat di pucuk gunung sebelah sana pun berpisah, mengungkap biru yang cerah. Suara-suara kehidupan mulai terdengar dari jalan. Suara sapu menggesek tanah atau aspal, srokk srokk srookkk. Suara motor lalu-lalang di jalanan, orang-orang bersahutan, pagar dibuka tutup, mesin mobil dinyalakan, air yang mengucur dari selang di halaman. 

Ah, tangisan itu tak terdengar lagi. Mungkin perihnya sudah usai? Atau energinya amblas? Atau pita suaranya aus? Mungkin pula ia terlelap lelah setelah muntah duka mengalahkan kokok ayam atau suara azan subuh dari masjid di RT sebelah—aku berharap kini ia tertidur walau kuyakin, ia tahu kalau sakitnya belum tentu sirna saat terbangun nanti. Tangisan pengantar pagi itu usai, meninggalkan aku yang kerepotan menata hati agar tak terbawa muram sepanjang hari. 

Kuseduh kopi, kembali duduk bengong tapi kali ini di tepi jendela (ya, ini satu kegemaranku—untung penjaga kosan tidak pernah menangkap basah, bisa-bisa aku diteriaki karena mereka takut aku terjatuh). Aku hirup udara Bandung yang wangi, memanjakan mataku dengan biru langit, dan memeluk angin lembut yang menerpa kulitku. Kulihat pucuk-pucuk gunung di seberang sana menampakkan hijaunya, menciptakan kontras dengan langit. Ingin rasanya kupanggil perempuan sedih itu ke sini, duduk bersamaku untuk melihat indahnya pemandangan tersebut. Barangkali bisa melegakannya sedikit? Ah, tidak. Duka tidak bisa dilipur oleh apa pun kecuali waktu. Ya, ya, aku mengangguk-angguk sendiri macam ada yang mendengar.

Kuhela napas panjang dan senyum miris tergaris di bibirku: Selamat pagi Sabtu! Meski sendu, setidaknya perempuan itu membuatku punya cerita dan doa untuk pagi ini. Tolong, Pagi, enyahkanlah segala luka sisa semalam di batin siapa pun, demi pagi menjelang. Karena pagi adalah selalu menjelang, menyambut jiwa yang sembuh untuk menyimpan memori hari lalu bukan untuk laci asa hari ini. Karena pagi adalah selalu menjelang, menjemput jiwa yang luka untuk disembuhkan, meski tak saat itu juga, meski memakan pagi-pagi selanjutnya, dan terus begitu.





Setrasari Kulon, Bandung, 03 April 2010

Comments

  1. "Karena pagi adalah selalu menjelang, menyambut jiwa yang sembuh untuk menyimpan memori hari lalu bukan untuk laci asa hari ini."

    bagus teh kani.

    karena pagi adalah serangkaian repetisi - GM



    dimas.

    ReplyDelete
  2. oh... jangan bikin sabtuku glumi! awalnya gw serem d kostan baru lo ada yg nangis2, tapi lama2 gw jadi ngerasain gimana sakitnya. mungkin hari ini akan jadi hari yang panjang buat dia. semoga dia kuat.

    ReplyDelete
  3. blogspot eror. gw gabisa liat komen yg masuk. :(

    ReplyDelete
  4. @dimas: eh ada si bapak pujangga, hehehe. terimakasih uda baca dimto (dimas dito kan?)

    @annelis: bukan setan, gila. beneran perempuan, hehehe. tapi makin siang gw makin penasaran sape y? haha

    ReplyDelete
  5. eh eh.. sapa dah pagi2 nangis? serem amat kan.
    ini seriusan dikosan lo? hehe.
    mendengar atau melihat orang nangis gak jarang bikin hati kita juga ikutan ngilu, sakit.

    ReplyDelete
  6. ih, sokil gob..tulisannya bikin gw muncrat..

    ReplyDelete
  7. @gebi: untung pas lo nginep ga ada ya. hehehehe

    @boqir: sikil sob!

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tentang Sebuah Hubungan

Ulasan Musik: London Grammar

[Ulasan Buku] Manuscript Found in Accra