Takar yang Tak Tertakar


Aku setuju jika ada yang pernah berujar bahwa cinta tak memiliki takaran pasti. Setiap orang akan berkata beda jika ditanya tentang cinta, atau sama sekali tidak bisa menjawab. Cinta membuat semua orang menjadi subyektif dan segala paparan mengenainya adalah sah, tidak ada yang haram.

Sedikitnya, mungkin itu yang aku tahu. Aku lahir karena cinta, aku dibesarkan penuh cinta, dan aku tak bisa mengelak kodratku sebagai manusia yang dilengkapi Tuhan dengan organ perasa, hingga aku mampu mencinta. Aku tidak percaya jika mendengar seseorang yang mengaku mati rasa karena ia telah sakit hati berkepanjangan, atau ia mengaku bahwa kadar egonya terlalu luar biasa hingga ia tak mampu mencinta orang lain. Aku tak percaya semua itu.

Setiap orang mampu merasakan keajaiban cinta, bukankah benar cinta membuahkan rasa bahagia yang tak tergambarkan di dalam tiap hati manusia? Aku tersenyum, geli sendiri dengan salah satu wujud keajaiban yang cinta sedang bawa padaku. Langkahku terasa ringan, padahal medan yang kulalui sama sekali jauh dari enak. Jalan menurun, matahari menggantang garang, panen debu dari asap-asap kendaraan yang tak bersahabat di jalur lintas kota ini, tapi cinta membuatku tak ambil pusing segala keluhan tadi.

10 menit lagi... Sebentar lagi aku akan tiba di sana, kamu sudah setia menunggu untuk bertemu muka denganku siang ini. Oh Tuhan, sungguh luar biasa rasa yang telah Engkau ijinkan aku kecap kini! Ingin rasanya aku berteriak ke seluruh orang yang ada di ruas jalan menurun ini, bahwa aku SEDANG JATUH CINTA, luar biasa jatuh cinta! Aku jatuh cinta dengannya, laki-laki yang sedang menungguku di toko DVD pinggir jalan, tempat ia biasa berbasa-basi dengan waktu setiap menungguku tiba sepulangku dari kampus.

Lima langkah lagi, Sudah kulihat sosokmu. Membelakangi pintu masuk tapi kukenali kaos peach favoritmu kala siang terik tak kenal ampun begini. Aku rangkul kamu dari belakang, “Sayang!” seruku riang. Tak peduli dengan tiga sosok lainnya yang refleks menoleh ke arahku akibat seruan cemprengku tadi, ya memang, aku ingin mereka tahu bahwa KAU adalah ‘sayang’ku, agar mata-mata gadis di sebelahmu tidak jelalatan mencari perhatian. Dasar mahasiswa baru, labil begitu melihat penampakan laki-laki yang teridentifikasi sebagai mahasiswa tingkat atas! Kamu tersenyum simpul, balik merangkulku dan tangan kirimu sudah menggenggam tiga keping DVD. Selesai menggocek saku, kamu membayar bilangan harga DVD yang kamu beli, lalu menggandengku keluar.

“Kita makan dulu, yuk?” ajakmu. Aku mengangguk setuju sambil mengayun-ayunkan genggaman tanganmu. Jujur saja, aku merasa terlihat seperti anak TK yang sedang digandeng oleh orang tuanya dan merasa riang karena hendak dibawa ke taman bermain. Akhirnya kita makan di rumah makan Padang favoritku, yang akhirnya jadi kesukaanmu juga karena terlalu sering menemani aku makan siang atau malam di sana.

Seperti biasa, nasi beserta ikan balado, telur dadar, dan sayur daun singkong kita lahap di siang terik itu. Dua gelas es teh manis benar-benar terasa seperti air surga (entah bagaimana rasanya) yang membuat kita merasa bersyukur ada teknologi ‘es’ di dunia ini. Kamu, seperti biasa tertawa kecil dan tak jarang terpingkal-pingkal hingga hampir tersedak akibat mendengar celotehanku tentang kuliah hari ini, beserta apa saja yang aku lalui di kampus. Kamu, tidak pernah tak semangat dalam hal mendengarkan celotehanku yang tiada habisnya. Kamu, sungguh aku mencintaimu tanpa kompromi! Tidak ada laki-laki lain yang bisa membuatku berpaling bagaimanapun mereka. Bagiku, kamu nomor satu! Laki-laki tertampan, terganteng, termacho, ternakal, tapi juga teromantis yang pernah aku miliki. Denganmu, aku tak perlu berkeluh kesah tentang kekurangan-kekurangan yang seharusnya kamu miliki.

Sehabis melahap makan siang, aku dan kamu sepakat untuk menonton DVD yang baru saja kamu beli di kosanmu. Aku paling suka menghabiskan waktu selepas beraktivitas bersamamu, karena dengan hanya berdiam diri di kosanmu, atau di pangkalan ojek yang sering kita jadikan tempat nongkrong, kamu bisa memberiku banyak pelajaran juga inspirasi. Kamu juga tak pernah lelah bertatap muka denganku, pun aku tak pernah lelah menyimpan energi untuk menghabiskannya denganmu.

***

Kamu adalah arti cinta untukku, tak pernah sedetikpun aku meragukan apa yang aku rasakan padamu, pada masa itu, dahulu.

***

Malam yang dingin, aku masih beradaptasi dengan perubahan cuaca ketika sampai di kota ini. Tiga minggu sudah, akhirnya aku kembali lagi ke sini. Travel dari Jakarta sudah mendaratkan para penumpangnya dengan selamat di pos mereka yang terletak di bilangan tengah kota. Aku memutuskan duduk di kursi yang sudah tersedia di teras, menunggu kamu. Sesuai janji, kamu akan menjemputku malam ini.

Ada satu isolasi yang telah menutup salah satu engsel hatiku. Namun, aku tak ingin berspekulasi lebih lanjut, yang kuinginkan malam ini hanya bertemu kamu. Tidak tahukah kamu betapa aku begitu merindukanmu? Tiga minggu kita tidak bertemu, sayang.

Sepuluh menit berselang, kamu datang juga mengendarai mobil hitam itu. Turun dari mobil, dengan jaket hitam dan celana pendek, kamu tampak begitu kusam. Wajahmu menyiratkan rasa lelah baik jasmani maupun rohani. Isolasi yang aku rasakan semakin kencang, membalut sekujur tubuh dan hatiku secara paksa, aku tak mampu berpikir apapun. Melihatmu, membuatku begitu lega dan rinduku luruh karenanya. Tapi, melihatmu, malam ini, setelah sekian tahun kita bersama, membuatku tak sanggup membuka mata lebih lanjut. Aku tak sanggup melihat raut wajahmu, aku tak sanggup menangkap sinyal dingin dari matamu.

Malam pertama aku kembali ke Bandung, malam pertama aku bertemu lagi denganmu, setelah tiga minggu. Tapi tampak tak ada yang berubah. Kamu masih diam, sediam apa yang kamu lakukan tiga minggu ini, diam. Tak ada yang lain. Tiba-tiba saja, semua jadi sunyi, tak ada ramai celotehku tentang apa yang aku alami di kota kelahiran, tak ada pula raut geli kamu yang gemas mendengar tuturanku. Tak ada apa-apa. Diam membeku dalam teknologi ‘es’ yang kita puja tiap kamu berbuka puasa, dahulu.

Lampu-lampu di luar terasa begitu tajam menusuk retina mataku. Aku benci ini, bekumu membuat segala harapan akan indah yang aku songsong menjadi sirna. Bahkan, ketika kau belum sempat berkata apa-apa, hatiku sudah lubang oleh liang yang menangis, meraung memohon agar ini semua tidak nyata.

“Menurut kamu,” tiba-tiba kamu membuka percakapan, “Ada yang harus kita obrolkan tidak dari hubungan kita?” tanyamu, tepat menusuk dadaku dan menyiram kantung air mataku yang terpendam namun bagai digebuk agar segera mengeluarkan air mata. Sakit mata dan kepalaku menahannya. Aku diam, tak berani dan tak ingin berkata apa-apa. Aku tak sanggup mendengar apapun lagi, tapi aku harus.

“Ada,” ujarku, menafikan segala kenaifan yang selama ini kuidap, yang tiga minggu ini kuendap.

“Apa?” tanyamu. Aku mengangkat bahu, “Tidak tahu,” jawabku singkat.
“Kok, tidak tahu?” tanyamu lagi. Aku diam sekitar lima detik, “Aku tahu ada yang tak beres, tapi aku tak pernah ingin menganggapnya ada. Aku tidak tahu apa yang tidak beres,” jawabku akhirnya.

Aku jujur, aku tidak pernah tahu apa yang tidak beres. Sebelumnya, semua terasa baik-baik saja. Seketika, hanya diantar oleh pesawat yang mendesing terbang menuju pulau seberang, keadaan menjadi berbeda. Haruskah aku salahkan pesawat yang membawaku pergi?

“Tidak ada yang bisa kita pertahankan dari hubungan ini,” ujarmu tanpa tedeng aling-aling. Syok aku dibuatmu, namun tak kaget. Syok aku dibuatmu, karena sudah terbaca dari gerak tubuhmu yang menghilangkan segala kemesraan dan kehangatan, kau tak lagi ingin memberikannya padaku. Kau menghapus namaku sebelum kau bahkan bertatap muka denganku.

“Apa alasanmu? Mengapa begitu cepat?” tercekat aku, terbata-bata menahan luapan emosi yang seketika ingin kuledakkan di hatimu, agar kau tahu bagaimana rasanya sakit yang sedang kutahan. Perlahan, diiringi hentakan yang begitu tiba-tiba, kau membunuhku dengan satu tusukan maut.

“Masalah perbedaan keyakinan. Aku sudah ditagih oleh orangtuaku untuk memastikan kemana arah hubungan kita,” ujarmu, hati-hati namun terdengar begitu pasti. Setengah detik setelah kau usai mengatakan alasanmu, ingin aku balik menusukmu dengan tombak raja laut. Ingin aku mengutukmu dengan mantra yang diucap Ibu Malin Kundang agar kau berubah jadi batu. Ingin aku menyihirmu jadi kodok agar tak ada lagi yang bisa kau sesali selain menyakitiku.

***

Dua hari berlalu. Aku diam, mematung, beku, menjadi es. Aku runtuh, aku luruh dalam gemuruh rusuh pedih yang terus-terusan merintih. Tak ada lagi rasa penyesalan yang sebelumnya kurasakan, ketika aku tahu kamu sudah bersanding dengan orang lain. Tak ada lagi alasan lain, kamu sudah bersama orang lain.

Kulempar begitu saja lembaran persegi panjang bergambar peta Indonesia ke atas meja. Kulepas isolasi hitam yang sempat kusematkan di atasnya, menutupi keterangan ‘agama: kristen protestan’. Agama, atributmu, untuk menjatuhkanku. Agama, atributmu, untuk membuatku sesal penuh malu akan diriku sendiri. Agama, adalah satu-satunya jalanmu untuk lepas dariku. Kini, kau milik orang lain.


Kulirik amplop berisi sobekan kertas yang sudah kutulis di atasnya,
Lihat ini, tahun pembuatan KTP ini jauh sebelum aku mengenalmu. Berarti aku telah menjadi Kristen jauh sebelum kau masuk ke hidupku, lumayan jauh sebelum kau memutuskan memberikan cinta padaku. Aku, adalah pemeluk agama yang berbeda darimu, bahkan saat kau memintaku untuk menjadi memilikmu. Maafkan aku, karena tidak menyodorkan kartu ini di saat kau menawarkan cinta padaku, walau kau sudah tahu itu sebelumnya.

Kubakar surat penuh dengki itu, kubuang isolasi hitam secuil ke dalam tempat sampah, kusimpan kembali Kartu Tanda Penduduk milikku, yang sempat kau jadikan senjata untuk melukaiku.

***

Aku setuju jika ada yang pernah berujar bahwa cinta tak memiliki takaran pasti. Setiap orang akan berkata beda jika ditanya tentang cinta, atau sama sekali tidak bisa menjawab. Cinta membuat semua orang menjadi subyektif dan segala paparan mengenainya adalah sah, tidak ada yang haram.

Bertahun-tahun semenjak terakhir aku berpikir demikian, sudah hampir setengah dekade aku menata ulang kegembiraanku dalam alam pikiran mengenai cinta.
Karena ternyata cinta memiliki takaran pasti: agama.


Dan aku mempertimbangkan kembali hargamu, kau hanya mematri luka meliang yang tak pernah kau selesaikan. Aku terpatri oleh luka yang tak kunjung selesai.



"Makhluk ternama yang dicipta untuk bersabda lalu mengeluh atas nama tak tahu masa depan, maka kata menjadi sihir terindah yang jauh dari sakral. Tak ada yang tepat dari janji, hanya ujar hafal buaian agar segalanya menjadi indah pada detik termasa. Makhluk ternama yang dicipta untuk bersabda, dikutuk oleh hama ingkar atas sabda. Meniadakan tepat janji, menjadikan kata hanya mantra kosong meramu jeruji bahagia yang nihil.

Makhluk ternama yang dicipta untuk bersabda, tergaris sebagai koruptor rasa."

(Makhluk -- Kenyokania)

***




Setrasari Kulon, 14 April 2010
Based on true story

Comments

  1. masalah klasik milik semua generasi,ter-ulang2
    cinta ngga pernah membuat manusia belajar, karena
    cinta hanya bisa membuat kita begitu bahagia
    kalau mengingat itu aku lebih suka mematikan semua lampu, berbaring dan mendengarkan musik serta menikmatinya...nyaman tanpa peduli,
    siapa yang harus dicintai....

    ReplyDelete
  2. cerita yg based on true story ini ga pernah gw alamin, tp dr ngeliat lgsng dan tau cerita sekeliling dekat gw mngenai hal ini aj udh bikin gw bingung, ga ngerti musti gmn (inget kejadian jam 4 pagi?). bagi yg pernah mengalaminya, entah apa yg hrs dikatakan.
    Jika lg dlm tahap mencari pasangan utk belajar maupun ingin berhubungan serius, mngkn cara menyodorkan KTP di awal itu tepat walaupun pait. Pait diawal, enek diawal, yg jelas "belum terlanjur".
    Sedih rasanya melihat hati yg terlanjur terluka krna masalah yg ga salah.

    nb: "sungguh aku mencintaimu tanpa kompromi" >> ati" bablas, hehe..

    ReplyDelete
  3. @anonymous: "cinta hanya bisa membuat kita begitu bahagia" ya, dalam waktu tertentu. semoga akan ada cinta yang tidak ditentukan waktu dan agama. *jadi cheezy gini gua. ini siapa ya ngomong2?hahaha tengkyu!

    @cya: hahahahhaa BABLASSS..

    ReplyDelete
  4. asoi nih.

    -teguhwicaksono

    ReplyDelete
  5. kyknya cerpennya bisa banget ngegambarin perasaan yang sama kayak apa yang dirasain orang yang pernah ngalamin ini..
    suka bangettt...

    ReplyDelete
  6. @ani: terimakasih yaa uda baca :)
    yah, biar kalo ada yang ngalamin ini bisa ngerasa 'gak sendirian'

    ReplyDelete
  7. btw, @cya, gw baru menyadari komen lo bagian : "Sedih rasanya melihat hati yg terlanjur terluka krna masalah yg ga salah."

    sedih juga bacanya. hahaha

    ReplyDelete
  8. berempati crut, cm bs sampe di titik itu. hehe..

    ReplyDelete
  9. mungkin si tokoh pria ini harusnya dididik dan dibesarkan sama ibunya rizvan khan.
    gara-gara telat nonton my name is khan nih gw kan (rhyme,haha) jd msh anget.
    di dunia ini hanya ada dua insan. insan yang baik dan yg buruk, tidak ada pembeda lain.

    nb: msh anget bgt inih di kpala gw, peristiwa pagi hari dimana tiba2 pintu diketuk dan seseorang menyeruak masuk. hihi. udah ah ga usah diterusin.

    ReplyDelete
  10. *telen ludah banyak banyak*

    yah, tapi pelajaran mencinta beda agama menjadi salah satu hal yang memebuat gw lebih dewasa.

    ReplyDelete
  11. @gebi: nah ya, setuju. waktu nonton itu, gw langsung pengen ngequote kata2 si emaknya. yah, tapi gw rasa ketakutan serupa tidak hanya di pria tersebut, gw yakin banyak pria/wanita yang menjalani hal serupa dan melakukan hal serupa.

    @gilang: yoi, pelajarannya, kalo mo pedekate harus sama2 punya ktp. kalo belum , brati belom cukup umur. ahahahahahaa

    ReplyDelete
  12. yah salam x_x
    senasib sepenanggungan yang akhirnya harus gw selesein dengan cara yang kasar namun perlahan. huaaaahhh..

    ReplyDelete
  13. kyaaaaa~
    Tuhan......... *ngetik* *apus* *ngetik* *apus* *mikir*

    setelah beda agama, masih ada beda suku, curiga lama-lama beda jenis kelamin juga dipermasalahin nih.. segala beda jadi masalah, ga ada abisnya --"

    gw tunggu cerita yang tentang beda sukunya ya kanz.. *ngak

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tentang Sebuah Hubungan

[Ulasan Buku] Manuscript Found in Accra

Ulasan Musik: London Grammar