Aktif dan Pasif

Tiba-tiba terpikir menulis dengan judul di atas bukan karena saya sedang mengerjakan penelitian berbasis analisis wacana kritis, tapi memang sedikit banyak terpengaruh dari perspektif yang ada di dalamnya tentang bagaimana memaknai kalimat. Kali ini mengenai hal sederhana yang sebenarnya berefek besar dalam kehidupan sehari-hari.

Ada hal-hal yang sedang saya amati belakangan ini, yaitu kalimat seperti, "Gw ditinggalin dong, lo uda lulus," atau, "Gw disalahin deh, gara-gara anu ini itu," Intinya adalah intensitas penggunaan kalimat pasif dalam menggambarkan peristiwa yang terjadi dalam hidup. Asumsi saya, terlalu sering saya (tidak mau menyamakan pikiran saya dengan orang lain karena belum tentu sama) menggunakan struktur kalimat pasif belakangan ini menyebabkan kurangnya motivasi yang ada dalam diri sendiri. Saya melihat segala sesuatunya dari tindakan yang dikenakan kepada saya, titik perhatiannya ada pada saya sebagai subjek yang disubjeksi juga oleh sebuah tindakan. Secara tidak langsung, saya selalu menjadi objek pemikiran saya sendiri.

Hingga akhirnya, beberapa hari yang lalu, proses berpikir membawa saya pada sebuah pelajaran yang saya dapatkan: mengapa saya tidak memilih menggunakan kalimat aktif dalam mengolah fenomena atau peristiwa yang telah saya inderakan? Atau, mengapa saya tidak memilih menggunakan kalimat aktif dalam menyusun rencana-rencana yang merupakan respon dari peristiwa yang telah saya lewati?


Kalimat-kalimat seperti, "People always leave," yang mengeluarkan saya sebagai persona yang ada di luar kalimat itu berubah menjadi, "I plan on leaving," Saya berencana untuk pergi. "Saya ingin begini..begitu.." "Saya harus mencapai poin ini itu ini itu," "Saya harus menjamah tempat ini itu ini itu," Dan sebagainya. Ternyata, memang fase yang ada sekarang mengharuskan tiap individu untuk berpikir aktif dalam pikirannya. Lepaskan konteks yang mengikat (walau sulit) namun setidaknya bisa memberi persepsi yang lebih memotivasi ketimbang terus berpikir sebagai pihak yang dikenai tindakan. Titik perhatian diri saya akan berubah pada apa yang harus saya lakukan, ketimbang apa yang telah orang lain lakukan yang secara langsung (maupun tak langsung) membuat saya jatuh atau patah semangat. 

Paparan di atas layaknya pepatah "Memberi daripada menerima," seperti itulah makna kalimat pasif dan aktif yang saya sedang amini sekarang ini, bukan berarti saya melepaskan makna lain dari struktur kalimat tersebut. Tapi, dalam rangka menemukan kembali semangat dalam diri sendiri, bahasa pun harus berpartisipasi. Hingga akhirnya, titik perhatian pikiran saya akan terpusat pada, "Saya yang ingin begini begitu," Bukan lagi, "Orang lain telah blablablabla," yang tidak memberikan apa-apa kecuali semangat diri yang semakin tipis.

Orang lain memang selalu pergi, berarti saya juga akan selalu pergi. Menyenangkan untuk menyusun kalimat aktif dalam pikiran saya sendiri dan bermain, menari, bersemayam di dalam angan untuk segera mewujudkannya. Di satu fase yang penuh dengan cita-cita dan proses pematangan diri untuk mencapai tahap stabil, strategi bahasa ini sedikit menghibur saya.

Manusia bermilyar-milyar batang hidungnya di dunia ini. Jika semua berharap untuk dikenai tanpa satu pun berpikir untuk mengenai, siapa yang akan bertindak untuk hidupnya sendiri? Jangan salah, bahasa adalah permainan, manipulasi, sekaligus strategi. Manusia yang menyusunnya, saya menyusun bahasa untuk hidup saya sendiri.



image from walyou.com




Bandung, 27 Agustus 2010



Comments

  1. "Saya menyusun bahasa untuk hidup saya sendiri."
    nice, gw suka kalimat ini.
    selamat bercinta dengan CDA ya.. :D

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tentang Sebuah Hubungan

Ulasan Musik: London Grammar

[Ulasan Buku] Manuscript Found in Accra