Selamat Zaman Edan

Beberapa bulan yang lalu, saya mengumandangkan kalimat ini berulang-ulang dalam hati saya,
"There's no such thing as safest place in the world,"
Tidak ada namanya 'aman' di dunia ini, setidaknya demikian rasa yang menggaung dalam diri saya. Pemikiran tersebut muncul dari menginderakan apa yang terlihat, terbaca, terasa, terjadi di sekitar saya dan skalanya juga tidak melulu hal-hal besar seperti perampokan dan lain-lain.


Pemberitaan di media, sudah jelas mengambil andil bagi khalayak untuk menganggap apa itu realita dengan mengonsumsi berita di media. Walaupun saya mengetahui peran 'tidak menyenangkan' dari media massa yang satu ini, tapi toh, saya tidak bisa terhindar dari posisi saya sebagai khalayak yang turut dicampuri pengetahuan dari media massa mengenai dunia. Saya hanya bisa mengomentari, sejauh ini, tentang pemberitaan yang timbul di media, namun saya belum sanggup untuk menghindari efek mendalam dari pemberitaan media massa. Pemberitaan tentang tindak anarkis, hak-kewajiban yang tercabik-cabik, musibah di berbagai daerah, lika-liku masalah jalan raya di ibukota dan kota-kota besar yang semakin menggila, pelecehan seksual dari pihak ini kepada pihak anu di tempat-tempat umum atau di sekolah (yang seharusnya aman dari tindak tidak bermoral tersebut), dan lainnya yang tidak mungkin ditulis satu per satu di sini.

Lalu, contoh kecil yang saya rasakan sendiri. Salah satunya ini: pada akhir Juli 2010, saya bersama Reza, Diah, dan beberapa teman lain menyaksikan acara bulanan dari Sanggar Motekar, Jatinangor, yang diberi judul 'Bulantok'. Usai acara, saya mengantarkan Diah ke rumah makan Angkasa untuk mengembalikan hp milik Dodo. Saya dan Reza menunggu di dalam mobil yang diparkir di seberang jalan. Terlihat beberapa bocah laki-laki sedang berisik di parkiran motor depan Angkasa, hal yang biasa, bahkan saya tidak menganggap mereka ada.

Keadaan berubah ketika saya membuka pintu mobil dan meneriakkan nama salah satu teman saya yang ada di dalam Angkasa, "Nyooongg!" teriak saya. Bocah-bocah itu merasa saya meneriaki mereka (mungkin) atau mereka memang kelewat iseng, lalu mereka (yang jumlahnya sekitar 4 atau 5) berjalan mendekati mobil saya. Masih, saya tidak berpikir macam-macam, sampai pada saat mereka benar-benar berdiri di tiap sisi mobil saya, di sisi pintu depan kanan kiri dan sisi pintu belakang kiri. Saya, otomatis langsung menutup pintu, menyuruh Reza untuk mengunci pintu. Bocah-bocah itu mengetok-ngetok kaca mobil saya. Dari dalam mobil, saya kaget dan berseru pada mereka, "Mo ngapain?" seru saya galak. Satu bocah di sisi belakang kiri pintu berkata, "Minta duit!" 

Saya spontan langsung sewot setengah mati, ditambah salah seorang dari mereka bergumam (ngedumel lebih tepatnya) "Tidak berkeperimanusiaan!" katanya, seperti paham saja apa arti dari ucapannya barusan. Mereka terus berulah di seputar mobil saya, dan refleks, saya menekan klakson berkali-kali dan memarahi pacar saya yang hanya diam tidak mencoba menegur bocah-bocah itu. Bagi saya, mereka tentu perlu ditegur karena apa yang mereka lakukan tidak pantas dan memang tidak wajar untuk dilakukan. Mereka terus mencoba untuk membuka pintu berkali-kali, dan bahkan ada yang melompat untuk menggoyangkan mobil saya dengan menekan bagian bagasi. Saya kesal, syok, marah, dan porsi marah lebih besar dari segalanya.

Bocah-bocah itu menurut saya duduk di bangku SMP atau kelas 6 SD. Saya berpikir, apa karena saya berteriak lalu mereka menyerbu mobil saya dan mengira saya mencari masalah dengan mereka? Ah, kecil kemungkinannya, karena saya waktu itu nyengir-nyengir sambil melambaikan tangan ke arah si Nyong yang kepalanya menyembul dari dinding bambu tempat makan itu. Sepertinya kegaduhan itu menarik perhatian pemilik Angkasa dan beberapa teman saya yang baru menyadari ada yang tidak beres. Si Dodo langsung memerhatikan dan nyaris berdiri, tak lama Diah menyeberang untuk masuk ke mobil, saya sempat khawatir jika ia diganggu dan parahnya, dirampok oleh anak-anak kecil itu. 

Dari dalam mobil, saya masih terus berteriak-teriak menyuruh mereka pergi. Ketika pemilik Angkasa keluar dan menegur mereka, redalah semua prahara sepele malam itu. Namun, jantung saya tidak bisa berhenti berdetak. Bukan karena saya habis diganggu oleh bocah-bocah tengil, tapi saya menggumamkan satu kata dalam pikiran saya, "Jatinangor," 

Tiga tahun saya menjadi penghuni Jatinangor, saya selalu menganggap tempat tersebut merupakan kawasan teraman yang pernah saya huni. Mahasiswa/i bebas berjalan kaki sampai selarut apapun, jarak yang dekat antara satu toko/kios dengan kios lainnya dan beberapa ada yang buka 24 jam juga membuat kehidupan berlangsung non-stop di sana. Tiga tahun saya berpikir demikian, dan hingga saya pindah ke Bandung pun saya kerap berpikir Jatinangor sebagai tempat teraman, saya tidak pernah mengalami peristiwa seperti tadi. 

Mereka anak kecil, yang saya tidak mengerti latar belakang dan keadaan individunya. Tapi, mereka sudah menghakimi orang lain dengan berkata 'Tidak berkeperimanusiaan' dan menganggap orang lain adalah mereka yang seharusnya memberikan bantuan, yaitu uang. Apa makna berkeperimanusiaan bagi mereka? Apa yang membuat mereka merasa keadilan dapat didapat dengan tindakan menyerang tiba-tiba dan memaksa orang lain untuk memberi, memaksa, meminta, tanpa sebab yang jelas! Di Jatinangor pula saya mengalaminya. Sedih, jujur saja. 

Saya mengerti banyak orang kecil yang tidak merasa mendapatkan keadilan di negeri ini, saya mengerti banyak orang kecil yang menganggap bahwa orang mampu harusnya memerhatikan mereka dan membantu mereka demi peningkatan taraf hidup bersama. Tapi saya rasa, semakin lama, tuntutan akan keadilan itu semakin membabibuta, tidak reflektif, dan merupakan cikal-bakal hilangnya keamanan kita akan dunia, lingkungan, sampai diri kita sendiri.

Contoh di atas hanya sepersekian hal yang saya inderakan beberapa waktu belakangan ini dan membantu nalar saya merasa bahwa tidak ada tempat yang aman di dunia sekarang ini. Banyak hal yang masih ingin saya ungkapkan, namun tidak mampu, karena intinya, seperti yang pernah saya tweet beberapa bulan yang lalu, bahwa kita sekarang hidup di dalam zaman edan. Ketidakwajaran dan ketidakmanusiaan adalah warna sehari-hari yang tidak akan pernah habis diprotes dan dicegah, kini.
Selamat Hari Raya Zaman Edan!


Bandung, 9 Agustus 2010










Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tentang Sebuah Hubungan

[Ulasan Buku] Manuscript Found in Accra

Ulasan Musik: London Grammar