Dunia yang Dingin

Tidak hanya satu atau dua, tapi seketika, tiap sisi dinding yang membuat ruangan ini hangat, kini luruh.
Luruh bersama udara, angin, yang mengikis, dan air yang meresap meruntuhkan.
Ruangan yang pernah hangat harus terima kebebasan udara dan partikel berlalu-lalang mengitari, atau melintasinya.
Suka-suka! Lha, wong dinding yang mengesahkan batas kepemilikan antar ruang sudah tidak ada,
Sekat pencipta aturan tak kasat mata telah bebas melebur dan wuusss! Lenyap.


Aku pikir merdeka itu nikmat, jadi aku ijinkan saja si dinding-dinding runtuh tanpa kucoba bangun kembali. Mungkin--pikirku--dengan kemerdekaan sekat antara satu ruang dengan ruang yang lain, akan turut memerdekakan jiwa-jiwa di dalamnya, hingga kami bisa berdansa dalam satu ruang tak bersekat. Berarti, kami sama kedudukannya sebagai 'mantan empunya ruang bersekat'.


Ternyata, malam tidak membawa apa-apa. Aku memang merdeka dari batas, mereka juga euphoria dengan lapang baru yang membuat rongga nafas lebih luas. Kami leluasa membaca mantra kehidupan, sayangnya, masing-masing.

Di depan wajahku, ada debur ombak yang menyapu pasir kasar.
Di kananku, ada sepasang lesbian yang berdansa girang sambil mabuk tak kendali, sesekali berciuman sambil salah seorang dari mereka menghembuskan asap ganja melalui corong papir tipis itu, suntik istilah bekennya.
Di kiriku, ada seorang lelaki yang sibuk melukis pemandangan alam di depan kami--yang tadinya tertutup oleh dinding--khusyuk ia mencoret begini begitu di atas kertas.
Di belakangku, ada sepasang suami istri sedang mencari-cari barang kesayangannya di antara puing-puing dinding yang runtuh.
Di atasku, hahh, aku merebahkan badan terlentang, tetap langit warnanya kelam.


Harapanku sia-sia, hanya imajinasi ilusif tentang kebebasan. Sekat yang runtuh hanya membuatku semakin kehilangan, sadar bahwa sendiri semakin kontras dalam kemerdekaan yang harfiah. Hanya langit malam pijakanku untuk masih berpikir bahwa aku masih ada di dunia yang Ia isi dengan alam, satu-satunya yang tak pernah melupakan 'alam kehidupan'.

Manusianya semuanya pelupa.




Bandung, 18 Agustus 2010



*tidak ada kaitannya dengan 'merdeka' sebagai simbol wacana HUT RI.

Comments

  1. alih - alih merdeka, saat dinding - dinding diruntuhkan, manusia malah bingung menata ruangnya karena "manusianya semuanya pelupa". beautifully crafted ni, yg ini karya lo yg sangat mature ;)

    ReplyDelete
  2. bil, that's the exact meaning from this. aih kau memang selalu bs interpret my words sesuai dgn yg ada di pikiran gw. hahaa.. thx for reading :D

    ReplyDelete
  3. i really like this one kans.
    entah kenapa.
    well, saya umumkan. saya jadi fans kania laksita :)
    hahaha

    ReplyDelete
  4. @gebi: aih, tar aja, tunggu aink jadi putri suriname baru lo boleh ngefans ama gw. ahahhaha, thx for reading it, Geb. Semoga kita berdua ga pelupa ya..

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tentang Sebuah Hubungan

[Ulasan Buku] Manuscript Found in Accra

Ulasan Musik: London Grammar