Sarisha

Cuaca sama sekali tidak bersahabat untuk menjadi ‘terang’ atau ‘cerah’ pun ‘ceria’. Sentakan-sentakan makin memadat dan menjadikan kini tidak bersahabat. Segala kewajiban akan aksi disongsong hanya dalam rangka untuk membuat hari menjadi penuh, menghilangkan ruang kosong dalam pikiran, agar tidak ada lagi keresahan yang bisa membuat air muka ompong. Sialnya, air muka tidak pernah berhasil berbohong, mungkin jika berhasil, hanya selama sedetik.


Gadis itu datang, dengan figur yang tidak jelas. Ia tidak cerah, ia pun berusaha untuk menutupi mendung dari dirinya agar tak ada yang tahu, bahwa ia kelabu. Tapi, ia memilih datang padaku dan ini semakin menguatkan dugaanku akan kepincangan dan kebimbangannya. Sejenak aku mengamati air muka itu. Lonjong dan tampak segar, hanya saja matanya tampak lelah. Bukan hadirnya kantung mata dan lingkar hitam, tapi sorot matanya layu. Ia balas menatapku, tidak menunjukkan ketakutan, justru ia memancarkan energi penasaran yang sungguh besar. Ia tampaknya menimbang dalam pikirannya, apakah aku sedang membacanya, apakah aku mengetahui apa yang sedang ia lalui, atau lakukan.


“Kamu ramai,” ujarku pelan. Sorot matanya masih sama, walau ketegangan yang tadi tampak di kedua bahu mungil itu sedikit berkurang. Ia agak rileks kini, dan kedua telapak tangan ia kawinkan di atas meja kayu tempat aku menyambut dan mengantar kedatangan manusia-manusia yang menaruh harapan padaku untuk membantu masalah mereka.


“Lanjutkan,” ujarnya pelan. Ia menunduk, menatap tanganku, dan jelas ia menunggu.
“Siapa namamu?” tanyaku.
“Sarisha,” ujarnya menatapku.
Aku tertegun. Nama yang indah, pun maknanya.
“Mengagumkan, dan aku rasa kamu pun begitu,” ujarku mendalami sorot matanya.
Ia mengerutkan alis sesaat, lalu tersenyum simpul,
“Kamu tahu arti namaku,” ujarnya sambil terkekeh malu.
Aku balas tersenyum. Diam sengaja aku ciptakan selama sekian lama, hingga aku menghela napas dan bertanya padanya,


“Apa yang membuatmu pincang?” tanyaku.
Sarisha menarik napas. Pandangannya menerawang entah kemana. Hingga bola mata itu kembali terpaku padaku, ia menggidikkan bahu. “Entahlah, aku resah. Saja,” katanya.
“Terkadang memang manusia merasa resah dan tidak menemukan alasannya. Aku pun begitu,” ujarku. Ia diam, mendengarkan dan sepertinya berharap mendengar banyak dariku.


“Kau melihatku di sini sebagai peramal, aku bukan pembaca tarot. Mungkin kau berharap lebih dari bacaan simbol yang mampu dipelajari. Mungkin kau berharap aku dapat membuatmu pulang dengan ketenangan di hati,” perlahan kucoba untuk merangkai kalimat yang sekiranya bisa ia tangkap. Entah mengapa aku meragukannya, memang semestinya tidak. Sarisha memiliki aura yang tidak biasa, ia bukan gadis biasa, aku yakin.
“Aku bisa melihatmu, dalam artian aku bisa melihatmu,” ujarku sambil menggerakkan kedua tangan di depan wajahku untuk menggambarkan makna kata ‘melihat’ bukan untuk hal yang konkrit, tapi lebih dari itu.
“Aku melihatmu tidak bahagia,” ujarku. “Aku melihat kemelut yang kau coba untuk lindungi, bukan tutupi. Namun, itu mustahil sayang,” lanjutku.


Ia bersandar, masih menatapku dengan rasa penasaran menanti.
“Entah apa yang kau alami, entah apa yang menghantuimu, dan entah apa yang mendesakmu hingga kau sesak. Tapi kau tahu penyebab itu semua, kau hanya tidak berani untuk bergerak. Kau ada di titik ini, titik kesadaran bahwa kau harus menyelesaikan segalanya, tapi kau tidak berani.” Aku kembali berceloteh.
Sarisha dengan jaket abu-abu yang membalut tubuhnya, alis tebal yang membingkai kedua mata hitamnya, rambut coklat sebahu tebal yang memayunginya, memang mengagumkan untuk dilihat. Ia menyinarkan kemilau hasrat, yang kini patah oleh semburat sesak sementara dari degup napasnya, dan dari redup sorot matanya.
“Aku ke sini...” ujarnya menggantung.
“Kamu ke sini untuk menemukan orang yang berani mengukuhkan rasamu ke dalam kalimat. Kamu ke sini bukan untuk dibaca mengenai prospek ke depanmu, karena kau sudah tahu itu semua. Kamu hanya ingin dikukuhkan,” ujarku.
Ia menatapku kini dengan senyum. Tak lama guratan di sekitar matanya kembali halus, serius dan ia mengangguk kecil.
“Aku tidak bisa menguasai waktu,” ujar Sarisha. Ia memutuskan untuk membakar sebatang rokok yang dari tadi disimpan di kantung jaketnya. Ia menawariku satu dan aku menolak. Aku memilih membakar milikku sendiri, rokok putih.
“Tidak ada yang menghendakimu menguasai waktu,” kataku.
“Tapi waktu adalah jawaban dari segalanya,” sergahnya. Aku tersenyum, setuju dengan pernyataan itu. “Tidak ada yang harus kau jawab. Itulah masalahmu. Kau hanya perlu menjalaninya, menghadapinya.” Ujarku.
Ia menunduk, menghembuskan sekepul asap. “Tidak mampu,” ujarnya sambil menggeleng. Seketika, seluruh emosinya meruncing di titik bola mata itu, kacau.


Sarisha terdiam, menatapku lama. “Aku berpikir seandainya kau ada di posisi manusia-manusia yang duduk di sini, bukan duduk di tempatmu berada. Mampukah kau mengamini semua petuah bijaksana yang kau ucapkan pada kami, pada mereka?” tanyanya penasaran.
“Kamu tadi bilang bahwa aku ke sini hanya untuk mengukuhkan rasa menjadi kalimat yang kau ucapkan. Tapi, mampukah kamu untuk menindaki kalimat-kalimat yang telah diucapkan oleh orang yang duduk di tempatmu, jika kau duduk di kursi kami ini, seperti aku kini?” lanjutnya.
Sarisha yang mengagumkan. Dengan lembut tuturannya, dengan polos nalarnya, ia kini menohokku yang buntu. Tak mampu aku, kali ini, menjawab pertanyaan itu. Aku duduk di sini, dan merasa terjungkir dari kursi kayu kokoh yang selama ini menjadikanku orang paling tenang dan bijaksana, menyambut dan mengantar mereka yang datang padaku agar pulang tanpa resah.
Aku terpatri di sini, kini, di depan gadis bernama Sarisha, yang membuatku akan pulang dengan segenggam resah. Ia telah menukar kursiku, dengan pasien baru sore ini, diriku sendiri.

***

Bandung, 29 Januari 2010

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Sebuah Hubungan

[Ulasan Buku] Manuscript Found in Accra

Ulasan Musik: London Grammar