Posts

Showing posts from September, 2010

Alur

Sulit sekali rasanya menerima diri saya berada dalam fase ini, fase penuh dengan keyakinan. Melalui pengalaman yang berbeda, saya mampu berpikir dan merenung bahwa selama ini saya cenderung membebasnilaikan segala sesuatu dan membuat hal-hal yang berkenaan dengan 'keyakinan' menjadi begitu relatif. Bukan berada pada fase yang menolak kebenaran yang majemuk, tapi saya sedang berada di titik  menemukan satu pegangan secara tiba-tiba, kilat. Proses berpikir ternyata tidak cukup menjawab ini semua, sama halnya dengan euphoria atau kegirangan semata dalam sebuah masa. Bukan itu. Saya sedang bercerita tentang sebuah titik di depan mata yang telah menanamkan satu rasa percaya dalam tataran detik ini. Selama ini saya menganggap bahwa tidak ada sebuah kepastian yang bisa menjamin diri saya mempertahankan nilai tersebut, tapi kali ini motivasi yang lahir dan tumbuh dalam jiwa saya begitu bergejolak. Bagus sekali untuk kehidupan saya kini, yaitu betapa motivasi ini mendorong saya terlalu...

Krisis: Puisi Oleh Toto Kuntjoro

Ini salah satu puisi karya ayah saya. Beliau mengirimkan kepada saya dan menjadi naskah favorit saya. Ditulis di Rawamangun, 1 mei 1967. *Btw, ya, tidak pernah saya mengetahui sisi satu ini dari beliau, terutama pada masa mudanya* mana itu hujan badai deras menerjang mana itu bukit cadas keras menghalang mana itu jurang sungai lebar melintang lihat ini kakiku tegar mencakar lhat ini kepalku keras membatu lihat ini pandangku tajam bersinar lihat ini hatiku bulat jangan kautunggu bujuk dan rayu jangan kaudamba elus halus melembut rasakan ini dadaku tegap hatiku tetap niatku bulat dengar ini kata hatiku dengar ini lengking batinku dengar kataku lantang tembus segala rintang aku mencintaimu, sepenuh hatiku habis perkara Rawamangun, 1 Mei 1967

Feminine Quote from Anaïs Nin

1 Oktober 2009 A Spain-Cuban-French author, to be exact, who was famous because of her journals. She was also a female erotica writer, who were rarely be found at that period of time (early 1900). When I read these words, I know that these words have been in women's mind for centuries, for eras, and for lifetime. Because these sentences are all about us, the wildest way to say yet the covert wish in every woman's prayer: "I do not want to be the leader. I refuse to be the leader. I want to live darkly and richly in my femaleness. I want a man lying over me, always over me. His will, his pleasure, his desire, his life, his work, his sexuality the touchstone, the command, my pivot. I don’t mind working, holding my ground intellectually, artistically; but as a woman, oh, God, as a woman I want to be dominated. I don’t mind being told to stand on my own feet, not to cling, be all that I am capable of doing, but I am going to be pursued, fucked, possessed by t...

umpatumpatlebihdaripangkatempat

Jakarta, 14 Juli 2009   Tipu kata tipu makna. Bukan salah saya jika makna berbeda. Bukan salah orang jika makna lebih dari dua. Tipu kata tipu makna. Jangan paksa untuk pahami mata Karena manusia hanya mengerti kata Tipu kata tipu makna. Maaf jika tidak semua bisa telepati Maaf jika saya bukan titi teliti Tipu kata tipu makna. Murka ditalang malam Murka dituang diam Tipu kata tipu makna. Jangan harap rekat dari retak Jangan harap dekat dari detak Tipu kata tipu makna. Karena pecah adalah belah Karena resah adalah celah Tipu kata tipu makna. Jangan umbar Atau buyar TAMAT KESUMAT

Bermain Puisi di Siang Berisi

Jakarta, 22 Juni 2009 Entah bagaimana jadinya puisi ini. Romantis atau apa... Ini adalah hasil melamun di sini, siang-siang yang membuat saya berpikir "Shit, kangen bikin puisi.." Dan voila! Kubikel Untuk kamu, Karena kamu adalah pencipta debar, Hingga yang kudengar hanya hingar dan bingar, Untuk kamu, Karena kamu detak ini terjaga, Hingga yang kurasa kini bukan lagi sang raga, Untuk kamu, Karena kamu adalah lembayung langit, Pertanda senja yang sengit jua sempit, Ingatkan malam akan segera memingit, Dan aku harus menyibak tirai Untuk ikhlas menanti malam Lepaskan senja tak tergapai Dan tak mampu lukis langit kelam Karena aku pelukismu, Lembayung senandung sendu, Karena kamu kanvasku, Debar rasa tak terpaku Karena aku pelukismu, Bukan malam karena ia mengadu Bukan pagi karena ia menuju Tapi, kamu Sang satu Yang merutuk Tanpa pernah mengetuk Tak indahkan pelatuk Langsung merasuk! *....semoga tidak pakai susuk

Detik Ini Kuasa Saya

Jakarta, 2berapalupa Mei 09   Untuk detik ini Lihat saja, Saya tidak akan merangkum Saya tidak akan mengindahkan "Semua indah pada waktunya" Tapi untuk saat ini, Inilah yang paling melegakan, Hingga asap bisa terburai menjadi air Hingga api membuncah tinggi ke angkasa Bahwa karma itu tipu Untuk detik ini Semua yang tertanam Saya nantikan agar tertuai Oh, sungguh kamu ingin menghakimi saya sebagai si congkak karena perhitungan? karena mengharapkan sesuatu di balik kesabaran? Oh, sungguh? Kamu pikir siapa kamu? Kamu cuma pembaca! Camkan itu. Dan camkan ini pula, Bahwa saya memang ingin dibayar telak! Tepat pada dada untuk merasa lega! Harus lagi diurai kata sabar itu? Itu hanya penghiburan hampa Tiada rupa Hingga lupa Pernah berujar apa Pada siapa Ternyata Hampa.. Sungguh saya tidak percaya karma detik ini!

Serenade

Bandung, 11 Maret 2009 Dan ketika malam menyelimutimu dengan kehangatan, Penuh harapan akan raga memeluk mentari esok pagi, serta asa meresap hangatnya pagi, Tak ada kata sendu untuk mentari, ia tak mengenal redup. Dan ketika kau kecewa akan ia kala esok, Jangan mencacinya, janganlah jiwamu lirih membencinya akan perih, Jangan memaksanya di atasmu saat ini, ia selalu ada mengawasimu, Maka, senyumlah, di balik awan kelabu itu, kau tahu ia menyinarimu, kau tahu itu. Dan ketika saat ini kau berpeluh menantinya, Mungkin kau merintih, mungkin kau menangis lara, kau tak bisa lawan itu, Tanah ini basah, bumi mendung dan luapan awan di atas sana hanya membuatmu murung, Kau memang harus menangis hari ini. Tunggulah saatnya, embun menitik di pagimu, Secercah hijau akan kesegaran alam ini menyambutmu, riang, sayang. Tidak, kau tidak butuh sirkus raya untuk menandai hari ini adalah saatnya berpesta-pora, Tidak, kau hanya membutuhkan mentari itu berjingkat perlahan menemanimu...

Have I Seen Me

And if I do close these eyes for a night, Guarantee me it won't be another nightmare Those nightmares which frightened a soul Those nightmares which make me see dead bodies Dead bodies had just found and be dumped Just as I wish not to see tonight

Pintaku

Jadilah seorang laki-laki sejati, be a man that could make me feel as a woman. Buatlah aku tak sanggup melawan perkataanmu hanya karena intonasi suaramu yang lembut namun membuatku segan, buatlah dirimu terlihat sungguh percaya diri hingga aku hanya ingin memeluk lenganmu untuk merasa nyaman, buatlah aku memercayai dirimu untuk menentukan pilihan hanya dari keputusan-keputusan kecil yang sering kau utarakan.  Ubahlah pandanganku tentang kaummu dari mengenalmu seorang. Jika selama ini aku banyak meminta dari seorang laki-laki, maka aku ingin permintaan-permintaan itu lenyap karena dirimu. Segala yang kau lakukan sebagai laki-laki haruslah mampu membunuh kriteria-kriteria yang ada di pikiranku mengenai lelaki, membunuh segala yang bisa kujadikan kekurangan dirimu. Buatlah dirimu tidak kekurangan secara berlebih dengan cara menjadi laki-laki seutuhnya, sepenuhnya, untukku. Kuasailah aku tanpa ragu, kuasai aku dengan mengenali aku seutuhnya. Kuasailah aku dengan misterimu, karena p...

Perokok Itu Egois

Ia menggeser asbak di tengah meja mendekat pada diriku, tepat saat aku membakar ujung batang rokok pertama di pertemuan kami ini. Satu hirup pembuka yang aku hembuskan lagi setelahnya mengantarku pada pertanyaan, “Sudah positif berhenti?” tanyaku. Ia tersenyum lalu mengangguk perlahan, “Semoga,” jawabnya singkat. “Sudah berapa lama?” lanjut aku bertanya. Ia berpikir, mengingat, sambil memilin rambut ikal sebahunya, “Kira-kira tiga bulan,” katanya. Aku mengangguk, “Hmmm..” ujarku lalu menghisap kembali batang rokok.

Sederhana

Image
Aku menghitung titik-titik yang menyala di depanku. Kucoba hitung berapa luasnya, namun tak bisa juga walau mengira-ngira. Mereka jauh sekali, titik-titik itu, namun pendaran cahayanya mengedip hingga ke tempat aku berada ini. Sesekali kucoba kaburkan pandangan, hilangkan fokus dari kedua mataku hingga kudapati titik-titik itu berubah menjadi segi lima atau segi enam yang beririsan satu sama lain dalam warna yang beragam. Indah, seperti gambar-gambar cahaya malam yang sungguh aku sukai.  Tidak ada yang berkuasa malam ini, bahkan aku sekalipun. Walaupun aku sendiri di atas balkon, berada lebih tinggi dari titik-titik cahaya di pulau ini, aku tetap tidak berkuasa. Cahaya-cahaya itu jauh letaknya dan aku tidak tahu apa mereka, siapa yang menyalakan mereka, mengapa warna mereka berbeda. Namun, pada satu titik aku ingin tahu dan mengaburkan fokus pandanganku agar aku merasakan mereka lebih dekat. Warna-warna cahaya menjadi transparan dan menyatu dengan hitam langit malam, iris...