Perokok Itu Egois


Ia menggeser asbak di tengah meja mendekat pada diriku, tepat saat aku membakar ujung batang rokok pertama di pertemuan kami ini. Satu hirup pembuka yang aku hembuskan lagi setelahnya mengantarku pada pertanyaan,
“Sudah positif berhenti?” tanyaku. Ia tersenyum lalu mengangguk perlahan,
“Semoga,” jawabnya singkat.
“Sudah berapa lama?” lanjut aku bertanya. Ia berpikir, mengingat, sambil memilin rambut ikal sebahunya, “Kira-kira tiga bulan,” katanya.
Aku mengangguk, “Hmmm..” ujarku lalu menghisap kembali batang rokok.


Jika dihitung dengan teliti, baru enam bulan lebih dua minggu kami tidak bertemu. Jarak terpisah harus kami terima karena ia dipindahkan oleh perusahaan tempatnya bekerja ke kota sebelah, ibukota. Tidak jauh memang dari tempatku, tapi tetap saja tidak bisa kami bertemu setiap hari untuk sekadar menikmati kopi kala sore sambil berbincang dan mengamini tiap kepulan asap sebagai pengakrab obrolan kami. Viela, sahabatku selama lima tahun ini kini sudah berhenti merokok. Aku, jujur saja, masih belum biasa dengan kondisi seperti ini, iseng aku lempar bungkus rokokku ke depan tangannya.

“Yakin, ga pengen?” tanyaku menggoda. Ia tertawa lalu menggeser bungkus rokok itu ke tempatnya semula tergeletak.
“Sejauh ini belum,” katanya, “Berat sih memang tiap ngeliat orang ngebakar rokoknya, cessss...” Ia memeragakan gerakan orang yang sedang membakar rokok,
“Tapi lama-lama biasa juga,” lanjutnya.
Aku tertawa saja, walaupun sebenarnya aku berharap ia akan luluh dengan wajah persuasif dan hirup-hembusku yang bagiku terasa nikmat.
“Kenapa lo bisa berhenti?” tanyaku lagi. Sepertinya rasa ingin tahuku tentang ceritanya berhenti merokok begitu merasuk dan menguasai. Padahal, bagi orang lain mungkin hal ini biasa saja, toh merokok atau tidak adalah pilihan masing-masing individu dan tidak penting untuk diperdebatkan.
“Tidak tahu, sudah tidak menemukan enaknya lagi,” jawabnya menatapku. Ia meneguk bir dari botol bir kecil di depannya. Lalu, ia kembali mengamatiku yang asyik melayangkan pandang ke pemandangan di depan mata, sekeliling kafe juga pemandangan luar yang tersaji depan balkon kafe itu.
“Lalu, ada cerita apa nih? Masa kita ketemu cuma ngebahas masalah rokok?” tanyanya.

Kami bertukar kisah hidup yang terbungkam oleh jarak selama kurun waktu enam bulan terakhir. Ada sebagian yang ia sudah tahu, namun aku ceritakan kembali dengan bonus bahasa tubuh yang selama ini sudah tidak ia dapatkan dari pesan-pesan singkatku melalui SMS atau messenger.
**

Hampir empat jam aku habiskan sore itu bersamanya. Kisah demi kisah mengalir begitu saja, namun dalam perjalanan pulang ke rumah, aku kembali menggambar skenario perbincangan kami tadi.
Ah, mengapa ada rasa kehilangan ya?
Bagiku, rokok adalah pelengkap bagi aku dan teman-teman, seorang teman dalam setiap kebutuhan berbincang, penengah hening kala diam, pembunuh waktu ketika menunggu, dan hal-hal berlebihan lainnya bagi mereka yang tidak merokok. Tidak lengkap rasanya bertukar cerita tanpa batang-batang itu, batang-batang yang sudah distigmakan sebagai perusak kesehatan dan tak jarang moral. Mengingat perbincangan kami tadi, sebenarnya tidak ada yang kurang. Hanya saja, ternyata aku merindukan masa-masa kepulan asap dan semangat serta adrenalin yang terpacu karena menghisap batang itu bersamanya. Entahlah, sudah seerat itu momen bersama Viela, dan melihatnya tak merokok ternyata mengubah esensi obrolan kami, bagiku. Seperti ada sesuatu yang hilang dan aku merasakan ada satu baut longgar yang membuat sebuah kenikmatan kolektif menguap entah ke mana. Hanya karena sebatang rokok.

Aku berpikir, ini konyol. Tidak mungkin aku sedih hanya karena sahabatku berhenti merokok, seharusnya aku senang. Tapi, toh, aku tak berhak untuk menunjukkan kehilanganku padanya bahwa aku rindu masa kami merokok bersama, di kala diam tak akan jadi masalah karena masih ada hirup-hembus asap yang kami bagi dan nikmati bersama.
Sungguh, ini tak masuk akal.
Aku masih ingat rokok putih Dunhill Lights yang ia konsumsi dulu. Tak lupa aku ingat  kegemarannya mengoleksi pemantik api merek Zippo dari berbagai negara. Tergambar jelas dalam memoriku bentuk cincin di jari kanannya yang sering menarik perhatianku karena jari itulah yang ia gunakan untuk memegang rokok. Juga kebiasaannya untuk merobek lapisan plastik di bungkus rokoknya, lalu membuka lapisan pembungkus rokok. Tahap-tahap yang aku hapal, lalu bagaimana ia menghirup rokok yang baru saja ia bakar. Viela memiliki cara yang khas ketika merokok dan aku sungguh mengenalinya. Ia akan otomatis melentikkan jari kelingkingnya ketika tangannya sedang memegang rokok, tepatnya ketika ia sedang tidak menghisap rokok itu. Kelingking yang lentik dan selalu ditutupi oleh kuku yang lebih panjang dari kuku-kuku di jari lainnya itu tadi tidak kulihat melentik lagi, seperti cincin perak di telunjuk kanannya yang tidak lagi terekspos tiap ia bertutur.

Seharusnya, atau sewajarnya, orang akan memberi selamat pada mereka yang berhenti merokok. Seperti sedang menyambut seseorang ke dalam kehidupan baru yang diwarnai dengan kebudayaan berbeda dan menandai fase perubahan seorang manusia ke arah yang (katanya) lebih baik. Tapi ternyata, kebudayaan baru yang menurut dunia lebih baik itu menjadi sebuah kesedihan dan kehilangan baru yang aneh untuk diutarakan untukku.
Tak salah jika ada yang berpikir bahwa perokok itu egois.



Setrasari Kulon, 22 September 2010

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tentang Sebuah Hubungan

[Ulasan Buku] Manuscript Found in Accra

Ulasan Musik: London Grammar