Serenade
Bandung, 11 Maret 2009
Dan ketika malam menyelimutimu dengan kehangatan,
Penuh harapan akan raga memeluk mentari esok pagi, serta asa meresap hangatnya pagi,
Tak ada kata sendu untuk mentari, ia tak mengenal redup.
Dan ketika kau kecewa akan ia kala esok,
Jangan mencacinya, janganlah jiwamu lirih membencinya akan perih,
Jangan memaksanya di atasmu saat ini, ia selalu ada mengawasimu,
Maka, senyumlah, di balik awan kelabu itu, kau tahu ia menyinarimu, kau tahu itu.
Dan ketika saat ini kau berpeluh menantinya,
Mungkin kau merintih, mungkin kau menangis lara, kau tak bisa lawan itu,
Tanah ini basah, bumi mendung dan luapan awan di atas sana hanya membuatmu murung,
Kau memang harus menangis hari ini.
Tunggulah saatnya, embun menitik di pagimu,
Secercah hijau akan kesegaran alam ini menyambutmu, riang, sayang.
Tidak, kau tidak butuh sirkus raya untuk menandai hari ini adalah saatnya berpesta-pora,
Tidak, kau hanya membutuhkan mentari itu berjingkat perlahan menemanimu,
Mencercahkan semburat letih di wajahmu, untuk mengijinkan sebidang kulitmu menguning bersinar,
Silau...dan kau akan rasakan hangat menyergap sekujur jiwamu.
Lalu, kau pun tersenyum. Karena aku tahu, kau begitu memuja senyum,
Sebagai pertanda, semua akan baik-baik saja.
Tengadahlah, tunjuklah ia, sapa ia,
Segaris senyummu cukup untuk pagi nanti...
Mentari telah menitipkan kesegaran embun dan kicauan burung syahdu, dalam mimpimu.
Sebait mimpi sejuk di keheningan malam yang sesak oleh kabut menusuk itu telah ia pinta dengan sekeras hati pada-Nya,
Lelaplah....
Mentari berlutut begitu rendah Sayang, akan ketulusanmu pada hidup, pada segalanya.
Semua akan baik-baik saja.
Penuh harapan akan raga memeluk mentari esok pagi, serta asa meresap hangatnya pagi,
Tak ada kata sendu untuk mentari, ia tak mengenal redup.
Dan ketika kau kecewa akan ia kala esok,
Jangan mencacinya, janganlah jiwamu lirih membencinya akan perih,
Jangan memaksanya di atasmu saat ini, ia selalu ada mengawasimu,
Maka, senyumlah, di balik awan kelabu itu, kau tahu ia menyinarimu, kau tahu itu.
Dan ketika saat ini kau berpeluh menantinya,
Mungkin kau merintih, mungkin kau menangis lara, kau tak bisa lawan itu,
Tanah ini basah, bumi mendung dan luapan awan di atas sana hanya membuatmu murung,
Kau memang harus menangis hari ini.
Tunggulah saatnya, embun menitik di pagimu,
Secercah hijau akan kesegaran alam ini menyambutmu, riang, sayang.
Tidak, kau tidak butuh sirkus raya untuk menandai hari ini adalah saatnya berpesta-pora,
Tidak, kau hanya membutuhkan mentari itu berjingkat perlahan menemanimu,
Mencercahkan semburat letih di wajahmu, untuk mengijinkan sebidang kulitmu menguning bersinar,
Silau...dan kau akan rasakan hangat menyergap sekujur jiwamu.
Lalu, kau pun tersenyum. Karena aku tahu, kau begitu memuja senyum,
Sebagai pertanda, semua akan baik-baik saja.
Tengadahlah, tunjuklah ia, sapa ia,
Segaris senyummu cukup untuk pagi nanti...
Mentari telah menitipkan kesegaran embun dan kicauan burung syahdu, dalam mimpimu.
Sebait mimpi sejuk di keheningan malam yang sesak oleh kabut menusuk itu telah ia pinta dengan sekeras hati pada-Nya,
Lelaplah....
Mentari berlutut begitu rendah Sayang, akan ketulusanmu pada hidup, pada segalanya.
Semua akan baik-baik saja.
Comments
Post a Comment